Wawancara Khusus Wali Kota Surabaya: Transfer Pusat ke Daerah Mengecil, Wali Kota Jangan ‘Sambat’

Wawancara eklusif Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) 2025-2030 yang juga Walikota Surabaya Eri Cahyadi dalam siniar dengan Suar.id. Eri bicara mengenai persoalan mengecilnya transfer pusat ke daerah untuk tahun 2026.

Wawancara Khusus Wali Kota Surabaya: Transfer Pusat ke Daerah Mengecil, Wali Kota Jangan ‘Sambat’
Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) 2025-2030 yang juga Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dalam siniar dengan Suar.id di Jakarta, Kamis (11/12/2025). (Foto: Fandi/Suar.id)

Tahun 2026 diperkirakan akan penuh tantangan bagi pemerintah kota (Pemkot). Ibarat penerbangan, jalannya pemkot berpotensi alami turbulensi. Pangkal penyebabnya tak lain karena menyusutnya anggaran Transfer Keuangan Daerah (TKD) dari pemerintah pusat untuk daerah.

Mengutip data Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, besaran TKD turun 24,66% menjadi Rp693 triliun. Padahal, sebelumnya pada APBN 2025 anggaran TKD sebesar Rp919,87 triliun.

Mengingat masih tingginya ketergantungan pemkot pada TKD, menyusutnya kiriman uang dari pemerintah pusat ini bisa berpotensi timbulkan macetnya pembayaran gaji pegawai hingga berkurangnya proyek pembangunan.

Namun, bak pilot yang handal dalam hadapi turbulensi, pemkot yang dinahkodai para wali kota tetap harus berupaya sekuat tenaga untuk menghadapi tantangan ini.

Semangat itu yang coba ditularkan oleh Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) 2025-2030 yang juga wali kota Surabaya Eri Cahyadi dalam siniar dengan Suar.id di Jakarta, Kamis (11/12/2025).

Alih-alih larut dalam kekecewaan dan kemarahan, Eri ingin mengajak 98 wali kota yang jadi anggota Apeksi agar berpikir kreatif untuk mengoptimalkan potensi daerah agar bisa mendulang Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengurangi ketergantungan akan TKD.

Berikut petikan wawancara Cak Eri, panggilan akrabnya, dengan founder dan pemimpin redaksi Suar.id Sutta Dharmasaputra.

Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) 2025-2030 yang juga Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi (kiri) bersama Founder dan Pemimpin Redaksi Suar.id Sutta Dharmasaputra (kanan)

Tahun depan diperkirakan bakal penuh tantangan bagi pemkot karena menyusutnya TKD dari pemerintah pusat. Ibarat di dunia penerbangan, hal ini bisa memicu turbulensi. Seberapa besar dampak guncangan ini terhadap pemkot?

Kita perlu melihat seperti apa struktur fiskal pemkot tersebut. Ada daerah dengan PAD hanya 30% sedangkan 70% sisanya mesti dipenuhi oleh TKD. Tapi ada juga yang lebih mandiri dengan PAD mencapai 70% sedangkan TKD hanya 30%. Jadi ada wilayah yang PAD kuat, tapi juga ada yang belum. Untuk daerah yang masih andalkan TKD hingga 70% ini bisa jadi dilema antara membayar gaji pegawai atau menjalankan program pembangunan

Bagaimana dengan Surabaya?

Potongan TKD ke Surabaya itu paling besar, pada 2026 hingga Rp730 miliar. Struktur fiskal kami sekitar 75% berasal dari PAD dan 25% sisanya dari pusat (TKD). Yang mau saya sampaikan juga adalah pemotongan anggaran dari pusat ini pun proporsional. Maksudnya, daerah yang PAD kuat kena potongan lebih besar, ada juga daerah yang PAD belum kuat malah tidak kena potongan sama sekali. Jadi ini tidak bisa disamaratakan.

Ibarat pesawat ya pak, Surabaya pesawat yang besar jadi hanya merasakan goyang-goyang saja. Tapi daerah lain mungkin terguncang ya pak?

