Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren volume impor kedelai Indonesia stabil tinggi, dengan rata-rata di atas 2,5 juta ton per tahun. Tahun 2019, volume impor kedelai sebesar 2,7 juta ton. Sempat turun ke angka 2,2 juta ton di 2023, namun kembali melonjak menjadi 2,7 juta ton di 2024.
Sementara itu, nilai impornya juga berfluktuasi seiring dinamika harga global dan kurs, hingga mencapai puncaknya di angka 1,6 miliar dolar AS pada tahun 2022. Tingginya volume impor kedelai ini tak lepas dari besarnya kebutuhan atau konsumsi kedelai nasional yang mencapai sekitar 2,9 juta ton hingga 3 juta ton per tahun.
Amerika Serikat menjadi pemasok utama kedelai Indonesia dengan porsi mencapai hampir 90% volume total impor, diikuti oleh Kanada. Tren impor dari Amerika Serikat menunjukkan penurunan volume sejak 2017 (2.637.125,0 ton) hingga 2023 (1.949.365,2 ton). Namun, kembali melonjak di tahun 2024 menjadi 2.378.735,9 ton.
Di sisi lain, impor dari Kanada menunjukkan tren peningkatan, dari 12.104,0 ton pada 2017 menjadi 261.530,7 ton di 2024. Selain kedua negara itu, muncul Argentina dan Brasil yang juga mengekspor kedelai ke Indonesia beberapa tahun terakhir.
Faktor utama ketergantungan terhadap impor kedelai adalah rendahnya produksi kedelai dalam negeri. Meskipun Indonesia memiliki potensi lahan yang besar, produksi lokal per tahun masih sangat minim.
Sebagai perbandingan, di tahun 2023, kebutuhan kedelai nasional tercatat sekitar 2,59 juta ton. Sedangkan produksi kedelai domestik pada tahun tersebut hanya berkisar antara 346.821 ton hingga 400.000 ton, hanya mampu memenuhi sekitar 13-15% dari total kebutuhan. Proyeksi produksi ke depan bahkan diperkirakan menurun.
Menghadapi tantangan ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian (Kementan) terus didorong untuk menjadikan kedelai sebagai komoditas strategis nasional dan prioritas program swasembada. Salah satu upaya utama yang disuarakan di tahun 2025 adalah dengan menghidupkan kembali program terpadu seperti Pajale (Padi, Jagung, Kedelai). Program ini fokus pada peningkatan Luas Tambah Tanam (LTT) untuk mendorong perluasan lahan tanam kedelai secara masif, terutama di lahan sawah irigasi setelah panen padi.
Selain perluasan lahan, strategi jangka panjang menuju swasembada kedelai terletak pada peningkatan produktivitas melalui penggunaan benih unggul lokal yang adaptif terhadap kondisi iklim Indonesia dan tahan hama, serta penguatan kelembagaan petani dan dukungan pembiayaan yang memadai.
Meski ambisius, target swasembada kedelai diharapkan dapat terwujud dalam beberapa tahun ke depan, serupa dengan keberhasilan yang diklaim telah dicapai dalam komoditas beras dan jagung. Dengan sinergi kebijakan, riset, dan dukungan penuh kepada petani, cita-cita Indonesia untuk menikmati tempe dan tahu dari 100% kedelai lokal semoga bukan hanya mimpi.