Secara global, Indonesia menduduki posisi ke-5 sebagai negara produsen bauksit terbesar pada tahun 2024, dengan produksi mencapai 32 juta ton. Posisi ini tepat di bawah Brasil (33 juta ton), meski jauh di bawah Guinea (130 juta ton) dan Australia (100 juta ton) berdasarkan data USGS. Optimisme tumbuh untuk Indonesia mengembangkan industri aluminium.
Akan tetapi, untuk mewujudkan hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Meskipun memiliki sumber daya yang besar dan posisi yang kuat dalam produksi bauksit mentah, industri aluminium Indonesia masih menghadapi tantangan di hilir. Laporan dari USGS dan Inalum menunjukkan bahwa produksi aluminium primer Indonesia saat ini masih tergolong rendah, hanya sekitar 275.000 ton. Angka ini hanya sekitar 0,38% dari total produksi aluminium global yang mencapai 72 juta ton.
Kesenjangan besar antara potensi bahan baku (bauksit) dan realisasi produksi aluminium olahan ini menandakan perlunya dorongan kuat untuk mempercepat transformasi dari pengekspor bahan mentah menjadi produsen produk olahan.
Hilirisasi bauksit merupakan keniscayaan untuk bertransformasi. Kebijakan hilirisasi mewajibkan pengolahan bijih bauksit di dalam negeri menjadi alumina dan aluminium, menggantikan ekspor bahan mentah.
Kebijakan tersebut akan bermanfaat besar bagi perekonomian nasional, karena tidak hanya meningkatkan nilai komoditas, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan transfer teknologi. Keberhasilan program hilirisasi ini menjadi kunci untuk mendongkrak produksi aluminium dan alumina nasional.
Komitmen untuk mendorong produksi aluminium dan alumina terlihat jelas dari realisasi investasi di sektor hilirisasi komoditas bauksit yang terus meningkat. Data menunjukkan peningkatan nilai investasi yang signifikan dari waktu ke waktu. Realisasi pada triwulan I-2024 sebesar Rp 1,4 triliun melonjak menjadi Rp 3,7 triliun pada triwulan II-2024, tumbuh sebesar 164,3% (q-t-q).
Tren ini berlanjut dengan proyeksi nilai investasi mencapai Rp 14,8 triliun pada triwulan II-2025 dan Rp 15,6 triliun pada triwulan III-2025. Kenaikan realisasi investasi ini merupakan katalisator yang diharapkan dapat mendorong kapasitas produksi Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) dan smelter aluminium, sehingga meningkatkan kontribusi Indonesia pada pasar aluminium global.
Meskipun saat ini produksi aluminium Indonesia masih di angka 0,38% dari total global, tingginya realisasi investasi dan kuatnya dukungan kebijakan hilirisasi memberikan harapan besar untuk perubahan. Dengan mengoptimalkan potensi bauksit yang melimpah dan mengkonversikannya secara efisien, di mana secara umum, sekitar 4 ton-6 ton bauksit dibutuhkan untuk menghasilkan 1 ton aluminium primer.
Indonesia berpeluang besar untuk segera meningkatkan kapasitas produksi, memenuhi kebutuhan pasar EV, dan bertransformasi dari sekadar produsen bauksit menjadi salah satu kekuatan utama di rantai pasok aluminium global.