Nah inilah yang kami lakukan di Apeksi. Kami itu menguatkan satu sama lain. Di Apeksi itu kami membuat buku yang isinya terkait bagaimana inovasi yang dilakukan daerah. Tujuannya agar walau dalam kondisi turbulensi ini, kita dapat bertahan. Karena apa? Karena bagaimanapun juga wali kota ini dipilih oleh rakyat. Maka dalam keadaan apapun ya tetap harus bisa memberikan yang terbaik bagi rakyat. Jadi kami mengajak para wali kota itu untuk melihat kelebihan masing-masing. Ada yang dari digitalisasi. Ada yang dari pemanfaatan aset. Ada kota yang mencatat lompatan PAD yang tinggi. Kami undang Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) kota itu untuk jadi pembicara agar bisa transfer knowledge ke pemkot lainnya. Intinya apa? Setiap daerah, setiap wali kota, itu pasti punya kemampuan. Punya sesuatu yang bisa digerakan.

Bagaimana strategi di Surabaya?

Contoh seperti Surabaya ya. Meskipun kami juga goyang (karena penurunan TKD), tapi penduduk kami kan banyak. Apa yang harus dilakukan? Saya bilang sama teman-teman, jangan pernah kita itu menggerutu, kalau orang Jawa bilang itu ‘sambat’. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Untuk pemeliharaan taman-taman di pinggir jalan itu bukan kami lagi yang lakukan tapi program CSR (Corporate Social Responsibility/CSR) dari perusahaan. Soal halte bus misalnya bisa dengan nama-nama perusahaan. Karena mereka yang membangun, maka mereka yang mengelola, dan ada nama mereka. Itu yang bisa dilakukan kota besar seperti Surabaya. Tapi untuk kota kecil hal itu sulit dilakukan. Maka yang bisa dilakukan menggerakkan asetnya. Setiap wilayah pasti punya potensi bisa pula kekayaan alamnya atau apapun. Itu yang bisa digerakkan oleh pemkotnya masing-masing.

Data menunjukkan, nilai TKD untuk 2026 ini terendah dalam 5 tahun terakhir. Artinya banyak juga kepala daerah yang baru menjabat dan belum pernah alami tantangan ini sebelumnya. Ya namanya saja turbulensi ya pasti mendadak, tidak ada pemberitahuan sebelumnya…

Iya mendadak. Kata para wali kota itu mendadak dangdut gitu lah. Turbulensi kan nggak mungkin ngabari, tiba-tiba anjlok saja. Pengurangan TKD ini akan baru final di akhir tahun pemberitahuannya. Ada pemotongan sekian. Padahal perencanaan anggaran itu sudah dilakukan Mei-Juli. Penyusunan rencana pembangunan dan anggaran itu tentu dengan asumsi akan ada TKD. Namun, tiba-tiba ada pemotongan. Padahal kami membuat perencanaan program dan anggaran itu juga mengacu juga dengan visi-misi presiden dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Tapi karena penyusutan anggaran, ya jadi mesti harus berubah semuanya.

Baca juga:

Ringkasan Eksekutif Roundtable Decision: Kemandirian Fiskal Kota Pemicu Pertumbuhan
Di antara komponen fiskal lainnya, pendapatan asli daerah (PAD) adalah satu-satunya instrumen yang berada sepenuhnya di bawah kendali dan inisiatif pemerintah kota. PAD adalah nadi dari otonomi kota, menjadi sumber energi yang memungkinkan pemerintah kota menata kebijakan, membiayai layanan, dan menggerakkan ekonomi lokal sesuai dengan karakter wilayah dan kebutuhan warganya.

