Radiasi Goyang Industri Udang (2)

Paparan radionuklida di Cikande mengancam kolapsnya industri udang tanah air. Kementerian Kelautan dan Perikanan berhasil bernegosiasi.

Radiasi Goyang Industri Udang (2)
Pekerja memberi pakan udang vaname (Litopenaeus vannamei) di salah satu tempat budidaya udang pesisir pantai Desa Suak Geudebang, Kecamatan Samatiga, Aceh Barat, Aceh, Rabu (15/10/2025).ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Daftar Isi

Persamuhan para pelaku usaha industri udang di Banyuwangi, Jawa Timur pertengahan Oktober lalu itu, jadi  lebih greget dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ini karena dunia usaha ekspor udang sedang menghadapi masalah besar. Bulan Agustus lalu, Amerika Serikat mengancam memberhentikan ekspor udang dari Indonesia akibat sebuah insiden yang membuat jelek produk udang Indonesia 

Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika Serikat menemukan unsur radioaktif yang hendak masuk di beberapa Pelabuhan di Negeri paman Sam tersebut, bahkan dikabarkan juga sudah masuk ke gerai Walmart, Amerika Serikat pada Agustus lalu. 

Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani dalam acara Forum Shrimp Fair 2025 yang digelar di Banyuwangi, Selasa (14/10/2025).(DOK. Pemkab Banyuwangi)

Forum yang diinisiasi Shrimp Club Indonesia (SCI) itu yang dihadiri pengusaha, pembudidaya, pengusaha udang, hingga penyedia sarana tambak udang dari Sumatera, Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Barat (NTB) pun merasakan keprihatinan bersama, karena Amerika Serikat yang merupakan pasar ekspor udang utama Indonesia berpotensi mengalihkan permintaannya ke negara lain.

Dan ini dampaknya bisa luar biasa. “Kalau ekspor ke Amerika nggak segera dibuka, bisa lumpuh semua. Cold storage penuh, tambak nggak bisa jual, harga turun, dan arus kas mati,” ujar Andi Tamsil, Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI), asosiasi yang menaungi para petambak dan eksportir udang.

Kalau ekspor ke Amerika nggak segera dibuka, bisa lumpuh semua. Cold storage penuh, tambak nggak bisa jual, harga turun, dan arus kas mati

Sumber persoalan ini berawal dari temuan paparan radiasi di kawasan industri Cikande, Banten, yang disebut berasal dari peleburan besi scrap impor yang mengandung unsur radioaktif. Meski kadar Cs-137 yang ditemukan relatif kecil, sekitar 68 becquerel per kilogram (Bq/kg) dan masih di bawah ambang batas aman, namun radiasi yang menempel di udang olahan yang dikemas di Cikande, langsung membuat Badan POM Amerika Serikat Food and Drug Administration (FDA) memperketat seluruh impor udang dari Indonesia.

Sejak itu, setiap produk udang yang hendak masuk ke negeri Paman Sam itu wajib disertai sertifikasi bebas radiasi, sesuatu yang belum pernah diminta sebelumnya. Di sisi lain, sistem dan alat sertifikasi itu belum sepenuhnya siap di Indonesia.

Meski kini Pemerintah pun memang sudah mulai melengkapi alat sertifikasi itu. Menurut Andi Tamsil proses menuju penerapan sertifikat baru itu kini berada di tahap akhir. Ia menyebut dua tenggat penting yang sedang ditunggu para pelaku usaha. 

“FDA sudah jadwalkan mandat kepada badan mutu Indonesia tanggal 18 Oktober. Kalau semua sesuai rencana, tanggal 22 Oktober nanti baru mulai uji coba sertifikat baru itu,” ujar Andi saat dihubungi SUAR, Senin 20 Oktober 2025

Menurutnya, jika proses uji coba berjalan sesuai rencana, ekspor udang yang selama ini tertahan bisa kembali dikirim ke Amerika. “Kalau bisa dikirim, ekspor jalan lagi, dan rantai pasok bisa hidup kembali. Itu harapan kita,” katanya.

Pasar domestik mengalami stagnasi

Walau diharapkan ekspor akan segera pulih, di kalangan petani udang, kelesuan pasar masih terasa. Andi menyatakan, kini banyak petambak mengeluhkan harga udang yang jatuh tajam hingga 30% hingga 40% karena serapan pasar yang tersendat. “Sekarang serapan sangat terbatas, harga juga tertekan. Banyak teman-teman petambak di daerah yang sudah menjerit,” ujar Andi Tamsil. .

Sebelum kasus ini mencuat, ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat nilainya mencapai lebih dari US$ 2 miliar per tahun. Amerika adalah pasar terbesar udang Indonesia, hingga 70% ekspor ke luar negeri tujuannya adalah Amerika Serikat. Tapi sejak Agustus, volume ekspor nyaris berhenti total. Selain karena pasar ekspor tertutup, sertifikasi tambahan yang diminta FDA, juga belum sepenuhnya siap di dalam negeri. 

