Mengukur Manfaat Stimulus Ekonomi Teranyar "8+4"

Pemerintah kembali meluncurkan paket insentif ekonomi yang diberi nama 8+4. Insentif ini menyasar pekerja magang hingga insentif perpajakan.

Mengukur Manfaat Stimulus Ekonomi Teranyar "8+4"
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) berbincang dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kiri) usai menyampaikan keterangan pers terkait pencairan dana pemerintah di Jakarta, Jumat (12/9/2025). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa.
Daftar Isi

Di tengah ketatnya efisiensi anggaran, pemerintah kembali menggelontorkan amunisi untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Paket stimulus ekonomi kuartal IV–2025 yang disusun atas arahan langsung Presiden Prabowo Subianto ini diberi label “8+4”.

Harapannya, paket stimulus ini menjadi penopang sekaligus akselerator roda perekonomian hingga akhir tahun. "Total programnya ada 8 plus 4. Jadi 8 plus 4, ya," ujar Airlangga Hartanto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, saat peluncuran paket stimulus tersebut di Jakarta, Jumat (12/9/2025).

Dalam konferensi pers usai rapat perdana dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Airlangga menegaskan bahwa skema insentif ini tengah dimatangkan bersama kementerian terkait.

“Kali ini kami membahas dengan Pak Menteri Keuangan agar programnya sudah disiapkan pos anggarannya,” ujar Airlangga.

Purbaya menambahkan, pemerintah sudah menyiapkan ruang fiskal dengan strategi realokasi anggaran. “Pos anggarannya kan bisa digeser-geser. Kami lihat mana yang tidak terserap sampai akhir tahun, itu akan kami geser ke program yang lebih siap,” ucapnya.

Isi paket kebijakan

Di atas kertas, paket stimulus yang dirancang pemerintah kali ini cukup ambisius. Stimulus kali ini menyasar spektrum yang cukup luas: dari mahasiswa magang, pekerja formal, hingga gig workers seperti pengemudi ojek online. Setidaknya ada enam program yang sudah diungkap Airlangga:

Meski enggan menyebutkan angka pasti, Airlangga memastikan anggaran untuk seluruh program ini sudah tersedia. “Sampai akhir tahun, semua kita dorong,” tegasnya, seolah ingin menepis keraguan soal kapasitas fiskal negara.

Bantalan fiskal dan ujian jangka panjang

Dari kacamata pakar, Jahen Fachrul Rezki, pakar ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), menilai paket stimulus ini dari segi keberlanjutan fiskal, strategi penggunaan dana tak terserap untuk membiayai program mendesak memang lazim dilakukan.

“Selagi untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat serta meng-address problem ekonomi, saya rasa tidak menjadi soal,” ujarnya kepada SUAR, Jumat (14/09) melalui keterangan tertulis.

Namun, Jahen mengingatkan agar bantuan dipilah jelas antara yang jangka pendek dan jangka panjang. Bantuan pangan, misalnya, memang penting menjaga konsumsi rumah tangga di saat sulit. Tapi pemerintah juga harus memastikan masyarakat tidak selamanya bergantung pada subsidi.

“Indikator yang bisa dilihat antara lain konsumsi rumah tangga, Indeks Keyakinan Konsumen, PMI (purchasing managers' index), hingga pertumbuhan kredit untuk kegiatan usaha,” tandasnya.

Artinya, stimulus ini diharapkan Jahen bukan hanya soal menutup kekurangan daya beli sementara, melainkan juga memastikan fondasi ekonomi jangka panjang lebih kuat.

Butuh yang lebih fundamental

Dari kacamata pengusaha, Hariyadi Sukamdani, Presiden Direktur PT Hotel Sahid Jaya International, menilai insentif yang digelontorkan pemerintah – mulai dari PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) hingga bantuan pangan – memang memberikan ruang bernapas. Terutama, bagi karyawan di sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka) yang belakangan tertekan karena pandemi dan menurunnya daya beli.

Menurutnya, kebijakan ini berimbas langsung pada daya beli masyarakat karena karyawan bisa membawa pulang penghasilan yang lebih utuh.

