Vonis Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (20/11/2025) kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi menuai perdebatan antara putusan kerugian negara, kesalahan keputusan korporasi, atau potensi kriminalisasi jajaran pimpinan BUMN.
Hukuman penjara selama 4 tahun dan 6 bulan dan pidana denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan denda Rp500juta subsider tiga bulan dijatuhkan lantaran majelis hakim menilai Ira menimbulkan kerugian negara sekitar Rp1,25 triliun saat akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada 2019 sampai 2022. Lima hari setelahnya, Selasa (25/11/2025), Presiden Prabowo menggunakan hak rehabilitasi kepada Ira.
Perkara ini berawal dari keputusan ASDP mengakuisisi aset dan saham PT JN melalui skema kerja sama usaha (KSU) yang berlangsung beberapa tahun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai proses itu melibatkan penyalahgunaan kewenangan karena akuisisi dilakukan saat kondisi keuangan PT JN sedang menurun.
Dalam dakwaan KPK, nilai perusahaan dinyatakan negatif berdasarkan perhitungan tim akuntansi forensik. Angka itu digunakan sebagai dasar penentuan kerugian negara.
Namun, selama proses persidangan, majelis hakim mencatat tidak ada bukti aliran dana ke pribadi para terdakwa sehingga tidak dijatuhkan hukuman uang pengganti.
Ketua majelis hakim, Sunoto, bahkan menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan dua hakim lainnya, antara lain mengenai penilaian terhadap proses bisnis yang dilakukan ASDP. Pendapat tersebut dicantumkan dalam berkas putusan.
Di sisi lain, terdapat perbedaan keterangan dari berbagai terkait mengenai perhitungan kerugian negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan hanya melakukan audit kepatuhan terhadap proses akuisisi PT JN. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan tidak mengeluarkan perhitungan resmi kerugian negara untuk perkara tersebut. KPK kemudian menggunakan perhitungan internal untuk menetapkan estimasi kerugian sekitar Rp1,25 triliun.
Apakah kerugian negara?
Direktur NEXT Indonesia Center, Herry Gunawan, menilai perdebatan mengenai kewenangan direksi dalam akuisisi PT JN perlu dilihat dari prosedur tata kelola yang berlaku di BUMN.
Menurutnya keputusan material, seperti transaksi bernilai sekitar 20% dari aset atau laba, memerlukan persetujuan komisaris dan biasanya diputuskan melalui rapat umum pemegang saham (RUPS).
Rencana akuisisi ASDP telah masuk dalam rencana kerja perusahaan, disetujui direksi, serta memperoleh persetujuan Dewan Komisaris sebelum dijalankan.
Herry merujuk Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang (UU) Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian perseroan apabila dapat membuktikan itikad baik, kehati-hatian, dan ketiadaan kelalaian.
Ia memandang tindakan ASDP termasuk dalam ruang business judgment rule karena proses internalnya dijalankan sesuai ketentuan. Pemidanaan dalam kasus ini, kata dia, mengaburkan batas antara diskresi manajemen dan dugaan penyalahgunaan kewenangan.
Proses yang telah didukung kajian risiko dan tidak ditemukan adanya kepentingan pribadi seharusnya cukup dinilai sebagai aksi korporasi. “Menurut saya sih dipaksakan,” ujarnya.
Untuk menentukan apakah direksi telah mengambil keputusan secara layak, Herry menyebut empat parameter utama, yaitu ada tidaknya fraud, konflik kepentingan, tindakan ilegal, dan kelalaian dalam analisis risiko.
Di sisi lain, dia menilai batas mengenai kerugian negara dalam kasus ASDP belum jelas.
“Kerugian negara yang dimaksud itu apa, kerugian aktual atau kerugian ekspektasi?” ujarnya.
Herry menilai ketidakjelasan itu dapat menimbulkan pasal abu-abu yang menyasar keputusan bisnis. Penegasan definisi, kata dia, diperlukan agar direksi BUMN memperoleh kepastian hukum dalam menjalankan kewenangannya.
Menurutnya ada kasus lain sejak 2020 sudah ada tersangkanya sejak 2023, seperti kasus Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tapi sampai hari ini belum naik ke pengadilan.
"Sementara ASDP begitu segera tiba-tiba masuk ke pengadilan. Menurut saya aparat penegak hukumnya genit. Ada aroma kriminalisasi," ujarnya.
Pandangan hukum lain
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai persoalan ini berkaitan dengan penerapan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Fickar menjelaskan pasal itu memungkinkan pejabat dipidana meskipun tidak menerima keuntungan pribadi apabila ada pihak lain atau korporasi yang diuntungkan.
Dalam kerangka itu, KPK tetap memiliki dasar menggunakan Pasal 3 selama unsur merugikan negara dianggap terpenuhi. “Dari sudut aturan KPK punya dasar, dan nanti di pengadilan perlu dibuktikan apakah direksi itu bekerja dengan benar,” ujar Fickar.
Terkait perbedaan keterangan antara BPK dan BPKP, Fickar menekankan bahwa BUMN harus diperlakukan sebagai entitas bisnis. Kerugian dalam kegiatan usaha dapat berasal dari dinamika dagang maupun dari tindakan individu yang menyalahgunakan kewenangan.
Pembedaan ini penting agar tidak semua kerugian otomatis dianggap sebagai kerugian negara. “Yang harus dilihat adalah apakah kerugiannya kerugian bisnis atau kerugian yang disebabkan oleh kelakuan pengurusnya,” kata Fickar.
Menurut Fickar, KPK tidak berwenang menghitung kerugian negara karena fungsi tersebut berada pada BPK atau auditor negara yang memiliki mandat resmi. Dia menyoroti penggunaan metode discounted cash flow oleh KPK yang menghasilkan hitungan nilai saham PT JN sekitar 38,3 miliar rupiah dan liabilitas 500 miliar rupiah sebagai dasar proyeksi kerugian.
“Kalau KPK menghitung sendiri tanpa dasar lembaga yang berwenang, menurut saya itu tidak valid,” ujarnya.
Hal itu, kata Fickar, dapat mengarah pada risiko kriminalisasi keputusan bisnis ketika kerugian dagang diperlakukan sebagai kerugian negara tanpa pembedaan yang jelas. Dia merujuk dissenting opinion hakim Sunoto yang menganggap tindakan direksi ASDP sebagai keputusan bisnis yang tidak optimal, bukan perbuatan pidana.
“Ini risiko bisnis, banyak yang tidak bisa dibuktikan sebagai kejahatan,” ujar Fickar.
Di sisi lain, dalam rilis yang diterima Suar, eks Menteri BUMN Dahlan Iskan menyoroti posisi direksi BUMN yang kerap menghadapi risiko kriminalisasi ketika keputusan bisnis dipersoalkan.
Dia menilai Ira sebagai sosok yang memiliki rekam jejak kuat dalam membenahi ASDP dan menyebut bahwa tekanan terhadap pimpinan BUMN dapat muncul ketika proses perbaikan menyentuh banyak kepentingan.
Dahlan menilai perhatian publik terhadap kasus Ira menunjukkan bahwa prinsip business judgment rule semakin relevan dalam perdebatan mengenai batas keputusan bisnis dan pemidanaan. Meski konsep itu pernah dicantumkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi, penerapannya belum terlihat dalam praktik penegakan hukum. “Yang jelas tidak satu pun hakim pernah menggunakannya,” tulisnya dalam rilis tersebut.