Angin semilir menerpa pengunjung yang memenuhi lounge di Hutan Kota by Plataran Senayan, Jakarta, malam itu. Diterangi lampu taman yang menyala temaram di halaman restoran ruang terbuka itu, tim SUAR bertemu salah satu Co Founder sekaligus Komisaris Triputra Agro Persada Group, Toddy Mizaabianto Sugoto.
Bagi rekan kerjanya, nama Toddy dikenal sebagai pecinta olahraga sejati untuk mengimbangi ritme hidup yang sibuk di hari-harinya sebagai top eksekutif perusahaan.
Di tengah perbincangan SUAR dengan beberapa CEO yang hadir di acara peluncuran media SUAR pada 21 Agustus 2025 lalu, salah satunya menyeletuk, “Pak Toddy tuh. Hobi-nya macam-macam, dan rajin banget nyoba hal baru,” kata Anne Patricia Sutanto, Wakil Direktur Utama PT Pan Brothers Tbk.
Nama Toddy M. Sugoto memang dikenal tak hanya kerap muncul di kalangan pelaku usaha memimpin korporasi, tapi juga sebagai eksekutif yang disiplin menjaga work-life balance lewat olahraga.
Tak hanya jogging di akhir pekan, menantu tokoh bisnis Benny Subianto ini juga dikenal sebagai pelari maraton, pemain golf andal, dan saat ini sebagai penikmat olahraga padel yang naik daun. Tim SUAR segera menghampirinya, meminta waktu sejenak dan menepi untuk wawancara.
Dengan suasana yang lebih tenang dari hiruk pikuk musik. Toddy membuka pembicaraan.
“Mau tanya soal apa, nih?” Toddy menyapa dengan tawa ringan.
Lantas ia bilang, “Kalau soal olahraga, saya sebenarnya nggak fanatik sama satu jenis. Tapi dari kecil, memang sudah terbiasa lari. Buat saya, lari itu sudah kayak bagian hidup.”
Olahraga, dalam kacamata Toddy, adalah cara untuk menjaga keberlanjutan; bukan hanya bisnis, tapi juga hidupnya sendiri.
Menyinggung soal tubuhnya yang lebih bugar dan sehat setelah olahraga, Toddy menyebut olahraga sebagai bentuk investasi masa depan.
Soal tubuhnya yang lebih bugar dan sehat setelah olahraga, Toddy menyebut olahraga sebagai bentuk investasi masa depan.
“Kita kan makin lama makin tua. Jadi semakin sehat badan kita, semakin lama juga kita bisa menikmati hasil bisnis yang kita jalankan,” katanya.

Sejak kelas 4 SD, Toddy sudah terbiasa berlari. Mendiang ayahnya kerap mengajaknya berlatih. Dari lari kecil di sekolah, berlanjut main basket, golf hingga maraton.
Maraton pertamanya dicoba saat kuliah. "Tapi karena nggak tahu teknik, banyak salah. Latihannya asal-asalan, nutrisi nggak dijaga. Alhasil, pas lari, di kilometer 30 saya sudah nggak kuat. Finish sih, 3 jam 59 menit, tapi rasanya sengsara,” kenangnya.
Alih-alih kapok, pengalaman itu justru menyalakan obsesi baru. Ia mulai serius maraton dengan menyewa coach, riset soal nutrisi, hingga strategi pacing.
“Orang awam pikir, lari itu tinggal lari. Padahal maraton itu soal manajemen energi. Kita harus tahu kapan makan, kapan minum, kapan menahan tempo. Kalau salah strategi, habis di tengah jalan,” jelasnya.
Dari situ, performanya terus membaik. London Marathon, Chicago Marathon, hingga Tokyo Marathon, waktunya terus terpangkas, dari 3:59 ke 3:15.
“Bedanya bukan karena kaki makin kuat, tapi karena strategi makin matang. Makan, minum, recovery, semuanya dihitung. Jadi finish strong, bukan sekadar finish," ujarnya.
Baginya, bisnis ibarat berlari maraton. Kalau sprint, cepat capek. Tapi kalau punya persiapan matang, disiplin eksekusi, dan bisa kelola energi, kita sampai garis finish dengan kepala tegak.
Bisnis ibarat lari maraton. Kalau sprint, cepat capek. Tapi kalau punya persiapan matang, disiplin eksekusi, dan bisa kelola energi, kita sampai garis finish dengan kepala tegak.
Sama halnya berbisnis, ujar dia, banyak pengusaha meniru pola latihan fisik saja seperti hanya memoles produk atau layanan dari sisi teknis, tapi mengabaikan aspek lain – manajemen risiko, cadangan modal, ketahanan tim – yang menentukan apakah usaha itu mampu menembus fase krisis.
Golf menjalin relasi
Jika maraton mengajarkan tentang ritme dan ketahanan, golf justru memperlihatkan sisi sosial olahraga, dan bisnis. Meski mengaku bukan pemain profesional, golf memberinya sesuatu yang lebih dari sekadar skor.
