Lepas kontrol yang melibatkan pikiran, perasaan, perubahan fisiologis, dan dorongan untuk bertindak agresif, sebagai respons terhadap suatu situasi tertentu, bisa terjadi pada seorang individu, ketika ia merasakan kemarahan. Ekspresi lumrah pada manusia.
Dalam hubungan antar individu di sebuah organisasi, di tengah tekanan luar biasa, dan ekspektasi tak berkesudahan, kemarahan adalah emosi yang kerap menghampiri. Bila tidak dijinakkan, bisa berdampak merusak.
Dan, emosi yang meledak dalam konteks berorganisasi, sering kali, mengaburkan logika dan rasionalitas, sehingga keputusan yang diambil tidak objektif. Bila itu dialami pemimpin organisasi, anggota tim bisa merasa tidak aman dan nyaman, tidak dihargai, dan enggan untuk terbuka.
Bila itu dialami pemimpin organisasi, anggota tim bisa merasa tidak aman dan nyaman, tidak dihargai, dan enggan untuk terbuka.
Bila emosi menghinggapi anggota organisasi, kemarahan itu kerap menciptakan ketegangan antar anggota organisasi, merusak reputasi, merenggangkan hubungan kerja, dan mencederai budaya organisasi.
Dalam konteks filosofis dan psikologis, kemarahan sesaat—meski manusiawi—adalah bentuk kesia-siaan yang dapat merusak lebih dari sekadar suasana hati.
Kaisar Romawi, Marcus Aurelius menulis dalam Meditations, “The best revenge is to be unlike him who performed the injury.” Balas dendam terbaik adalah dengan tidak menjadi seperti orang yang menyakiti. Ini berarti, ketenangan bukan hanya kebijaksanaan pribadi, tetapi juga bentuk disiplin yang unggul.

Sedangkan dalam tinjauan filsafat eksistensial, seperti yang diungkapkan filsuf asal Prancis Jean-Paul Sartre, manusia bertanggung jawab penuh atas sikapnya. Seorang yang memutuskan untuk marah saat dia bertemu dengan kebuntuan, telah memilih untuk menanggalkan kebebasan batinnya, demi melampiaskan insting. Ini adalah bentuk kejatuhan eksistensial—penolakan terhadap kendali diri sebagai puncak kehormatan manusia.
Karenanya, perangai menuju kemarahan sesaat ini bukan berarti tidak bisa dihindari. Manusia bisa memilih untuk mengendalikan emosinya, atau membiarkannya menjadi liar. Untuk bisa membuat keputusan sulit dalam waktu singkat ini, seseorang perlu mengenal pemicu kemarahannya. Apakah itu karena tekanan waktu, kritik, atau akibat hasil yang tidak sesuai harapan.
Manusia bisa memilih untuk mengendalikan emosinya, atau membiarkannya menjadi liar.
Usahakan mengambil jeda beberapa detik untuk bernapas dalam-dalam, saat menemui situasi yang memicu emosi. Biarkan pertimbangan logika membisik di ruang-ruang nafsu. Tarik nafas dalam-dalam, lalu hembuskan pelan.
Bangun komunikasi terbuka dan transparan dengan anggota organisasi. Usahakan konflik dalam organisasi yang terjadi, bisa diselesaikan sebelum menjadi pemicu kemarahan. Percayakan tugas kepada tim atau individu yang tepat.
Luangkan waktu untuk mengevaluasi emosi, melatihnya lalu mengarahkannya kepada aksi yang produktif. Jangan biarkan emosi menguasai. Bagaimana pun, kemarahan sesaat bisa jadi terasa melegakan setelah momen puncak kekecewaan itu dilampiaskan.
Tapi seorang manusia sejati memang bukan orang yang tidak pernah marah, melainkan yang mampu mengelola emosinya dengan bijak. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan saat ini, ketenangan adalah kekuatan. Dan kekuatan itu bisa menjadi fondasi dari keteladanan yang menginspirasi.