Menyongsong kuartal terakhir tahun 2025, Kementerian Keuangan mengungkapan serapan belanja negara baru mencapai setengah dari outlook APBN. Padahal, masih ada target pertumbuhan yang harus dikejar dalam tiga bulan ke depan.
Untuk itu, harus dilakukan akselerasi belanja negara, meski tetap dengan langkah hati-hati dan tepat menyasar program prioritas.
Keadaan tersebut dipaparkan secara jelas dalam Konferensi Pers APBN Kita edisi September 2025 di Gedung Djuanda I Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (22/9/2025). Selain menggantikan konferensi pers edisi Juli 2025 yang dibatalkan pada akhir Agustus lalu, acara ini merupakan kesempatan perdana bagi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan keuangan negara di hadapan wartawan.
Purbaya membuka konferensi dengan menjelaskan dampak dinamika perekonomian global terhadap ekonomi Indonesia. Menurutnya, di tengah fluktuasi harga komoditas, Indonesia dapat memaksimalkan sektor manufaktur dengan tiga bekal.
Pertama, pertumbuhan kinerja manufaktur mencapai 5,68% YoY, tertinggi sejak 2022. Kedua, tingkat Purchasing Manager Index yang telah mencapai level ekspansi 51,5. Ketiga, pertumbuhan neraca perdagangan kumulatif yang mengalami kenaikan hingga 52,3% YoY.
"Ini pertumbuhan yang spektakuler, menunjukkan situasi global tidak terlalu jelek. Kalau kemarin-kemarin kita takut, sekarang harusnya kita berani, apalagi domestik kita kuat. Ketidakpastian masih ada, tetapi kita sudah lebih kuat dari sebelumnya," ujar Purbaya.
Tidak hanya dari segi produksi, Purbaya melansir situasi makroekonomi Indonesia mencerminkan resiliensi. Indikasinya, inflasi terjaga di level 2,31%, investasi tumbuh 6,99%, dan konsumsi rumah tangga tumbuh 5% YoY – terutama ditopang akomodasi makan dan minum, di samping transportasi dan komunikasi.
"Dengan kepercayaan investor yang cepat sekali recovered setelah keributan beberapa minggu lalu, dan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi terjaga di level optimis, ekonomi kita akan diperkuat terus ke depan. Dan, kita akan melihat pertumbuhan yang lebih baik di bulan Oktober, November, dan Desember ini," cetus Purbaya.
Realisasi belanja
Terlepas dari gambaran makroekonomi yang cukup memberikan harapan, penerimaan dan belanja negara yang masing-masing baru mencapai setengah dari outlook APBN menjadi penting untuk disorot dan digarisbawahi.
Wakil Menteri Keuangan I Suahasil Nazara memaparkan, sampai 31 Agustus 2025, realisasi pendapatan negara baru mencapai Rp 1.638,7 triliun atau 57,2% dari outlook APBN 2025. Sementara, belanja negara terealisasi dalam periode yang sama baru mencapai Rp 1.960,3 triliun atau 55,6% outlook APBN 2025.
Dengan jumlah defisit Rp 321,6 triliun atau 1,35% PDB, Suahasil menyatakan bahwa masih ada belanja pemerintah yang harus dipercepat lagi.
Secara rinci, dari Rp 1.960,3 triliun belanja negara tersebut, belanja kementerian/lembaga (K/L) mencapai Rp 686 triliun atau 59,1% pagu APBN.
Terdapat tiga jenis belanja yang mengalami kenaikan. Yakni, belanja pegawai naik 7,6% menjadi Rp 212,8 triliun; belanja barang naik 2,4% menjadi Rp 232,2 triliun; dan belanja bansos naik 5,5% menjadi Rp 101,1 triliun.
Anggaran pendidikan tahun ini telah terserap Rp 357,1 triliun atau 49,3% pagu APBN sebesar Rp 724,3 triliun. Alokasi terbesar berjumlah Rp 193,7 triliun bagi guru/dosen/tenaga pendidik; pembangunan 100 sekolah rakyat dengan realisasi Rp 788,7 miliar; dan revitalisasi sekolah senilai Rp 9,6 triliun.
Anggaran infrastruktur telah terserap Rp 142,1 triliun, atau 35,32% pagu anggaran sebesar Rp 402,4 triliun.
Tiga alokasi terbesar adalah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan untuk 158.000 rumah sebesar Rp 18,8 triliun; pembangunan irigasi senilai total Rp 13,6 triliun, dan pembangunan jalan daerah sebesar Rp 10,2 triliun yang tersebar di 37 provinsi. Ketiganya merupakan pengeluaran prioritas infrastruktur untuk menunjang konektivitas, ketahanan pangan, dan ketahanan energi.
Sementara itu, program prioritas pemerintah pusat telah menyerap anggaran sebesar Rp 420,2 triliun atau 45,5% dari pagu Rp 923,8 triliun. Di antaranya, Makan Bergizi Gratis menyerap Rp 13 triliun atau 18,3% dari pagu APBN sebesar Rp 71 triliun dengan jumlah penerima mencapai 22,7 juta siswa.
