Tabuh drum dan suara melengking mengiringi konser malam itu. Lebih istimewa lagi, vokalis yang energik di atas panggung itu adalah Presiden Direktur PT. Freeport Indonesia, Tony Wenas.
Irama musik rock, bagi Tony Wenas, lebih dari sekadar hobi. Malam itu, Tim SUAR merapat ke Deheng House, Kemang Jakarta. Tony akan naik panggung bersama Kadri Mohamad dan Alfred Ayal, serta diiringi orkestra Dwiki Dharmawan dalam The Grand Rhapsody Rockestra.
Lampu-lampu aula konser di Lantai 4 telah dipadamkan saat kami masuk. Beberapa kursi barisan depan telah diisi, dan tayangan video klip di layar menjelaskan konser malam itu menjadi sebuah terobosan pertama dalam sejarah: mempertemukan hentakan rock dari repertoar lagu-lagu legendaris Queen dan iringan orkestra.
Dalam hati, kami sempat sangsi. Sebagai penikmat lagu-lagu Queen, meski tidak terlalu fanatik, konser malam ini jelas eksperimen menantang, yang harus benar-benar dipersiapkan matang agar tidak saling bertabrakan.
Dinginnya aula konser sehabis hujan menghangat saat Kadri mencabut mikrofon dan mempersembahkan "Innuendo" sebagai lagu pertama, disusul perkusif khas dalam "Under Pressure".
Dari Kadri, Alfred Ayal sigap merebut mikrofon dan menunggangi antusiasme penonton dengan "I Want to Break Free", sebelum perlahan-lahan membawa suasana konser melandai dengan lagu melankolis "Somebody to Love" dan "Jealousy".
Memasuki lagu keenam, barulah Tony Wenas masuk bagai seri panggung. Berjaket kulit coklat, Tony segera ambil posisi di belakang keyboard, dan mengalunlah "Play The Game" dan "Mustapha" sebagai dua nomor pertama.
Tak disangka, Tony mampu mencapai nada tinggi dengan pitch perfect, membuat lirik-lirik gugatan kepada Tuhan khas Freddie Mercury dalam "Mustapha" benar-benar terasa hidup dan mengguncang panggung.
Melepas dahaga, sebotol ginger ale dalam tumbler biru selalu siap di ujung kaki Tony, diteguk perlahan setiap habis beberapa lagu. Tak lupa, Tony menyelipkan seloroh dan menyapa penonton saat mengambil jeda.

"Gua masih old-fashioned, tapi kalau mau diajak kekinian, bisa juga...." ujarnya sebelum melanggamkan "Good Old-Fashioned Lover Boy", "I Was Born to Love You" dan "Radio Ga Ga". Tak sedikit penonton turut bernyanyi saat memasuki lagu memasuki refrain lagu-lagu Queen yang sudah berada di luar kepala. "Radio Ga Ga.... Radio Goo Goo...."
Berselang-seling dengan Kadri dan Alfred, hampir seluruh repertoar yang dipanggungkan Tony malam itu adalah lagu-lagu dengan interval nada tinggi hingga nomor-nomor terakhir.
Bagai sebuah pendakian, Kadri, Alfred, dan Tony memuncaki konser dengan persembahan lagu terbaik sepanjang sejarah umat manusia: "Bohemian Rhapsody"
Anywhere the wind blows doesn't really matter to me.... to me....
Mama... just killed a man.... put a gun against his head, pulled my trigger, now he's dead....
Mama... life had just begun.... but now I've got to throw it all away....
Tak ayal, seluruh aula pun bersatu suara saat Tony melengkingkan larik, "Mamaaaa.... uuuuu.... didn't mean to make you cry.... if I'm not back again this time tomorrow...."
Hentakan-hentakan terus berjalan, hingga konser ditutup dengan manisnya gemuruh kemenangan dalam irama "We Are The Champions", yang menjadi pakem konser Queen di seluruh dunia.

Bukan hobi
Lewat 30 menit setelah pukul 22.00, stamina Tony masih sangat terjaga saat memenuhi janji wawancara kami di ruang pertemuan, tepat satu lantai di bawah aula konser.
