Besarnya potensi ekonomi keuangan digital (EKD) di kawasan Asia Tenggara menjanjikan masa depan cerah bagi industri financial technology (fintech). Kemudahan bagi pengguna maupun pedagang membuka jalan dunia usaha merambah pangsa pasar lebih luas dan melipatgandakan keuntungan. Guna memaksimalkan potensi tersebut, menjaga keamanan transaksi sebagai salah satu pilar EKD amat krusial untuk menutup celah yang dapat mendatangkan kerugian.
Urgensi menjaga keamanan transaksi tersebut terungkap dalam pandangan para panelis diskusi publik "Sistem Pembayaran Lintas Batas ASEAN Berbasis QR: Peluang, Tantangan, dan Arah ke Depan" yang diselenggarakan Indonesia Fintech Society (IFSOC) dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia di Auditorium CSIS, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
Direktur Utama Artajasa Armand Hermawan menilai, saat ini, mekanisme konektivitas bilateral cenderung lebih disukai karena efektif dan efisien, serta tidak membutuhkan mekanisme terlalu kompleks.
Sementara konektivitas multilateral, selain mengharuskan pembuatan hub seperti Project Nexus yang diinisiasi Bank for International Settlements (BIS), juga berpotensi menyertakan negara dengan kapasitas infrastruktur dan teknologi switch yang tidak seragam. Alih-alih efektif, penyertaan negara yang tidak seragam justru dapat membuat konektivitas melemah.
"Berbagai platform seperti QRIS di Indonesia, PromptPay di Thailand, DuitNow di Malaysia, atau PayNow di Singapura sebenarnya bisa berkembang karena merchant penggunanya adalah usaha mikro, kecil, dan menengah. Mekanisme bilateral memungkinkan perkembangan platform itu jadi lebih cepat," jelas Armand.
Saat ini, dengan jumlah pengguna QRIS mencapai 57 juta user dan 39,3 juta merchant di Asia Tenggara, Armand tidak menampik potensi pemakaian QR sama besarnya dengan potensi kerugian Asia Tenggara untuk penipuan (fraud) yang saat ini mencapai USD36,5 miliar setiap tahun. Salah satu kasus yang Armand ingat adalah menangani transaksi mencurigakan pembelian 10 buah martabak dengan nilai mencapai Rp10.000.000.
"Kalau transaksi mencurigakan seperti ini ketahuan, hanya bank yang bisa melakukan pemblokiran, sedangkan penyedia jasa tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal, motif-motif fraud sekarang bertambah dengan meluasnya pemakaian QR palsu, rekayasa pengalihan rekening tujuan, account takeover, hingga pemakaian identitas merchant palsu," tukasnya.
Dari pengalaman Artajasa menangani kasus-kasus penipuan itu, sejumlah langkah untuk menutup celah-celah fraud yang telah dilakukan antara lain melakukan fraud assessment secara berkala, meningkatkan frekuensi pembaruan aplikasi mobile, meningkatkan monitoring, serta penilaian kerawanan secara terukur.
Ketua Indonesia Fintech Society (Ifsoc) Rudiantara menyatakan, konektivitas pembayaran digital bukan hanya soal infrastruktur, melainkan juga kesiapan mengembangkan sistem yang rumit untuk menciptakan kemudahan.
"Karena itu saya mohon agar pembayaran digital jangan hanya dilihat sebagai suatu servis, tetapi sebagai salah satu komponen ekonomi digital, sebagaimana telah disepakati dalam DEFA," ujar Rudiantara dalam sambutannya, merujuk pada ASEAN Digital Economy Framework Agreement yang telah dipersiapkan sejak masa keketuaan Indonesia dalam KTT ASEAN 2023 lalu.
Dengan nilai ekonomi digital US$2 triliun pada 2030, Rudiantara menegaskan bahwa potensi akselerasi ekonomi digital merupakan keniscayaan masa depan Asia Tenggara bertahan di tengah disrupsi saat ini.