Selain MBG, program Cek Kesehatan Gratis di 32 rumah sakit telah menyerap Rp 3 triliun atau 32% dari pagu APBN sebesar Rp 9,3 triliun, dan pembangunan 165 Sekolah Rakyat/Sekolah Unggul Garuda yang baru menyerap 4,9% dari pagu APBN sebesar Rp 14,4 triliun.
Secara khusus, Suahasil menggarisbawahi untuk tidak melihat belanja negara dari belanja pemerintah pusat, melainkan juga belanja daerah. Sampai akhir Agustus 2025, pemerintah pusat telah mengirim Rp 571,5 triliun atau 62,1% dari pagu APBN. Di saat transfer ke daerah lebih tinggi daripada tahun lalu, belanja daerah justru lebih lambat.
"Kami melihat dana pemerintah daerah masih mengendap di perbankan hingga Rp 233,11 triliun. Untuk itu, kami mengharapkan pemerintah daerah bisa belanja lebih cepat dalam waktu tiga bulan ke depan. Ini perlu terus didorong untuk akselerasi belanja agar APBD mampu menstimulus perekonomian daerah," jelas Suahasil.
Tidak hanya memberi instruksi, pemerintah pusat telah menggerakkan ekonomi daerah lewat program kawasan transmigrasi sebagai titik-titik pertumbuhan baru, memberikan dukungan koperasi dan UMKM sebesar Rp 15,6 triliun, serta mengatur fasilitas pinjaman berbunga 6% bagi Koperasi Desa Merah Putih dengan plafon hingga Rp 3 miliar untuk tenor 6 tahun.
Tetap hati-hati
Seiring dengan berjalannya waktu, serapan belanja negara yang belum optimal semakin kecil kemungkinannya untuk tersalurkan sampai akhir tahun. Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual menyatakan tidak heran bahwa serapan belum mencapai setengah outlook di kuartal terakhir tahun. Pasalnya, ini merupakan pola yang menurutnya sudah kronis terjadi selama bertahun-tahun.
"Ini diperparah lambatnya kemajuan program flagship pemerintah, seperti MBG, Koperasi Merah Putih, dan lain-lain. Cara untuk mengoptimalkan serapan itu bisa dengan realokasi ke percepatan belanja bansos dan perluasan stimulus permintaan di Paket 8+4+5," ujar David saat dihubungi SUAR, Senin (22/9/2025).
Terlepas dari perlambatan tersebut, Ketua Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Deni Friawan menyatakan pemerintah tetap perlu hati-hati dalam mengoptimalkan belanja negara. Dia menekankan, meski optimasi belanja negara penting untuk pertumbuhan, perimbangan dengan pendapatan negara jangan sampai dilupakan.
"Jika pemerintah mengoptimalkan belanja di saat penerimaan tidak bisa dioptimalkan, yang terjadi adalah pembesaran defisit. Apalagi, dengan waktu yang kurang dari 3 bulan–4 bulan, akan sangat sulit untuk mencapai target pengeluaran sampai 100% dari yang telah ditetapkan," jelas Deni kepada SUAR.
Dalam situasi seperti ini, Deni mengkhawatirkan pemerintah akan terburu-buru mempercepat disbursement pengeluaran ini dalam jumlah besar, tetapi tidak memperhatikan dampaknya terhadap perekonomian, seperti belanja alat tulis kantor (ATK), mengadakan seminar atau kegiatan di hotel, dan sebagainya.
Alih-alih meminta pemerintah melakukan belanja secara tergesa-gesa, Deni menyarankan agar belanja efisiensi APBN dievaluasi kembali. Pos pembiayaan dan belanja yang dipangkas Kementerian Keuangan pada masa kepemimpinan Sri Mulyani Indrawati masuk kembali ke dalam anggaran.
"Kalau pemerintah mau cepat, pos pengeluaran yang sebelumnya sudah dipangkas itu harus dicabut supaya bisa segera dibelanjakan. Efisiensi dan pemotongan anggaran yang dilakukan di awal tahun ini, juga harus dikembalikan lagi, atau pemotongannya dibatalkan," ungkapnya.
Defisit APBN melebar
Untuk tahun depan, Kementerian Keuangan mengatakan, defisit APBN akan melebar pada 2026. Keputusan itu diambil dalam rapat kerja Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Bank Indonesia di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (18/9/2025).
Dalam hitungan jam, defisit anggaran yang semula dipatok Rp 638,8 triliun atau 2,48 persen dari produk domestik bruto (PDB), kini naik menjadi Rp 689,1 triliun atau setara 2,68 persen PDB. Tambahan Rp 50,3 triliun tersebut muncul seiring meningkatnya target belanja negara.
Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah menyebut kenaikan defisit itu merupakan penyesuaian yang tidak bisa dihindari. “Persentase defisit terhadap PDB yang awalnya 2,48 persen kini disesuaikan menjadi 2,68 persen, atau ada kenaikan 0,2 persen poin,” ujarnya.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan publik tidak perlu khawatir dengan pelebaran defisit. Menurutnya, posisi defisit 2,68 persen PDB masih berada dalam rentang aman 2–3 persen.
“Jadi enggak usah takut. Kita tetap hati-hati,” kata Purbaya di Senayan. Ia menambahkan, defisit yang sedikit lebih tinggi justru dibutuhkan untuk menjaga momentum pertumbuhan. “Itu enggak apa-apa, itu diperlukan untuk nanti menciptakan pertumbuhan (ekonomi–read),” lanjutnya.
Pemerintah berharap dengan tambahan belanja, pembangunan daerah bisa lebih terdorong, pelayanan publik meningkat, serta proyek-proyek strategis nasional berjalan lebih cepat. Optimisme ini berangkat dari asumsi bahwa belanja negara memiliki efek pengganda terhadap aktivitas ekonomi.
Dari kacamata pengusaha, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menilai pelebaran defisit RAPBN 2026 ke level 2,68% PDB tidak bisa dilihat semata sebagai angka. Ketua Bidang Perdagangan APINDO, Anne Patricia, menekankan pentingnya memahami desain dan arah kebijakan yang melandasi keputusan itu. Menurutnya, APBN 2026 harus mampu menyeimbangkan tiga kepentingan sekaligus: menjaga keberlanjutan fiskal, menciptakan ruang ekspansi untuk sektor produktif, serta menyediakan bantalan sosial di tengah ketidakpastian global.
“Ini bukan sekadar memilih sikap full power atau konservatif. Tantangannya adalah bagaimana menjaga mesin ekonomi tetap panas, tapi tidak sampai overheating,” ujarnya kepada Suar melalui keterangan tertulis, Minggu (21/9).
Anne mengakui pemerintah memang tidak bisa hanya bermain aman, tetapi juga tidak boleh terlalu agresif tanpa arah. Ia menekankan, realisasi pertumbuhan 2026 perlu dijaga agar tetap di atas baseline 5% demi membuka lapangan kerja baru dan menekan pengangguran. Karena itu, RAPBN sebaiknya memberikan ruang akselerasi yang terukur, bukan sekadar mempertahankan status quo.
Bagi dunia usaha, kata Anne, kunci utamanya ada di eksekusi. Seberapa cepat proyek strategis bisa dijalankan, seberapa besar insentif memicu investasi swasta, dan seberapa nyata belanja publik menghasilkan multiplier effect akan menentukan kredibilitas fiskal. “Kalau hanya berupa target tinggi tanpa implementasi nyata, hasilnya tidak lebih dari aspiration without transformation,” tegasnya.
Di tengah ketidakpastian global, Anne menekankan perlunya menghadirkan crowding-in effect, yakni mendorong partisipasi dan investasi swasta alih-alih sekadar mengandalkan belanja negara. “Setiap kebijakan APBN 2026 harus dilihat sebagai instrumen untuk memastikan setiap rupiah benar-benar menjadi mesin pengganda bagi ekonomi nasional,” katanya.
Meski begitu, pelebaran defisit juga berarti pemerintah harus mencari pembiayaan tambahan. Anggaran pembiayaan kini naik dari Rp 638,8 triliun menjadi Rp 689,1 triliun. Artinya, ruang fiskal akan semakin bergantung pada utang baru maupun instrumen keuangan lainnya.
Senada dengan pengusaha, ekonom mengingatkan agar ini tidak dianggap enteng. Yusuf Rendy Manilet, ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE), menilai pembiayaan defisit tahun depan kemungkinan besar masih akan bertumpu pada penerbitan surat berharga negara (SBN).
“Tantangan yang perlu diwaspadai adalah potensi kenaikan imbal hasil akibat ketidakpastian global yang masih tinggi. Hal ini dapat meningkatkan beban pembayaran bunga utang dalam jangka panjang,” kata Yusuf.
Ia menambahkan, strategi buyback SBN dengan imbal hasil lebih rendah bisa dipertimbangkan pemerintah ketika kondisi memungkinkan, agar risiko bunga tidak semakin membebani generasi mendatang.
Selain itu, Yusuf mengingatkan bahwa meski target pendapatan negara tahun depan lebih tinggi dibandingkan proyeksi realisasi 2025, kenaikannya relatif terbatas. Dengan asumsi makro yang disusun cukup optimistis, kegagalan pencapaiannya, misalnya jika pertumbuhan ekonomi meleset, berpotensi memperlebar defisit di luar target pemerintah.
“Kalau asumsi makro terlalu optimistis dan tidak tercapai, maka ruang fiskal pemerintah bisa semakin sempit, dan pelebaran defisit bisa melampaui proyeksi awal,” jelasnya.