Pemerintah memberi sinyal pelonggaran pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Salah satunya bertujuan mempercepat proyek strategis di Papua.
Usai rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/9/2025) malam, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku siap memberikan relaksasi PNBP bagi PT Agrinas Pangan, perusahaan pelat merah yang mengelola program pangan berskala besar di wilayah Timur Indonesia.
“Kalau menurut saya, sih, kantong kiri kantong kanan. Kalau kurangnya dia minta ke saya juga. Saya pajakin, minta ke saya juga. Buat apa?” kata Purbaya.
Relaksasi itu terutama terkait kewajiban membayar biaya Hak Guna Usaha (HGU) tanah yang sebetulnya menjadi ranah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Menurut Purbaya, proyek pangan Agrinas perlu dipercepat meski konsekuensinya bisa mengurangi penerimaan negara dari sisi PNBP. “Itu tanah, lah, mau buat HGU dia mesti bayar PNBP dulu. Itu sebetulnya bukan di kami, tapi di ATR/BPN,” ujarnya.
Langkah ini muncul setelah Presiden Prabowo memanggil Purbaya ke Hambalang sehari sebelumnya. Pemanggilan itu, menurut Purbaya, tak lepas dari keluhan Agrinas soal lambatnya penerbitan surat bebas PNBP yang menjadi syarat administrasi pengurusan HGU.
“Agrinas kan punya program berapa ribu hektare tanahnya belum disertifikasi. Dia perlu surat dari Kemenkeu bahwa itu bebas PNBP. Dia komplain ke Presiden, katanya suratnya belum diproses,” jelasnya.
Purbaya tak ingin Kementerian Keuangan terus menjadi kambing hitam. Ia menegaskan, jika surat baru dikirim sore hari, maka Kemenkeu bisa langsung menerbitkan keesokan harinya. “Saya bilang sama Presiden, ‘Pak, baru kirim tadi sore. Ya, besok saya keluarkan. Tapi jangan klaim Kemenkeu terlambat.’ Biasanya kan kami jadi samsak, disalahin terus,” katanya.
PNBP melambat di bawah target
Di balik tarik-menarik kepentingan proyek strategis ini, kondisi PNBP memang sedang tidak menggembirakan. Sampai dengan semester pertama 2025, PNBP terkumpul Rp 222,9 triliun atau 43,4% dari target APBN 2025 yang sebesar Rp 513,8 triliun.
Realisasi tersebut melanjutkan tren perlambatan sejak awal tahun. Per Mei 2025, misalnya, capaian PNBP bahkan sempat anjlok 24,9% dibanding dengan periode sama tahun lalu menjadi Rp 188,7 triliun.
Kondisi ini lebih parah ketimbang proyeksi pemerintah yang sebetulnya sudah rendah. Dalam RAPBN 2026, target PNBP hanya dipatok Rp 455 triliun, lebih rendah dari outlook 2025 senilai Rp 477,2 triliun, sekaligus jauh di bawah realisasi 2024 yang mencapai Rp 584,4 triliun.
Sri Mulyani Indrawati, ketika masih Menteri Keuangan, dalam Rapat Paripurna DPR RI akhir Agustus lalu, menyebut setidaknya ada tiga faktor utama di balik penurunan tajam ini.
Pertama, pelemahan harga komoditas global yang menekan royalti dari tambang dan migas.
Kedua, sejak awal 2025, dividen BUMN tak lagi masuk ke kas negara karena dialihkan ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Padahal dividen selama ini jadi penyumbang besar bagi PNBP.
Ketiga, kebijakan larangan ekspor bahan mentah yang memangkas penerimaan bea keluar.
“Penguatan pengawasan melalui joint program penerimaan negara, langkah digitalisasi dan simplifikasi layanan PNBP dilakukan secara terpadu,” kata Sri Mulyani saat itu. Ia juga sempat meresmikan Direktorat Potensi dan Pengawasan PNBP di bawah Ditjen Anggaran untuk memperkuat tata kelola penerimaan negara bukan pajak.
