Selamat Pekerjanya, Selamat Industrinya, Selamat Ekonominya (1)

Pemerintah akan memberi banyak insentif dan stimulus ke industri dan ke pekerja sektor padat karya. Tujuannya enyelamatkan perekonomian nasional.

Selamat Pekerjanya, Selamat Industrinya, Selamat Ekonominya (1)
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) berbincang dengan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa (kiri) saat akan memberikan keterangan terkait program paket ekonomi usai rapat koorddinasi dengan Presiden Prabowo Subianto di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/9/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Daftar Isi

Kuartal pertama 2025, tekanan kepada sektor industri di Indonesia sungguh kuat. Hingga bulan April, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia telah mencapai 24.036 kasus.

Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sepanjang 2024, tercatat total 77.965 kasus PHK, naik ketimbang 64.855 kasus pada 2023. ”Sudah mencapai sepertiga lebih dari total tahun lalu. Secara year-on-year memang meningkat," kata Menteri Tenaga Kerja Yassierli.

Bila dilihat dari sisi kewilayahan, ada tiga provinsi yang mencatat angka PHK tertinggi. Yaitu, Jawa Tengah (10.692 kasus), DKI Jakarta (4.649 kasus), dan Riau (3.546 kasus).

Sementara dari sisi sektoral, industri pengolahan menyumbang kasus PHK terbesar dengan 16.801 kasus. Diikuti oleh sektor perdagangan besar dan eceran (3.622 kasus), jasa lainnya (2.012 kasus), transportasi dan pergudangan (1.670 kasus), serta konstruksi (1.135 kasus).

SOS sektor padat karya

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai lonjakan PHK menjadi tanda investasi semakin bergeser dari sektor padat karya ke padat modal. “Investasi memang meningkat, tapi serapan tenaga kerja jauh lebih sedikit dibanding dulu,” katanya.

Shinta menambahkan, faktor eksternal juga ikut memperburuk keadaan. Ketidakpastian global dan kebijakan tarif perdagangan, seperti Trump Tariff, membuat industri berorientasi ekspor terpukul. Khususnya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang banyak berpusat di Jawa Tengah. “Kalau order dialihkan ke negara lain, dampaknya jelas pada tenaga kerja di Indonesia,” ujarnya.

Ketua Umum APINDO Shinta Widjaja Kamdani. Foto: SUAR/Ahmad Affandi.

Ia pun sejak awal sudah mengingatkan pemerintah untuk memberikan stimulus fiskal, termasuk insentif pajak, bagi industri padat karya. Sebab, saat ini sektor padat karya paling terdampak oleh gejolak ekonomi global akibat perang tarif hingga konflik geopolitik.

“Saat ini industri padat karya kita kan sangat tertekan. Jadi, kita memang ada permohonan untuk beberapa insentif fiskal,” ungkap Shinta.

Saat ini, dari temuan Apindo, banyak perusahaan harus memilih antara menjaga operasional atau mempertahankan tenaga kerja. Sektor padat karya seperti tekstil, garmen, dan manufaktur menghadapi dilema berat. Mereka harus tetap kompetitif di pasar global dengan efisiensi tinggi.

Diserang dari semua arah mata angin

Survei Apindo terhadap 357 perusahaan menunjukkan, sebanyak 65% melakukan PHK karena penurunan permintaan, 43,4% karena kenaikan biaya produksi, 33,2% karena regulasi upah minimum, 21,4% karena tekanan produk impor, dan 20,9% karena otomatisasi. Sebanyak 67,1% perusahaan menyatakan tidak akan melakukan investasi baru dalam setahun ke depan.

PHK massal di industri padat karya terutama dipicu oleh kombinasi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi penurunan daya beli pasar global dan domestik, meningkatnya jumlah produk impor murah yang membanjiri pasar lokal, dan ketidakpastian geopolitik serta proteksionisme dagang (termasuk tarif impor AS). 

Pekerja menjemur kain rayon di desa Plumbon, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah, Selasa (16/9/2025). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha.