“Dulu sebelum ada kasus ini, sudah ada beberapa jenis sertifikasi. Tapi dengan kasus radiasi ini, ditambah sertifikasi baru untuk Cs-137. Pekan lalu saja alat dan SOP-nya belum jelas. Baru belakangan ini mulai tersedia,” kata Andi.

Di sisi lain, cold storage di wilayah Jawa Timur, Lampung, dan Sulawesi Selatan kini penuh dengan stok udang beku yang tak kunjung bisa dikirim. Sebagian pengusaha terpaksa menunda panen karena gudang penuh dan arus kas tidak bergerak. “Sebenarnya kualitas udang masih aman dalam 1 bulan hingga 2 bulan, tapi karena tidak ada pembelian, gudang jadi penuh, cashflow macet. Banyak yang menambah kapasitas cold storage, tapi dananya seret,” jelas Andi.

Sebagian petambak bahkan mulai menjual udangnya di pasar lokal dengan harga jauh lebih murah hanya agar bisa menutup ongkos harian. “Kalau dibiarkan, bisa kolaps. Ini bukan cuma masalah ekonomi, tapi sosial juga, karena ribuan pekerja tambak dan pengolah udang hidupnya bergantung dari situ,” katanya.

Demi memperluas pasar domestik, SCI pun dalam salah seminar mereka di Banyuwangi pekan lalu, juga menggelar edukasi publik tentang manfaat gizi udang. “Kami ingin masyarakat tahu bahwa udang itu sehat dan kini harganya juga makin terjangkau. Kalau pasar lokal mulai menyerap, beban petambak sedikit berkurang,” ungkap Andi.

Sementara sambil menunggu kepastian dari FDA, Shrimp Club Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan mencoba menggerakkan pasar domestik lewat kampanye makan udang.

Dampak ikutan

Krisis ekspor udang ke Amerika Serikat ini juga dianggap bukan hanya soal barang yang tertahan. Begitu arus uang berhenti, seluruh rantai produksi bisa terguncang. Pabrik pakan kehilangan pembeli, transportasi logistik berhenti, dan ribuan pekerja musiman mulai kehilangan pendapatan. Banyak pengusaha juga menunda penebaran bibit baru, khawatir modal tak bisa kembali.

“Sekarang mungkin belum ada PHK besar-besaran, tapi insentif, uang makan, bonus, semua sudah mulai dikurangi. Kalau empat atau lima bulan ke depan belum ada kejelasan, dampaknya bisa jauh lebih parah,” ujar Andi.

Di tengah situasi itu, perbankan juga mulai waspada. Kredit sektor tambak dan pengolahan udang masuk kategori berisiko tinggi, karena arus kas terganggu. Andi menyebut beberapa anggota SCI mulai meminta pemerintah membuka kemungkinan restrukturisasi kredit atau insentif bunga ringan, agar usaha mereka tidak mati, sebelum ekspor kembali dibuka.

Persoalan industri udang ini memang mulai diurai. Koordinasi lintas lembaga kini mulai bergerak. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Badan Mutu Nasional ditunjuk menjadi lembaga sertifikasi resmi untuk pengujian Cs-137. Namun, semua masih menunggu konfirmasi dan verifikasi resmi dari FDA. “Kewenangan sudah diberikan, tapi harus dipastikan apakah mereka siap secara alat, SDM, dan mekanismenya,” kata Andi.

Ia juga menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa membuat standar sendiri tanpa persetujuan FDA. “Semuanya dari FDA, termasuk SOP. Karena mereka yang menemukan kasusnya, jadi mereka yang menentukan syarat agar produk bisa masuk kembali,” ujarnya.

Andi berharap pemerintah mempercepat penanganan lintas kementerian, termasuk dukungan perbankan agar pelaku usaha punya napas tambahan. “Kalau cold storage kosong, bank bisa bantu lewat insentif atau kredit bergulir. Yang penting niat baik dari pemerintah ada dulu,” ujarnya.

Selain pasar Amerika, efek domino mulai terasa ke negara lain. “Ada beberapa negara seperti Jepang dan China yang juga mulai mempertanyakan kondisi Indonesia. Kalau dengan Amerika ini tidak segera selesai, negara lain bisa ikut ragu,” katanya. 

Ia menilai kepercayaan pasar internasional adalah hal yang paling rentan hilang, dan butuh waktu lama untuk dipulihkan. Untuk itu, SCI aktif mendorong pemerintah untuk mempercepat negosiasi dengan FDA. Mereka berharap agar sertifikasi baru segera diakui dan ekspor bisa dibuka kembali paling lambat akhir Oktober.

