Tantangan Hilirisasi Batubara di Tengah Dinamika Pasar Global

Pemerintah tengah mewacanakan pemberlakuan bea keluar untuk komoditas batubara yang akan berlaku tahun 2026. Kebijakan ini untuk mendorong hilirisasi di dalam negeri, mengurangi ekspor bahan mentah, dan meningkatkan nilai tambah produk tambang nasional.  

Tantangan Hilirisasi Batubara di Tengah Dinamika Pasar Global

Pemberlakuan bea keluar menjadi tantangan bagi pertambangan batubara yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor dan berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB).

Di tahun 2022, sektor mineral dan batubara (minerba) memberikan porsi sebesar 9,2% terhadap PDB. Namun, perannya menurun menjadi sekitar 6,8% pada 2025, dengan nilai kontribusi sebesar Rp 1.805,8 triliun (2022) menjadi Rp 1.613,1 triliun (2025). Penurunan persentase ini agaknya terjadi dipengaruhi oleh harga komoditas atau peningkatan di sektor lain. Di tahun 2025 (hingga triwulan III), nilai kontribusi sektor ini naik 7,5% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Sementara itu, kinerja ekspor menunjukkan lonjakan signifikan sejak tahun 2020. Nilai ekspor batubara mencapai puncaknya pada tahun 2022 dengan angka 46.764,90 juta dollar AS. Kenaikan nilai ekspor di tahun 2022 lebih didorong oleh lonjakan harga komoditas global pasca-konflik geopolitik. Hal itu karena volume ekspor hanya sedikit meningkat dari 345.453 ribu ton (2021) menjadi 360.115 ribu ton (2022).

Meski volume ekspor terus meningkat periode 2020-2024. Nilai ekspor yang dipengaruhi dinamika harga global mengalami penurunan sejak tahun 2023. Setelah mencapai 46.764,9 juta dollar AS (2022), nilai ekspor jatuh hingga 26% di tahun 2023, padahal volume ekspor meningkat 5,4% dari tahun sebelumnya. Meski terjadi penurunan harga batubara di pasar global sejak tahun 2022, para produsen terus mendorong volume ekspor lebih banyak.

Pemberlakuan bea keluar pada komoditas utama ekspor ini menjadi tantangan bagi industri, terutama sektor penambangan batubara & lignit. Tantangan itu antara lain penurunan daya saing harga di pasar global. Pengenaan bea keluar akan menaikkan harga sehingga berpotensi menyebabkan harga batubara Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan produsen lain yang menjadi pesaing utama seperti Australia.

Kondisi ini dapat menyebabkan pengalihan permintaan oleh pembeli internasional, sehingga menekan volume ekspor yang selama ini menjadi sumber pendapatan dominan. Selain itu, margin keuntungan perusahaan, terutama bagi perusahaan dengan biaya produksi tinggi, akan tertekan, yang dapat menghambat investasi dalam operasi tambang dan eksplorasi.

Meskipun bertujuan mendorong pengolahan batubara di dalam negeri (hilirisasi), bea keluar belum menjadi insentif untuk mendorong investasi yang lebih besar yang diperlukan untuk membangun fasilitas gasifikasi atau pabrik metanol. Proyek hilirisasi membutuhkan dana triliunan rupiah dan risiko teknologi tinggi. Jika margin ekspor dari batubara mentah terlalu tertekan, perusahaan bisa jadi kehilangan kapital yang sebenarnya bisa digunakan untuk mendanai proyek hilirisasi.

Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi memicu kekhawatiran regulasi di kalangan investor, yang menganggap bea keluar sebagai intervensi pemerintah yang dapat diubah sewaktu-waktu, sehingga mengurangi prospek bisnis jangka panjang.

Wacana bea keluar perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Terutama untuk menyeimbangkan antara kebutuhan hilirisasi dan realitas pasar komoditas. Untuk mengantisipasi dampaknya, bea keluar perlu dibarengi dengan insentif baik fiskal maupun non-fiskal serta kepastian hukum untuk proyek-proyek hilirisasi. Tujuannya untuk mengurangi risiko Indonesia kehilangan pangsa pasar ekspor batubara mentah di tengah masa transisi energi global.