Adapun faktor internal termasuk melemahnya daya saing industri lokal, kesulitan akses bahan baku yang menyebabkan tingginya biaya produksi, serta kebijakan pemerintah yang dinilai kurang berpihak pada industri dalam negeri. 

Karenanya, dorongan untuk transformasi operasional, termasuk otomatisasi, tidak dapat dihindari. Namun, hal ini harus dibarengi dengan strategi pelatihan ulang tenaga kerja (reskilling).

Selain itu juga perlu ada dorongan investasi sebagai solusi jangka panjang penciptaan lapangan kerja. Karenanya, pemerintah perlu lebih proaktif dalam menarik penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang padat karya.

Program penyelamatan mulai bergulir

Pemerintah sebenarnya sudah mulai menggagas kebijakan insentif untuk melindungi industri padat karya. Di mana, kebijakan ini dirumuskan sejak awal 2025 dan mulai diberlakukan pertengahan tahun.

Sebutlah pelaksanaan kebijakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16 Tahun 2020 dan insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) untuk pekerja di sektor padat karya berdasarkan PMK 10/2025. Skema PPh 21 DTP ini juga diperluas ke sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka).

Pramusaji membawa makanan untuk pengunjung di restoran Terminal Wisata Grafika Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (15/9/2025). ANTARA FOTO/Abdan Syakura.

Selain itu, ada pula penjaminan risiko kecelakaan kerja. Ini diatur dalam PP 7/2025 tentang Penyesuaian Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja bagi Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Tahun 2025.

Dampak insentif perpajakan ini diharapkan dapat menghindarkan pegawai dari PHK, karena perusahaan di sektor padat karya dapat mendorong efisiensi serta peningkatan kesejahteraan.

Akan halnya insentif perusahaan padat karya meliputi berbagai fasilitas tax allowance serta bantuan pembiayaan. Bagi wajib pajak yang melakukan penanaman modal pada industri padat karya tertentu dapat memperoleh fasilitas PPh berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 60% dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud, termasuk tanah.

Pengurangan penghasilan neto itu diberikan selama enam tahun sejak mulai berproduksi, atau 10% per tahun. Seluruh aktiva tetap yang dihitung dalam pengurangan tersebut harus digunakan untuk kegiatan usaha utama yang tercantum dalam surat izin usaha.

Pemerintah juga membuat kebijakan tentang pembiayaan kredit investasi berupa subsidi kredit untuk revitalisasi mesin industri bagi industri padat karya. Total anggaran yang disiapkan untuk dukungan pembiayaan ini senilai total Rp 20 triliun.

Program Kredit Industri Padat Karya (KIPK) ini diberikan untuk plafon pinjaman di atas Rp 500 juta hingga Rp 10 miliar, serta memiliki suku bunga/margin yang lebih rendah ketimbang kredit komersial. Sedangkan jangka waktu pinjaman juga fleksibel, yaitu antara 5 tahun hingga 8 tahun.

Lalu, ada bantuan iuran jaminan kecelakaan kerja di BPJS Ketenagakerjaan sebesar 50%. Kebijakan ini telah diatur dalam PP 7/2025 tentang Penyesuaian Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja bagi Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Tahun 2025.

Yang terbaru, pemerintah menginjeksi Rp 3,5 triliun untuk program padat karya tunai di Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Kebijakan paket ekonomi itu akan dialokasikan untuk pembayaran upah harian program padat karya tunai (cash for work) bagi Kementerian PU dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Program insentif padat karya.

Penerima manfaat diperkirakan mencapai 609.465 orang, berdasar besaran manfaat untuk upah harian proyek September–Desember 2025. Paket stimulus ini bagian dari Paket Ekonomi Pemerintahan Prabowo Subianto yang disebut paket stimulus ekonomi 8+4+5. Perinciannya, ada 8 program akselerasi tahun 2025, 4 program tahun 2026, dan 5 program yang terkait penyerapan tenaga kerja.