“Biasanya gaji mereka dipotong PPh 21, tapi sekarang ditanggung pemerintah. Jadi mereka menerima gaji penuh, tidak ada potongan. Dampaknya terasa langsung di kantong pekerja,” jelasnya.

Namun, ia menegaskan bahwa manfaat tersebut lebih banyak dirasakan di level individu ketimbang sektor usaha. Untuk bisnis horeka sendiri, dampaknya masih tidak langsung. Harapan Hariyadi, daya beli yang meningkat di kalangan karyawan bisa berbalik menjadi permintaan barang dan jasa, yang pada akhirnya turut menggerakkan usaha di sektor terkait.

“Kalau bicara bisnisnya, efeknya lebih tidak langsung. Yang langsung terasa justru di karyawan. Tapi kalau daya beli masyarakat naik, tentu ada peluang permintaan juga meningkat,” ujarnya.

Hariyadi menambahkan, stimulus berbasis fiskal pusat seperti PPh 21 DTP memang terbatas ruang lingkupnya. Insentif yang lebih konkret bagi pelaku usaha justru datang dari relaksasi pajak daerah, misalnya potongan pajak hotel dan restoran hingga 50 persen. Menurutnya, kebijakan ini langsung meringankan beban cash flow perusahaan, yang memang tengah berjibaku menjaga kelangsungan usaha pasca-tekanan ekonomi.

“Kalau pajak pusat itu sifatnya makro. Tapi kalau pajak daerah, misalnya diskon untuk hotel, restoran, atau hiburan, itu dampaknya bisa langsung terasa ke perusahaan,” katanya.

Ia pun mendorong agar pemerintah pusat dapat berkoordinasi dengan pemerintah daerah, sehingga stimulus dapat berjalan seimbang antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan usaha.

Lebih jauh, ia menilai pemerintah perlu lebih berani mengambil langkah-langkah struktural yang betul-betul mampu mendorong pertumbuhan permintaan dan penciptaan lapangan kerja. Stimulus jangka pendek, seperti bantuan sosial, memang membantu masyarakat sesaat, namun tidak memberikan efek ganda yang signifikan terhadap perekonomian.

Hariyadi menilai pemerintah perlu lebih berani mengambil langkah-langkah struktural yang betul-betul mampu mendorong pertumbuhan permintaan dan penciptaan lapangan kerja.

“Bansos itu sekali pakai. Begitu dikonsumsi, habis. Tidak ada multiplier effect. Tapi kalau kredit disalurkan ke sektor riil, usaha bisa tumbuh, menyerap tenaga kerja, dan efeknya jauh lebih luas,” tegasnya.

Hariyadi bahkan memberi perbandingan dengan transformasi Dubai, yang dalam beberapa dekade mampu mengubah dirinya dari “burung pasir” menjadi pusat bisnis dan pariwisata global dengan keberanian membangun sisi penawaran (supply side) lewat infrastruktur, bandara, dan maskapai penerbangan. Ia menilai Indonesia perlu mengambil pelajaran serupa.

“Dubai itu dulu penduduknya hanya 800.000. Sekarang sebagian besar dihuni ekspatriat karena mereka berani membangun supply side. Indonesia dengan penduduk sebesar ini seharusnya bisa lebih maju. Tapi kebijakan ekonomi kita kadang terlalu hati-hati, banyak teori, sedikit terobosan,” sindirnya.

Ia juga menyoroti inkonsistensi kebijakan, seperti di sektor moneter. Saat pemerintah mendorong penyaluran kredit agar sektor riil bergerak, Bank Indonesia justru mengetatkan suku bunga dengan alasan menjaga stabilitas. Kondisi ini, menurutnya, justru membuat dunia usaha semakin sulit mengakses pembiayaan.

“Sekarang ini dapat kredit itu nggak gampang. Situasi perbankan ketat sekali. Kalau di satu sisi pemerintah dorong kredit, tapi di sisi lain moneter diketatkan, itu kontradiktif. Akhirnya ekonomi seret,” kata Hariyadi.

Dengan situasi yang serba tertekan ini, ia menilai langkah-langkah pemerintah harus segera beralih dari kebijakan populis ke arah kebijakan yang fundamental dan berkelanjutan. Stimulasi di sektor riil, perbaikan akses kredit, serta investasi yang menghasilkan multiplier effect harus menjadi prioritas.

