Wawancara dengan Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana
Harmonisasi anggaran dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) dan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN), menjadi salah satu pembahasan dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Badan Gizi Nasional (BGN) dan Komisi IX DPR RI pada Senin, 8 September 2025 lalu.
Pembahasan masalah ini mencuat, karena lingkup kerja BGN masuk ke wilayah kerja dua lembaga itu. Badan POM sebagai pihak yang mengawasi kualitas makanan yang disajikan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga Kemendukbangga/BKKBN yang mengurusi Posyandu, perlu diperjelas sumber anggarannya bila memasuki wilayah kerja yang merupakan tanggung jawab BGN.
Persoalan anggaran adalah salah satu yang harus diurai penyelesaiannya oleh Dadan Hindayana, Kepala BGN. Ada setumpuk masalah lain yang perlu diselesaikan BGN agar masyarakat percaya kepada BGN dan Program MBG.

Namun di antara banyak pembahasan di RDP hari itu, Dadan juga diminta untuk hati-hati mengelola keuangan yang dialokasikan untuk program MBG, dimana APBN 2025 mengalokasikan anggaran hingga Rp71 triliun sedangkan RAPN 2026 berlipat hingga Rp335 triliun.
Lalu apakah ada progres signifikan dari pelaksanaan Makan Bergizi Gratis ini? Di sela RDP dengan Komisi IX DPR Senin 8 September 2025, Dadan beberapa kali memberikan penjelasan kepada wartawan SUAR. Petikannya:
Seperti apa perkembangan terakhir dari program MBG saat ini?
Program MBG terus bergulir dan berekspansi dengan pendirian SPPG baru per hari di setiap provinsi di Indonesia. Dalam catatan BGN, sudah ada sekitar 7.477 SPPG yang resmi beroperasi di 38 provinsi, 509 kabupaten, dan 7.022 kecamatan.
Kami juga telah menetapkan pagu anggaran tahun anggaran 2026 sebesar Rp268 triliun dengan fokus utama pada program pemenuhan gizi melalui Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak sekolah dan kelompok rentan
Ada alokasi tambahan Rp50 triliun yang akan dibagi untuk sejumlah kebutuhan. Sekitar Rp34,4 triliun dialokasikan untuk bantuan pangan MBG anak sekolah. Lalu Rp3,1 triliun untuk ibu hamil, menyusui, dan balita.
Banyak anggapan anggaran BGN dan MBG diambil dari anggaran pendidikan, penjelasan Anda?
Anggaran BGN pada 2026 berdasarkan fungsi kesehatan sebesar Rp 24,7 triliun, Rp 223 triliun dari fungsi pendidikan dan Rp 19,7 triliun dari fungsi ekonomi. Jadi di dalam nota keuangan yang kemudian ramai dibahas itu semuanya masuk dalam anggaran pendidikan, padahal sebetulnya dari pendidikan 83,4%, kesehatan 9,2%, ekonomi 7,4%. Jadi berasal dari tiga sumber fungsi.
Selain anggaran, program ini juga mulai dikritisi terkait ketersediaan dapur umum atau SPPG yang kuotanya mulai menipis, sedangkan layanan belum optimal, apa mitigasi BGN agar hambatan di program ini bisa ditertibkan?
Kami kemarin melakukan penutupan web atau portal untuk pendaftaran mitra baru. Dalam tahap verifikasi pendaftaran pembentukan SPPG, saat itu sudah ada 4.500 pengajuan. Kemudian kita tutup web sementara agar tidak ada pengajuan verifikasi lagi. Dan terdeteksi ada banyak yang tidak aktif. Kemudian SPPG yang tidak aktif selama 20 hari ke atas kita kembalikan ke verifikasi pengajuan. Sehingga kuota menjadi terbuka kembali, mudah-mudahan tanggal 15 September nanti, pendaftaran bisa dibuka kembali.
Saat ini BGN melakukan percepatan pembukaan SPPG, sementara itu bisa memicu penyelewengan, ada alasan khusus?
Pembangunan SPPG yang sudah ada dan yang sudah operasional itu 100%-nya berasal dari dana masyarakat. Sementara penyerapan di BGN identik dengan jumlah penerima manfaat sehingga kita perlu melakukan percepatan, agar penerima manfaat juga meluas. Selain itu setiap 1 SPPG berdiri maka akan menyerap sekitar Rp1 miliar (makanan) per bulan, ini dampaknya akan signifikan.
Kenapa percepatan diutamakan di wilayah aglomerasi?
Kami fokus ke aglomerasi, karena 90% atau hampir sekitar 70 juta penduduk berkumpul di daerah aglomerasi, di situ juga berkumpul warga kurang gizi seperti di Jawa Barat, di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) memang konsentrasi warga kurang gizi tinggi, namun jumlah penduduknya sedikit.
Apa yang Anda lakukan agar percepatan itu bisa mencapai target?
Strategi kami, percepatan di aglomerasi kita kejar dengan bekerjasama dengan pihak mitra, agar mau berinvestasi. Sedangkan di daerah 3T kita bekerjasama dengan pemerintah kabupaten untuk membentuk masing-masing satgas di wilayahnya, yang menentukan titik pembangunan SPPG.
Dan untuk membangun SPPG di 3T, kita bisa juga menggandeng mitra namun ada insentif. Seperti kita berikan anggaran sewa tempat yang dibayar selama 4 bulan di depan. Untuk pengelolaan kita juga gandeng tokoh masyarakat setempat juga dengan yayasan.

BGN juga melakukan pengelolaan makanan bergizi untuk ibu hamil dan balita, seperti apa perkembangannya?
Kami saat ini bekerjasama dengan Kementerian Kependudukan/BKKN sehingga kami melakukan kerjasama dengan seluruh kader Posyandu yang ada di daerah. Mekanismenya, SPPG mengirimkan makanan ke Posyandu, lalu para kader tadi mengirimkan makanan ke rumah-rumah penerima manfaat. Kader-kader ini juga kita berikan insentif yang diambil dari anggaran operasional BGN.
Masyarakat menyoroti soal program MBG yang menggunakan foodtray impor, ada komentar?

Dulu kita merancang ini, saat di pasaran di Indonesia belum ada yang memproduksi sesuai dengan standar yang kita inginkan. Meski pun ada, kemampuan dalam negeri hanya sekitar 10 juta sampai 11 juta per bulan, sementara kebutuhan kita 80 juta per bulan. Makanya Kementerian Perdagangan sengaja membuka impor, sehingga kami bisa menjalankan program dengan baik.
Foodtray ini juga yang membeli mitra. Jadi BGN selama ini belum menggunakan APBN untuk pembelian foodtray. Kami akan menggunakan anggaran dari APBN buat foodtray ini untuk melayani di wilayah 3T.