Tak hanya penyegaran di dalam, urusan memperlancar ekpor ke pasar tradisional, Amerika Serikat, pemerintah juga melakukan negosiasi tarif demi membuka akses bagi industri padat karya Indonesia. Saat ini Pemerintahan Donald Trump mengenakan tarif 19% terhadap impor barang dadi Indonesia.

Selain itu, sudah ada finalisasi perjanjian dengan Uni Eropa, atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA), yang akan meningkatkan akses market ke Eropa untuk ekspor produk padat karya – seperti TPT, alas kaki, dan furnitur.

Progres program sampai sosialisasi

Menurut Deputi I Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan, beberapa insentif saat ini sedang dalam tahap sosialisasi. Seperti, KIPK masih dalam tahap sosialisasi di sentra industri seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ferry menyebut dasar hukum sudah lengkap melalui permenko, permenperin, dan PMK subsidi bunga.

Ia mengakui butuh waktu, agar skema ini familier seperti KUR, yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun.

Ferry juga menyoroti pentingnya koordinasi lintas kementerian agar kebijakan tidak berjalan parsial. Ia menyebut Kemenko Perekonomian mengkoordinasikan Menkeu, Menteri Investasi, KKP, Kementan, dan kementerian–lembaga (K/L) teknis lain dalam satu forum. Tim akselerasi memastikan program dievaluasi rutin dan hambatan di lapangan segera diselesaikan.

Untuk menjawab kritik terkait efektivitas insentif, Ferry menegaskan adanya mekanisme evaluasi. Permasalahan di industri dibahas dalam forum debottlenecking agar tidak berlarut. Pemerintah membuka kanal aduan agar pengusaha dapat menyampaikan kendala langsung ke kementerian terkait.

Agenda jangka panjang pemerintah adalah memperluas akses pasar luar negeri. Uni Eropa telah berkomitmen membuka tarif 0 persen bagi produk tekstil, alas kaki, dan perikanan mulai tahun depan. Ferry menyebut langkah ini melengkapi insentif jangka pendek dan menengah sehingga industri padat karya mendapat kepastian lebih luas.

Pada akhirnya, pemerintah menekankan pentingnya sosialisasi agar masyarakat dan pelaku usaha memanfaatkan seluruh fasilitas. Ferry menyebut masukan dari masyarakat akan dijadikan bagian dari evaluasi untuk penyempurnaan. “Kami mengawal dari arah kebijakan hingga pengawasan supaya dampaknya nyata bagi masyarakat,” ujarnya.

Pemerintah daerah ikut antisipasi

Sebagai provinsi dengan jumlah PHK terbesar, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pun sudah berupaya untuk melakukan mitigasi, dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas PHK). Gubernur Achmad Luthfi mengatakan, satgas ini dibentuk untuk mereduksi potensi pemutusan hubungan kerja massal, sekaligus mengambil langkah pencegahan PHK karyawan tanpa pemenuhan kewajiban.

Anggota Satgas PHK terdiri dari beberapa komponen. Antara lain, Dinas Tenaga Kerja, serikat pekerja dan serikat buruh yang ada di perusahaan, serta pihak pengusaha atau pemilik perusahaan. Pihak di luar itu juga akan dilibatkan sesuai dengan fungsinya. ”Ada beberapa kompartemen yang harus kita masukkan, membuat rencana kerja, dan baru kita jalankan,” kata Luthfi.

Kepala Disnakertrans Provinsi Jawa Tengah Ahmad Aziz menjelaskan, untuk memudahkan pemantauan, pihaknya sudah melakukan segmentasi perusahaan, dengan tiga kategori. Perusahaan dengan kategori hijau atau mantap adalah perusahaan yang melaksanakan aturan-aturan norma ketenagakerjaan. Selanjutnya ada perusahaan berkategori kuning dan merah.

