Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menyentuh rekor tertinggi 2025 pada perdagangan Senin (21/7/2025) pada level 7.398. Kendati pada perdagangan Selasa (22/7/2025), IHSG ditutup turun pada level 7344, namun sejumlah analis dan investor ritel yakin IHSG masih akan melanjutkan tren kenaikannya.
Di sela-sela pekerjaannya, Dion (32) membuka aplikasi perdagangan saham di ponselnya. Karyawan swasta bidang periklanan ini tak ingin kehilangan momen perdagangan apalagi saat pasar modal sedang menukik naik.
"Biar bisa serok ambil untung," ujarnya dihubungi Selasa (22/7/2025).
IHSG memang menunjukkan tren penguatan signifikan selama 11 hari perdagangan berturut-turut hingga Senin, 21 Juli 2025. Pada tanggal tersebut, IHSG melonjak 1,18% atau 86,27 poin, mencapai level 7.398,19. Penguatan ini menjadikan IHSG sebagai salah satu indeks saham global berkinerja terbaik di bulan Juli.
Namun, Selasa, IHSG ditutup di zona merah untuk pertama kalinya setelah 11 hari beruntun di zona hijau, melemah 0,72% atau 53,45 poin ke level 7.334,74.
Pelemahan ini sebagian besar disebabkan oleh penurunan saham-saham konglomerat, terutama dari grup Prajogo Pangestu, seperti Barito Pacific (BRPT) yang turun hampir 8% dan Chandra Asri Pacific (TPIA) yang turun lebih dari 5%.

Faktor Pendorong Penguatan IHSG
Menurut Pengamat Pasar Modal, Budi Frensidy, penguatan IHSG utamanya ditopang oleh Initial Public Offering (IPO) saham-saham konglomerat. Ia menjelaskan bahwa IPO dari beberapa saham konglomerat yang secara berturut-turut mengalami auto reject atas (ARA) berperan signifikan.
"Utamanya saya pikir karena IPO dari beberapa saham konglomerat, ya, yang berturut-turut lebih dari 5 hari atau pokoknya mereka auto reject atas terus karena, ya, memang back up-nya adalah konglomerat besar, ya," ujarnya kepada Suar, (22/7/2025).
Selain itu, pergerakan investor asing juga menjadi penentu penting. Ia menjelaskan bahwa net buy asing akan menjadi penentu stabilitas IHSG ke depan. Meskipun volume perdagangan asing secara year to date mungkin terlihat kecil, dampaknya terhadap indeks sangat besar karena transaksi mereka terfokus pada saham-saham berkapitalisasi besar (big cap).
Di sektor properti, ia mengamati ekspansi dari grup-grup besar seperti Djarum, grup Prajogo Pangestu, dan Sinar Mas yang semakin ekspansif. Sementara itu, pergerakan saham-saham komoditas cenderung sejalan dengan harga komoditas global.
Potensi masuknya saham-saham Indonesia, khususnya dari grup Prajogo Pangestu, ke dalam indeks global seperti MSCI juga akan membawa efek positif. Hal ini akan menarik masuknya hedge fund dan investor institusional asing, mengingat banyak investor asing menggunakan perdagangan robotik atau otomatis.
"Jika ada saham yang memang masuk ke indeks, dia akan masuk ke dalam portofolionya secara benchmarking atau indexing," jelasnya, menegaskan bahwa hal tersebut akan menjadi efek positif bagi pasar modal Indonesia.
Senior Technical Analyst Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji, menyampaikan, "Kenaikan IHSG belakangan ini cenderung didorong oleh investor domestik, baik ritel maupun institusi. Hal ini terjadi karena investor asing masih terus mencatatkan net sell, yang nilainya sudah mendekati Rp60 triliun," ujarnya dilansir CNBC
Tercatat, investor asing melakukan jual bersih (net sell) senilai Rp180,30 miliar di seluruh pasar saham. Angka ini memperpanjang tren jual yang telah berlangsung sejak awal tahun. Secara kumulatif, total jual bersih investor asing sejak awal tahun telah mencapai Rp59,70 triliun. Penjualan berkelanjutan ini menunjukkan adanya pergeseran sentimen atau strategi dari investor asing terhadap pasar saham domestik.
Nafan menuturkan lebih lanjut, "Ke depan, investor domestik, mereka masih akan mendominasi pasar, apalagi dari sisi nilai investasinya."