Di usia jelang delapan windu, Tony sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda kantuk atau kelelahan. Di antara kepulan asap sebatang Marlboro merah, Tony menyanggah cepat saat kami bertanya apakah musik adalah hobinya,
"Bukan sekedar hobi, ini profesi. Saya adalah seorang musisi. Kalau Anda jadi CEO, nantinya setelah pensiun akan jadi mantan CEO. Tapi kalau jadi musisi, once you become a musician, you'll be the whole life as a musician."
Menurut Tony, menggeluti dunia usaha dan dunia musik bukanlah dua dunia yang perlu dipisahkan garis api. Dari pengalaman memimpin band Solid '80 sejak masih berstatus mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tony mengibaratkan perjalanan itu seperti memimpin sebuah perusahaan, karena pada akhirnya, dia juga harus mengatur personel dan segala kebutuhan mereka.
Dalam kapasitas itu, kemahiran mengolah instrumen tidak serta-merta mencerminkan kemampuan manajerial yang baik untuk menemukan, mengumpulkan, dan menciptakan harmoni dari instrumen yang berbeda-beda ke dalam rangkaian nada yang sama.
"Begitu juga di perusahaan. Saya bukan akuntan yang hebat, bukan ahli tambang, bukan ahli di bidang HR, tapi saya bisa mengumpulkan orang-orang itu semuanya, memberikan direction, coordination, sehingga tercipta satu sinergi yang positif, yang bagus, untuk mencapai tujuan perusahaan," ucapnya.
Familiar dengan lagu-lagu Queen sejak muda, Tony mengaku hanya membutuhkan satu kali latihan bersama orkestra sebelum naik panggung. Latihan pamungkas itu bertujuan menyelaraskan pattern dan finishing. Selebihnya, empat dasawarsa pengalaman bermusik adalah sasana tempat Tony berlatih secara terus-menerus.
"Memang PR-nya yang paling berat adalah menyesuaikan jadwal. Kadang-kadang kalau jadwal tabrakan, tapi waktu untuk latihan harus ada. Waktu itu 'kan 24 jam. Kalau satu hari saya tidur 6 jam, di rumah 4 jam, kerja di kantor 4 jam, networking 2 jam, macet 2 jam, masih ada 2 jam latihan. Bisa selama kita mau disiplin terhadap waktu," tegas Tony.
Anak band
Memimpin band sejak 1980, Tony sejatinya sudah bernyanyi di panggung sejak usia 4 tahun. Mulai usia 10, dia belajar menggenjreng gitar, dan dua tahun kemudian, jemarinya mulai menari di atas tuts piano. Tanpa guru, semua keterampilan musik Tony raih secara autodidak.
"Yang jago musik banyak. Saya tidak jago, cuma saya asyik kalau main. Di atas tadi asyik, kan?" gurau Tony
Dari pengalaman bermusik sepanjang hayat, Tony yakin bahwa musik adalah bahasa universal. Musik bisa diterima semua orang, terlepas perbedaan bahasa, ras, suku, agama. Dalam bahasa musik, dua belas nada diatonis dan pentatonis mampu menciptakan miliaran lagu dengan beragam genre.
Tak hanya menghibur, Tony percaya musik mampu mengungkapkan sesuatu yang tak tersampaikan dengan kata-kata.
Tidak hanya itu, menemukan harmoni dalam petualangan irama yang menghanyutkan juga menjadi kesempatan Tony belajar menemukan keselarasan dan menyatukan visi yang berbeda-beda.
"Dari menekuni musik dan memimpin satu band, itulah yang kemudian saya terapkan dalam memimpin perusahaan. Ingat, musisi itu jauh lebih egois daripada direktur-direktur. Namanya seniman, masing-masing akan bilang saya paling hebat. Kalau kemampuan itu diterapkan dalam perusahaan, itu satu hal yang pas sekali."
Keragaman watak seniman, menurut Tony, mengajarkannya bahwa seorang pemimpin mempunyai banyak pilihan gaya kepemimpinan: otoriter, tut wuri handayani, ing madyo mangun karso, atau ing ngarso sung tulodho. Merangkul semuanya akan menjadikan seorang pemimpin terampil menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat (the right man on the right place).
"Jadi, seorang Tony Wenas itu pemimpin berjiwa seniman atau seniman berjiwa pemimpin?" tanya kami.
Tony menjawab dengan mantap, "Dua-duanya...."