“Kalau hanya PPh 21 DTP, ya, dampaknya terbatas. Yang penting itu sektor-sektor riil bisa tumbuh, menciptakan lapangan kerja. Dari situlah ekonomi bergerak,” katanya.

Stimulus: tambalan atau fondasi?

Bagi dunia usaha, terutama sektor manufaktur padat karya, digitalisasi layanan perizinan melalui OSS (Online Single Submission) masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai.

Meski menyambut baik paket stimulus ini, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sanny Iskandar, berpendapat bahwa efisiensi OSS akan menentukan arah investasi Indonesia ke depan, apakah pabrik baru bisa segera berdiri atau justru rencana ekspansi terus ditunda.

“Perbaikan OSS akan sangat berarti bagi industri manufaktur padat karya, karena sektor tersebut paling sensitif terhadap waktu dan biaya perizinan,” ujar Sanny Iskandar.

Selama ini, ketidakpastian proses perizinan kerap membuat investor ragu, bahkan memilih menanamkan modalnya di negara lain.

Menurutnya, jika OSS benar-benar disempurnakan, lebih sederhana, transparan, dan terintegrasi antar-kementerian serta antara pusat dan daerah, dampaknya bisa langsung terasa: perekrutan tenaga kerja dimulai lebih cepat, rantai pasok berjalan lebih efisien, dan UMKM lebih mudah mengembangkan usahanya.

Namun OSS bukan satu-satunya ujian. Paket stimulus 8+4 program yang digagas pemerintah juga dinilai Apindo baru akan efektif bila menyasar akar persoalan. “Stimulus ekonomi akan efektif bila diarahkan untuk menjawab persoalan mendasar dunia usaha, bukan hanya sekadar memberikan insentif sesaat,” kata Sanny kepada SUAR, Minggu (14/9/2025).

Menurutnya, tiga hal mendesak perlu dibenahi: kepastian regulasi yang konsisten, pemangkasan biaya logistik dan energi, serta penyederhanaan perizinan. Tanpa reformasi struktural, stimulus hanya jadi tambalan sementara.

“Tetapi bila pemerintah berani melakukan reformasi mendasar, paket stimulus 8+4 ini bisa menjadi momentum memperkuat daya saing industri, mendorong ekspansi manufaktur, dan menciptakan lapangan kerja baru,” tegasnya.

Sanny menyimpulkan, bagi pelaku usaha, keberhasilan stimulus dan digitalisasi OSS tidak semata menjaga pertumbuhan jangka pendek. Lebih dari itu, ini adalah taruhan besar: apakah Indonesia mampu membangun fondasi kokoh bagi keberlanjutan ekonomi.

Kritik dari pekerja lapangan

Meski pemerintah menegaskan paket stimulus menyentuh pekerja lepas, suara dari lapangan menunjukkan kebutuhan mendesak yang berbeda. Melalui keterangan tertulis, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, menilai perlindungan sosial bagi pekerja platform masih setengah hati.

Menurutnya, rencana pemerintah yang hanya menanggung 50% iuran BPJS Ketenagakerjaan tidak cukup. “Perlindungan sosial itu harus mencakup jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan kehilangan pekerjaan,” ujar Lily kepada SUAR, Minggu (14/9/2025).

Lebih mendasar lagi, kata Lily, adalah kepastian status pekerja. Selama ini perusahaan aplikasi seperti Gojek, Grab, Maxim, hingga ShopeeFood berkelit dengan alasan “mitra”, sehingga tak wajib memenuhi hak-hak pekerja. “Dalih status mitra itu dipakai untuk menghindari kewajiban. Padahal Kementerian HAM sudah menegaskan, itu bentuk pelanggaran,” ujarnya.

SPAI mendesak Presiden Prabowo mengeluarkan peraturan presiden yang melindungi pekerja platform. Indonesia, kata Lily, seharusnya bisa mencontoh Singapura dan Malaysia yang sudah mengesahkan regulasi khusus bagi pekerja gig. “Kami ingin kondisi kerja yang layak dan upah manusiawi,” ungkapnya.