Plaza Semanggi kini berbinar kembali. Dari sepi pengunjung bak kuburan menjadi ramai pengunjung. Ya, terjadi perubahan di pusat perbelanjaan yang ikonik di simpang susun Semanggi, Jakarta, ini lantaran telah bertransformasi dan berganti nama menjadi Lippo Mall Nusantara.
Perubahan ini bukan hanya sebatas nama, melainkan juga konsep. Dari hasil penulusuran Tim SUAR, Lippo Mall Nusantara kini diramaikan dengan foodcourt-foodcourt tempat hangout yang menarik, khususnya bagi para pekerja kantoran di area Sudirman dan Gatot Subroto.
Area foodcourt yang terdapat pada lantai LG menjadi lokasi yang paling ramai pengunjung. Mal ini kini juga memiliki fasilitas dengan menyediakan banyak tempat duduk di lobi, seperti belasan meja panjang, agar pengunjung dapat bersantai dan melepas penat.
Area tersebut memiliki kapasitas lebih dari 1.000 kursi dan menyajikan lebih dari 200 menu khas Indonesia dari 200 lebih UMKM.
Suasana mal Nusantara juga diperkuat dengan elemen dekoratif seperti air mancur dan pepohonan. Selain itu, Museum Perjuangan Indonesia – satu-satunya museum di pusat perbelanjaan – turut melengkapi suasana dengan menampilkan biografi pahlawan Indonesia untuk menciptakan pengalaman yang nyaman dan kaya akan budaya.
Konsep ini ternyata berhasil, terbukti dengan ramainya pengunjung yang berdatangan. Sejak grand opening pada Februari lalu, mal ini kembali hidup dari tidur panjangnya akibat sepi pengunjung,
Berdasarkan keterangan Intan Maulidia Putri, 31 tahun, karyawan pedagang Lontong dan Nasi Kari Legenda Medan, gerai-gerai makanan dan minuman (food and beverage atau FnB) mendominasi, dan pengunjungnya pun kian banyak.
“Ramainya pengunjung kalau untuk sekarang sih, ya, di jam-jam kerja. Di Jam istirahat kantor biasanya mulai jam 12.00 sampai jam 16.00,” katanya kepada SUAR saat dijumpai di Lippo Mall Nusantara, (6/8/2025).
Keragaman menu dan dekorasi yang menarik mengundang pengunjung mal untuk menghabiskan waktu dan berkumpul dengan keluarga atau kerabat.
Intan juga menambahkan penjualan tenantnya meningkat dari awal launching hingga sekarang. Menurutnya, keragaman menu dan dekorasi yang menarik mengundang pengunjung mal untuk menghabiskan waktu dan berkumpul dengan keluarga atau kerabat.

Tidak hanya Lippo Mall Nusantara, kondisi Plaza Blok M juga tak jauh berbeda. Sejak dibangun mass rapid transit (MRT), mal yang berada di seberang terminal Blok M itu juga kembali ramai oleh pengunjung. Semua tenant nampak memenuhi mal yang jadi kebanggaan orang Jaksel itu.
"Aksesnya sangat mudah, terutama dengan MRT. Pengunjung bisa langsung turun di Stasiun MRT Blok M," ujar salah satu pengunjung, Salsabila Cynailla, 20 tahun.
Selain mudah dijangkau dengan transportasi umum, kawasan Blok M sendiri merupakan area yang ramai dan memiliki banyak tempat menarik, menjadikan mal ini selalu hidup dan menjadi destinasi yang populer.
"Aksesnya sangat mudah, terutama dengan MRT. Pengunjung bisa langsung turun di Stasiun MRT Blok M," ujar salah satu pengunjung, Salsabila Cynailla.
Cynailla mengatakan, ia senang datang ke Blok M karena menjadi pusat jajanan dan fashion. Kali ini, ia bersama empat orang temannya datang untuk berswafoto di gerai photobooth yang menawarkan berbagai kostum dan aksesoris unik mulai dari kacamata hingga topi.
“Awalnya ke Plaza Blok M karena dekat dan juga banyak jajanan. Dulu ke sini habisin waktu bareng keluarga, sekarang bareng teman,” ujar dia.
Selain kedua mal tersebut, beberapa mal lainnya yang telah bertransformasi antara lain ITC Fatmawati, Mal Ambassador, dan Sarinah.
Kunjungan ke mal, bagi sebagian kini sering lebih tentang seru-seruan dan bersosialisasi daripada sekadar berbelanja, sebuah perubahan yang mencerminkan bagaimana mal-mal di Indonesia mulai bertransformasi menjadi tempat nongkrong dan hiburan.