“Kuning itu biasanya ada permasalahan-permasalahan. Misalnya, lembur tidak dibayar, hak-hak (karyawan) ada yang dikurangi. Itu harus kita dalami persoalannya seperti apa. Kalau persoalan itu berlanjut, ujungnya bisa menjadi merah atau terjadi PHK,” ungkapnya.

Berdampak tapi harus tepat sasaran

Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menyambut baik adanya Program Kredit Industri Padat Karya (KIPK). Skema ini memberikan fasilitas pinjaman dengan plafon mulai dari Rp 500 juta hingga Rp 10 miliar, tenor hingga delapan tahun, serta subsidi bunga 5% per tahun.

Ketua HIMKI Abdul Sobur menyebut langkah ini sebagai respons proaktif untuk mendukung transformasi industri padat karya melalui modernisasi peralatan dan modal kerja. “Kami melihat program ini sangat tepat karena menyentuh kebutuhan inti industri furnitur dan kriya yang memang padat karya,” ujar Sobur.

Pengunjung mengamati proses pembuatan mebel saat pembukaan festival Furni Fest Srikayu 2025 di Solo, Jawa Tengah, Kamis (28/8/2025). ANTARAFOTO/Maulana Surya

Dengan adanya subsidi bunga dan fasilitas kredit investasi, KIPK dinilai berpotensi mempercepat revitalisasi mesin produksi. HIMKI memproyeksikan dampaknya tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga membuka lapangan kerja baru di tengah tantangan ketenagakerjaan. Menurut Sobur, hal ini penting untuk menjaga daya saing industri nasional di tengah kompetisi global yang semakin ketat.

Namun, asosiasi juga menyoroti sejumlah tantangan dalam implementasi. Beberapa pelaku usaha mikro dan IKM, terutama di daerah, dinilai belum siap secara administrasi karena belum memiliki NIB, NPWP, atau pencatatan di SIINas.

Selain itu, realisasi KIPK hingga saat ini baru mencapai sekitar Rp 744 miliar dengan 347 calon penerima dari 12 bank penyalur. Masih jauh dari target plafon Rp 20 triliun yang dicanangkan pemerintah.

Sobur mencontohkan pengalaman di Bali. Di daerah tujuan pariwisata ini, pemerintah membuka peluang penyempurnaan skema agar lebih inklusif bagi IKM berskala kecil. HIMKI berharap sebagian alokasi KIPK dapat difokuskan ke subsektor furnitur dan kriya yang dikenal padat karya serta berbasis lokal.

“Jika diarahkan tepat, efek domino bagi ekonomi daerah akan sangat terasa,” kata Sobur.

HIMKI juga mendorong perluasan kerjasama dengan perbankan penyalur dan pemerintah daerah agar akses pembiayaan semakin mudah dan cepat. Penyederhanaan prosedur serta dokumen dinilai penting untuk mempercepat penyaluran dana hingga ke level usaha kecil. Dengan begitu, manfaat KIPK dapat dirasakan secara lebih merata oleh pelaku industri di berbagai wilayah.

Sementara, pengusaha perhotelan Hariyadi Sukamdani menilai, insentif buat dunia usaha – khususnya sektor padat karya – perlu mengarah pada kelangsungan usaha sektor riil. “Kalau hanya PPh 21 DTP, dampaknya terbatas. Yang penting sektor riil bisa tumbuh, menciptakan lapangan kerja. Dari situlah ekonomi bergerak,” katanya kepada SUAR.

Ia menjelaskan, PPh 21 DTP memang terasa di kantong pekerja, tapi dampak langsung ke perusahaan terbatas. Stimulus nyata justru datang dari potongan pajak daerah yang langsung meringankan arus kas bisnis.

Ia menilai insentif daerah justru lebih terasa. “Kalau pajak hotel atau restoran dipotong 50%, itu langsung meringankan arus kas perusahaan,” katanya.

Menurutnya, pemerintah pusat perlu berkoordinasi dengan daerah agar stimulus tidak hanya melindungi pekerja, tapi juga menjaga keberlangsungan bisnis.