“Golf itu olahraga sosial. Saya nggak bilang saya jago, tapi cukup bisa. Yang penting interaksi sosialnya. Main berjam-jam, ngobrol santai, itu membangun relasi,” ujar dia.
Di fairway yang luas, antara satu pukulan dan yang lain, obrolan tentang keluarga, pasar, atau bahkan politik bisa tumbuh dengan alami. Untuk Toddy, ini adalah laboratorium relasi di mana kesabaran dan etika berjejaring diuji.
"Bagaimana menunggu giliran, bagaimana menghargai lawan main, bagaimana menjaga reputasi lewat perilaku kecil, semua relevan ketika ia kembali ke ruang rapat."
Pelajaran dari golf bukan sekadar “siapa yang paling tajam ayunannya”, melainkan bagaimana membangun modal sosial. Dalam dunia usaha yang penuh ketidakpastian, kenalan yang terpercaya, diskusi santai yang berujung kemitraan menjadi bonus yang didapatkan.
Belajar adaptif di padel
Belakangan, Toddy juga menemukan ketertarikan pada padel, olahraga raket yang menggabungkan unsur tenis dan pingpong, dimainkan berpasangan di lapangan kecil. Padel memang baru-baru ini populer dimainkan di Indonesia, khususnya kalangan anak muda yang senang dengan olahraga bergengsi.
“Orang sering kira padel itu gampang. Tapi kalau dipelajari serius, ternyata menarik. Ada teknik, ada strategi. Mirip golf. Dari luar kelihatan santai, padahal kalau benar-benar mau main bagus, tetap butuh latihan dan disiplin,” kata dia.
Toddy menjelaskan bahwa padel punya keunikan tersendiri. Tidak serumit golf yang menuntut latihan panjang, tapi tetap menantang.
“Padel itu sosial banget. Kayak happy tennis. Siapa pun yang terbiasa main raket, tenis, badminton, atau tenis meja, biasanya bisa cepat adaptasi. Dan itu yang bikin padel cepat populer,” ucapnya.
Namun baginya, olahraga bukan hanya soal gerak tubuh atau hobi pengisi waktu. Ada filosofi yang lebih dalam.
“Yang bikin saya suka padel adalah perpaduannya. Ada enjoyment, ada sosialnya, tapi juga tetap menuntut disiplin. Olahraga, menurut saya, bukan sekadar senang-senang. Tetap ada training yang benar, ada usaha yang harus dijalani,” ujar Toddy.
Di titik inilah Toddy mengaitkan olahraga dengan bisnis. “Dalam bisnis, kalau hanya mengandalkan forum formal, kadang informasi itu susah didapat. Justru di momen informal, di lapangan olahraga, banyak informasi berharga bisa keluar,” katanya.
"Justru di momen informal, di lapangan olahraga, banyak informasi berharga bisa keluar,” kata Toddy.
Setiap olahraga, bagi Toddy, membawa pelajaran berbeda. “Lari mengajarkan saya soal strategi dan endurance. Golf mengajarkan kesabaran dan membangun relasi. Padel memberi saya pelajaran soal adaptasi cepat dan kerja sama. Semua itu bisa ditarik ke dunia bisnis,” papar Toddy.
Percakapan malam itu membuat jelas, bagi Toddy, olahraga tidak pernah berhenti di lapangan. Ia menyerap nilai-nilainya, lalu membawanya ke ruang rapat, ke strategi bisnis, bahkan ke cara ia melihat dunia.
Ketika dulu main basket, dari situ ia belajar teamwork dan komunikasi. Meskipun sekarang mungkin tidak relevan langsung dengan dunia usaha, tapi nilai-nilai olahraga itu tetap ia pakai: disiplin, jejaring, dan menghargai orang lain.
Ia mengaku sudah terbiasa menjadwalkan olahraga secara rutin. Setidaknya sekali dalam seminggu, Toddy akan meluangkan waktu untuk lari, golf, atau padel.
“Nggak bisa dijalani semua, nanti tepar juga. Tapi minimal ada sekali lari, sekali padel, sekali golf. Kalau lagi nggak lari, paling ya dua kali padel atau golf. Pokoknya ada ritmenya,” ujarnya.
Baginya, ritme itu penting. Bukan hanya agar tubuh tetap fit, tapi juga untuk melatih konsistensi. Apalagi, usianya sebentar lagi akan menginjak 50 tahun.
Bagi Toddy, ritme itu penting. Bukan hanya agar tubuh tetap fit, tapi juga untuk melatih konsistensi.
“Saya percaya olahraga itu harus dijadwalkan. Kalau asal-asalan, bisa jadi malah bikin cedera. Stretching itu penting, training juga harus benar. Kalau rajin dan konsisten, justru itu yang bikin kita kuat sampai tua,” tuturnya.
“Kalau orang cuma fokus ke lari, misalnya, ya kardionya oke, tapi ototnya nggak berkembang. Jadi harus seimbang," ungkapnya.