Dari tempat belanja ke tempat nongkrong
Perubahan fungsi ini membuat mal di Indonesia bergerak ke arah yang lebih luas dari sekadar pusat belanja menjadi social connection hub. Bioskop, restoran tematik, live music, hingga arena olahraga menjadi alasan utama orang datang. Belanja sering kali dilakukan setelahnya, bahkan kadang berpindah ke online.
“Tendensinya kalau ke mal antara nonton bioskop atau makan, kumpul dengan keluarga atau teman,” kata Alphonzus Widjaja, Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), di Jakarta, Rabu (6/8).
“Tendensinya kalau ke mal antara nonton bioskop atau makan, kumpul dengan keluarga atau teman,” kata Alphonzus Widjaja, Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI).
Meski tren belanja online terus menguat, Alphonzus percaya prospek mal di Indonesia masih cerah. Alasannya sederhana: rasio luas pusat perbelanjaan per kapita di Indonesia adalah yang terendah di ASEAN.
Artinya, ujar dia, ruang untuk tumbuh masih besar. Tapi, ia mengakui, department store dan hypermarket sedang berada di bawah tekanan. Banyak yang tutup karena kalah bersaing dengan format belanja baru yang lebih efisien.
Di tengah gempuran merek asing, Alphonzus menegaskan pentingnya mendukung produk lokal. “Merek asing silakan masuk, tapi dukung produk lokal dengan fasilitas, insentif, dan kemudahan,” ujarnya.
Kedai kopi dan restoran pun menjamur di mal, menggantikan sebagian ruang ritel konvensional. Sebelum pandemi, porsi food & beverage (F&B) di mal hanya 10%–20%. Kini, kata Alphonzus, angkanya melonjak jadi 30%–40%.
“Tapi tidak boleh mendominasi,” tambahnya. Inovasi lain seperti lapangan Padel, ruang pamer seni, hingga zona bermain anak juga jadi magnet baru. Semua itu mengakomodasi tren bahwa konsumen datang ke mal untuk “experience”, bukan sekadar membawa pulang kantong belanja.
Perubahan perilaku pasca-pandemi
Heri Andreas, pakar dari Indef, menyebut perubahan perilaku ini kontras sekali dibanding dengan era pra-pandemi.
“Sebelum pandemi, kita rajin kemana-mana. Selain makan di restoran, kita sambil belanja. Tapi setelah Covid-19 kita asik belanja online. Eh, ternyata belanja online lebih mengasyikkan daripada belanja langsung. Nah, itulah yang ketagihan sampai sekarang,” ujarnya kepada SUAR saat ditemui di Kantor Indef (06/08).
Konsumen kini lebih pintar membandingkan harga. Barang yang sama di department store bisa jauh lebih mahal ketimbang di marketplace. Pilihan pun melimpah, tanpa harus keluar rumah. “Mendingan beli di online,” kata Heri.
Pola ini memaksa ritel untuk tidak lagi mengandalkan kunjungan fisik semata. Menurut Heri, banyak merek kini mengecilkan ukuran toko luring menjadi sekadar ruang display, lalu mendorong transaksi final terjadi di platform online.
Namun, mal masih punya keunggulan yang tak bisa ditiru layar ponsel: suasana. Setelah berbulan-bulan terisolasi di rumah, orang merindukan ruang sosial. “Sekarang apa? Behavior masyarakat juga kita harus lihat bahwa mereka mencari tempat yang cozy. Untuk nongkrong, bersosialisasi, bergaul,” jelas Heri.
Mal masih punya keunggulan yang tak bisa ditiru layar ponsel: suasana.
Fenomena ini juga mendorong munculnya pusat kuliner di luar mal, seperti foodcourt terbuka yang selalu ramai di jam pulang kerja atau akhir pekan. Heri melihat tren ini sebagai bentuk adaptasi.
“Sekarang banyak space-space yang satu kawasan isinya makanan semua. Itu penuh terus. Pulang kerja, nongkrong, silaturahmi… jadi banyak sekarang yang kayak gitu,” ucapnya.
Strategi omni-channel pun jadi kunci. Mal tak lagi memusuhi platform e-commerce, tapi justru menggunakannya sebagai perpanjangan etalase. Konsumen bisa melihat langsung barang di toko fisik, lalu memutuskan membelinya online.
“Harapannya, dengan program-program seperti ini kita bisa memberikan daya tarik bagi konsumen untuk berbelanja, baik itu di mal maupun secara online,” kata Heri.