Contoh untuk kota kecil dengan uang transfer hingga 80%. Mereka sudah merencanakan program misal masyarakat berobat gratis, membangun infrastruktur jalan yang menyambungkan dua kelurahan misalnya. Lalu program pendidikan gratis. Tiba-tiba ada pemotongan ini, maka uangnya berkurang. Maka mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan. Apakah pada mempertahankan atau menghilangkan program pembangunan infrastruktur? Atau menghilangkan program yang gratis-gratis untuk masyarakat. Padahal janjinya terkait infrastruktur misalnya.  Maka salah satunya pasti akan dikorbankan. Inilah yang jadi pemikiran teman-teman pemkot. Bukan kami tidak lagi tegak lurus pada pemerintah pusat soal pengentasan kemiskinan, tapi karena sudah tidak ada lagi uang yang tersedia. Masyarakat pun menilai, kok tidak semua dijalankan? Padahal masyarakat tidak tahu bahwa uang yang masuk ke pemda ini salah satunya dari pusat. Apalagi untuk daerah-daerah yang 70%-80% anggarannya bergantung pada TKD.

Analisis data menunjukkan, sudah belasan kota yang mampu mencapai PAD di atas Rp1 triliun. Apakah ini artinya ada tren perbaikan pengelolaan fiskal? Bagaimana selama ini pengelolaan PAD?

Iya kotanya semakin banyak. Ini berarti tren yang baik kan. Tapi kembali lagi bahwa tiap kota itu punya kondisi, potensi daerah, dan kemampuan yang berbeda-beda. Jangan bandingkan Surabaya dengan Mojokerto misalnya. Atau Banda Aceh dengan Surabaya. Maka kami di Apeksi itu menggolongkan kota itu menjadi beberapa klister. Ini yang kami dorong agar tumbuh bersama. Ada transfer knowledge antar daerah.

Baca juga:

Bangkitkan Pertumbuhan dari PAD Perkotaan (1)
Kota-kota di Indonesia, yang memiliki modal besar, perlu melakukan berbagai inovasi demi memiliki independensi fiskal. Solusinya digitalisasi dan kolaborasi.

Bagaimana resep untuk menaikkan PAD kota?

Ada berbagai cara ya. Yang bisa dikerjakan misalnya perampingan organisasi pemkot seperti penggabungan atau peleburan dinas. Kita ternyata sanggup mengerjakan pembangunan cukup dengan 20 organisasi tanpa perlu 30 organisasi. Bukan berarti kita mengurangi pegawai, tapi kita kaji betul seberapa kebutuhan sesungguhnya. Jangan sampai ada permintaan penambahan pegawai tapi kinerja tidak optimal juga malah membebani fiskal. Cara lainnya mendorong digitalisasi. Misalkan digitalisasi anggaran. Bisa juga digitalisasi pungutan pajak. Kita lihat banyak kota ini kan jadi destinasi wisata. Dari restoran dan hotel misalnya, pungutan pajak parkirnya coba dibuat digital.  Pungutan pajak dari beragam aktivitas hotel dan lain-lain. Tanpa digitalisasi pungutan dan anggaran pasti bocor. Dengan digitalisasi kebocoran itu bisa diamankan hingga 90%. Tapi ini semua asumsinya dalam kondisi normal ya. Kita tahu semua bahwa saat ini Tuhan sedang memberikan cobaan bencana di Sumatera. Tentu kekuatan fiskalnya juga akan ikut terdampak.

Bagaimana soal kolaborasi dengan dunia usaha dan berbagai pemangku kepentingan? Seberapa kuat kolaborasi ini bisa menanggulangi turbulensi yang ada?

Kalau seandainya bisa itu 100% bahkan 1000% mungkin saja. Justru dibandingkan yang tadi saya jelaskan sebelumnya, kolaborasi ini lebih kuat. Di Surabaya misalnya, tadi saya sampaikan potongan transfer kami tahun depan nyaris Rp800miliar. Dengan kerjasama dan gotong royong ini bisa membantu semua pembangunan tetap berjalan. Di Surabaya banyak pengusaha yang terlibat jadi orangtua asuh. Lalu soal layanan kesehatan di Puskesmas, kami membutuhkan banyak tenaga genekolog. Ini digerakkan dari kalangan kampus lewat berbagai program. Jadi itu semua bisa terpenuhi tanpa APBD kota. Kelihatannya mudah ya. Tapi praktiknya sulit. Wali Kota itu sejatinya seperti konduktor sebuah kelompok orkestra. Jadi tugas utamanya ya menyamakan biar sinergis.