Hariyadi bahkan menyinggung perlunya terobosan struktural. Ia bilang, bantuan sosial (bansos) hanya memberi efek sesaat. “Begitu dikonsumsi, habis. Tidak ada multiplier effect. Tapi kalau kredit disalurkan ke sektor riil, usaha bisa tumbuh, menyerap tenaga kerja, dan efeknya jauh lebih luas,” ujarnya.

Beras Bansos

Ia membandingkan Indonesia dengan Dubai yang berani membangun sisi penawaran, dari bandara hingga maskapai, sehingga menjelma pusat bisnis global. “Indonesia dengan penduduk sebesar ini seharusnya bisa lebih maju. Masalahnya, kebijakan kita terlalu hati-hati, banyak teori, sedikit terobosan,” kritiknya.

Hariyadi juga menyoroti kontradiksi kebijakan: pemerintah mendorong kredit, tapi Bank Indonesia mengetatkan bunga demi stabilitas. “Sekarang dapat kredit itu sulit sekali. Kalau satu sisi dorong kredit, sisi lain bunga dinaikkan, hasilnya ya ekonomi seret,” katanya.

Sedangkan Ketua Himpunan Kawasan Industri, Sanny Iskandar, berpendapat, dunia usaha membutuhkan kebijakan yang konsisten, sederhana, dan berbiaya murah, khususnya di sektor industri padat karya. “Perbaikan OSS (online single submission) akan sangat berarti bagi industri manufaktur padat karya, karena sektor tersebut paling sensitif terhadap waktu dan biaya,” ujarnya.

Perlu dukungan memenangkan persaingan

Sementara Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menekankan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah persaingan dengan produk impor, khususnya dari Tiongkok.

Tantangan terbesar saat ini adalah persaingan dengan produk impor, khususnya dari Tiongkok.

Menurutnya, perbedaan ongkos produksi domestik dengan Tiongkok sebenarnya hanya 10%. Namun, praktik oversupply, dumping, dan subsidi ekspor dari pemerintah Tiongkok membuat selisih harga jual produk bisa mencapai 40%.

“Insentif yang kami perlukan adalah insentif yang bisa secara langsung menurunkan biaya produksi sekitar 40% untuk bisa melawan produk impor,” jelas Redma.

Penerapan harga gas bumi tertentu (HGBT), lanjutnya, memang menjadi salah satu bentuk insentif paling relevan karena langsung menekan biaya energi. Namun dampaknya masih terbatas. Walaupun harga gas diturunkan dari US$ 14 menjadi US$ 7 per MMBTU, pada praktiknya harga ini hanya berlaku bagi sekitar 60% kebutuhan industri.

Sisanya masih harus dibayar dengan harga mencapai US$ 16 per MMBTU akibat hambatan pasokan. “HGBT ini hanya menurunkan biaya produksi sekitar 7%, belum cukup untuk membuat kita bisa bersaing dengan barang China,” katanya.

Redma menambahkan, jika pemerintah tidak mampu memberikan insentif yang tepat, maka opsi lain adalah perlindungan pasar melalui kebijakan fairness competition. Namun kebijakan semacam ini kerap terbentur resistensi oknum birokrat yang justru mendapatkan keuntungan dari praktik impor.

“Jadi kalau pemerintah serius menghentikan PHK, pilihannya jelas: beri insentif atau perlindungan pasar,” ujarnya.

Sedangkan Ketua Asosiasi Mainan Indonesia, Sutjiadi Lukas, menyatakan, sektor mainan saat ini menghadapi pasar yang lesu berkepanjangan, sementara insentif yang diberikan pemerintah tidak sepenuhnya dirasakan.

Sebagian pengusaha justru ragu memanfaatkannya, lantaran khawatir akan konsekuensi pajak. ”Kita diberikan insentif, tapi nanti pengusaha terikat, diawasi, dan akhirnya berdampak pada pajak perusahaan,” ujar Sutjiadi.

Mukhlison, Harits Arrazie, Dian Amalia