Karenanya, seluruh elemen pendukung EKD, mulai dari pelindungan data pribadi (PDP), keamanan siber, sampai infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK), perlu didorong simultan guna memastikan potensi konektivitas pembayaran digital tidak sia-sia.
Perkuat regulasi, bentuk preferensi
Koordinasi bank-bank sentral selaku regulator dalam menutup celah-celah penipuan lintas-batas negara terus-menerus dilakukan, meski menghadapi sejumlah keterbatasan. Direktur Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Ryan Rizaldy mengungkapkan, sedikitnya ada empat tantangan bank sentral untuk mengoordinasikan penanganan fraud keuangan digital berbasis QR.
Pertama, ketidakmampuan mendeteksi anomali dan bertindak secara real-time. Kedua, prosedur respons dan pertukaran informasi yang belum jelas. Ketiga, tertundanya alert kepada pihak-pihak terkait. Keempat, lemahnya koordinasi antara bank, bank sentral, dan switching mitra penyedia jasa pembayaran. Menurut Ryan, masalah-masalah ini sebenarnya dapat lebih mudah diatasi lewat mekanisme konektivitas multilateral yang efektif.
"Meskipun interkoneksi multilateral menjadikan masalah dapat ditangani secara efisien, implementasinya juga jauh lebih kompleks. Tantangannya sama sekali tidak kecil, seperti implementasi Project Nexus yang menekan fee pengiriman remitansi pekerja migran Indonesia dari luar negeri dari 13% menjadi 2% saat ini," jelas Ryan.
Dalam kapasitas sebagai bank sentral, Ryan menyatakan Bank Indonesia telah mempersiapkan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030 yang mendukung integrasi EKD dalam struktur yang konsolidatif dan berdaya tahan. Tujuannya, menjamin fungsi bak sentral dalam proses peredaran uang, kebijakan moneter, dan pada akhirnya, menjamin kepentingan nasional tetap terfasilitasi.
Baca juga:

Peneliti Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Dandy Rafitrandi menilai, menjaga keamanan transaksi menjadi salah satu kunci membangun kepercayaan dan membentuk preferensi pemakaian kode QR untuk pembayaran digital.
"Awareness menjadi tantangan lain. Dengan tingkat literasi finansial 57 dari 100, belum banyak pengguna sadar teknologi QR mereka bisa dibaca di negara lain. Ini juga bergantung preferensi pembayaran digital mereka," ujar Dandy.
Dia mencontohkan, di Arab Saudi, misalnya, masyarakat di sana lebih menyukai contactless card atau uang tunai daripada QR. Di Vietnam, orang Vietnam lebih banyak menggunakan QR untuk transaksi ke luar negeri daripada di dalam negeri. Akibatnya, sekalipun platform pembayaran berbasis QR semakin masif, rendahnya tingkat pemakaian resiprokal dapat membuat efektivitas platform berkurang.
"Pilihan kebijakan yang dapat ditempuh pemerintah adalah memberikan insentif untuk penjual ritel yang menggunakan QR, alih-alih mengenakan fee atau biaya admin untuk mereka. Dengan 60% merchant merupakan UMKM, pembayaran digital yang lebih efisien dapat membawa efek positif untuk pertumbuhan PDB juga, pada akhirnya," pungkas Dandy.
Armand menambahkan, dengan semakin tingginya pemakaian pembayaran QR di titik-titik pariwisata, tidak tertutup kemungkinan bahwa pemasaran pariwisata akan menjadikan kemudahan pembayaran sebagai daya tarik wisatawan regional.
"PayNow itu pernah mengalokasikan dana pemasaran mereka untuk mendorong orang Indonesia di Singapura bertransaksi dalam jumlah lebih besar daripada sekadar beli nasi kandar. Begitu juga di Thailand. Kalau kita bisa membentuk preferensi mereka, volume transaksi resiprokal bisa bertambah dan menekan kerugian salah satu negara," ucapnya.