Menurutnya, kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk memperkuat sistem pengawasan lintas sektor, mulai dari Badan Pengawas tenaga Nuklir (Bapeten), Bea Cukai, hingga aparat keamanan, agar bahan radioaktif tidak lagi masuk ke jalur industri atau ekspor.

Solusi dari perundingan  

Di tengah kekhawatiran soal industri udang yang bisa kolaps dan menarik sektor penunjangnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan akhirnya mencapai kesepakatan dispensasi atas ribuan kontainer udang yang tengah dalam perjalanan ke Amerika Serikat dari FDA. Kesepakatan berlangsung pada 18 Oktober waktu Amerika Serikat, setelah rentetan perundingan terkait aturan impor baru, yakni Import Alert (IA) #99-52.

 "Setelah beberapa kali perundingan melalui channel khusus Virtual Bilateral Meeting dengan FDA, akhirnya high level leaderships mereka memutuskan untuk memperbolehkan masuk ribuan kontainer udang asal Indonesia yang tengah dalam perjalanan dan akan tiba di AS setelah 31 Oktober 2025,” jelas Kepala Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan (Badan Mutu KKP), Ishartini.  

Kepala Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan (Badan Mutu) KKP Ishartini ANTARA/Harianto

Ishartini menjelaskan pihaknya berhasil meyakinkan FDA, bahwa sebanyak lebih dari 1000 kontainer udang yang akan tiba di Amerika Serikat di atas tanggal 31 Oktober telah melalui proses quality assurance dan dilengkapi Sertifikat Mutu (SMKHP) yang diterbitkan oleh KKP.  

Meski memang, nantinya sesampainya di Amerika Serikat, ribuan kontainer udang akan tetap diperiksa oleh FDA untuk memeriksa ada tidaknya kontaminasi Cesium-137 sesuai dengan regulasi Amerika Serikat. Pemeriksaan terkait Cesium 137 juga diberlakukan untuk kontainer udang yang masuk sebelum tanggal 31 Oktober.

Selain bisa mengusahakan pengiriman udang yang sudah terlanjur menuju Amerika Serikat tetap bisa masuk pelabuhan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP juga) mendapat pengakuan dari Pemerintah Amerika Serikat (AS) sebagai Certifying Entity (CE) untuk ekspor udang ke AS. 

Dengan adanya pengakuan ini, produk udang yang bisa masuk pasar AS harus memiliki Sertifikat Mutu yang diterbitkan oleh KKP. Sehingga, nantinya eksportir khususnya dari Jawa dan Lampung wajib menggunakan Sertifikat Mutu yang diterbitkan oleh KKP. 

Sedangkan untuk melindungi komoditas ekspor Indonesia sehingga tidak mengalami paparan radiasi yang tidak diinginkan, maka perlu pengetatan dalam arus lalu lintas barang baik yang masuk maupun keluar. Dalam hal ini, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) akan mensupervisi aturan baru untuk pemberlakuan Radiation Portal Monitor (RPM) di pintu masuk pintu impor dengan penanggung jawabnya Direktorat Jenderal Bea CUkai. “Pemberlakuan ini akan diwajibkan, khususnya di 18 pelabuhan internasional,” kata Haendra Subekti Deputi Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir Bapeten.  

Bea Cukai Layani Kegiatan Ekspor Udang dari Maluku.

Saat ini, menurut Haendra, baru ada empat pelabuhan yang memiliki RPM, berdasarkan informasi dari Bea Cukai. Alasannya sederhana, anggaran. Karena biaya pengadaan alat tersebut dibebankan kepada eksportir. Jadi setiap kontainer yang masuk akan dikenakan biaya jasa.

Upaya lainnya adalah membuat regulasi untuk pemasangan Radiation Portal Monitor di kawasan industri, serta alat pemantau kualitas udara. Selain itu, kawasan industri juga diminta memasang Radiation Data Monitoring System (RDMS), yaitu detektor yang dapat mengukur radioaktivitas lingkungan.

RDMS dipasang untuk kawasan industri non-nuklir, sebagai deteksi dini apabila ada paparan radioaktif dari proses industri,” jelas Handra. Saat ini, Bapeten memiliki 37 RDMS yang terpasang di fasilitas nuklir seperti di Serpong, Yogyakarta, dan Bandung, serta beberapa di perbatasan untuk mendeteksi potensi kontaminasi dari luar negeri. 

“Bersama BMKG, kami memasang alat ini, dan jumlahnya baru 38 unit. Ke depan, kawasan industri juga diwajibkan memasang RDMS. Meski program ini jangka panjang, pelaksanaannya ditargetkan dapat dimulai dalam 1–2 tahun ke depan,” ungkapnya.

Mukhlison, Dian Amalia, dan Gema Dzikri