Beban belanja meningkat
Sementara penerimaan melambat, belanja negara terus meningkat. Presiden Prabowo menetapkan sejumlah program prioritas dengan kebutuhan anggaran jumbo. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diperkirakan menguras lebih dari Rp 400 triliun per tahun.
Pemerintah juga harus menambah modal Danantara sebagai sovereign wealth fund, membayar subsidi energi, serta menutup pembiayaan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Menteri Keuangan Purbaya menyadari ruang fiskal semakin sempit. Ia menegaskan akan lebih agresif mengawasi kementerian dan lembaga yang serapan anggarannya lambat. “Kalau ada anggaran tidak terserap, akan saya ambil dan pindahkan ke program lain,” ujarnya.
Di titik inilah kebijakan relaksasi PNBP untuk proyek strategis seperti Agrinas menjadi paradoks. Di satu sisi, negara sedang berupaya menutup jurang penerimaan. Di sisi lain, pemerintah tak ragu memberi kelonggaran pungutan demi akselerasi program prioritas.
Jalan tengah dan diversifikasi
Sejumlah ekonom menilai langkah relaksasi PNBP untuk proyek strategis masih bisa dimaklumi, selama dilakukan secara selektif. PNBP, bukan hanya angka setoran, melainkan juga instrumen kebijakan. Jika kelonggaran HGU mampu mempercepat proyek pangan di Papua, dampak ekonominya bisa lebih besar dibandingkan penerimaan jangka pendek yang hilang.
Yusuf Rendy Manilet dari CORE menekankan, secara pragmatis relaksasi memang berpotensi mempercepat proyek ketahanan pangan. Apalagi di Merauke yang kini tengah dikembangkan 200.000 hektare lahan untuk pangan, air, dan energi. “Logika kantong kiri ke kanan masuk akal, jangan sampai biaya HGU menghambat,” ujarnya.
Namun ia mengingatkan, persoalannya ada pada momentum. Tahun ini, penerimaan negara sedang tertekan: pajak menurun, PNBP merosot, sementara defisit APBN sudah melebar.
Relaksasi dalam kondisi seperti ini, kata Yusuf, justru berisiko menambah beban fiskal. Karena itu, eksekusinya harus benar-benar transparan dan akuntabel agar tidak menjadi ladang penyalahgunaan seperti proyek food estate sebelumnya.
Yusuf juga menegaskan, dampak fiskalnya perlu dihitung ulang. Jika penerimaan turun, kompensasinya harus jelas. Misalnya, lewat efisiensi belanja.
Ia juga mengingatkan agar aspek sosial dan lingkungan di Papua tidak diabaikan. “Kalau hanya korporasi yang untung, konflik bisa muncul,” katanya.
Menurutnya, relaksasi bisa dibenarkan sebagai trade-off jangka panjang. Tapi, tanpa rambu ketat justru berisiko memperburuk ketidakseimbangan fiskal di saat ekonomi rapuh.
Tantangan lebih besar disoroti ekonom Indef, Eko Listyanto. Eko menilai pemerintah perlu segera melakukan diversifikasi sumber penerimaan PNBP agar tidak semata bergantung pada dividen BUMN dan royalti tambang yang terus tertekan. "Banyak aset negara yang masih idle, sebenarnya, bisa dioptimalkan melalui kerjasama dengan swasta untuk membuka sumber penerimaan baru," kata Eko.
Eko mengingatkan, penurunan PNBP berpotensi menekan ruang fiskal pemerintah. Imbasnya, program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa saja harus disesuaikan dengan kemampuan anggaran. “Kalau merujuk solusi Menkeu, kekurangan penerimaan kemungkinan ditutup lewat pelebaran defisit, outlook Kemenkeu sekitar 2,78% PDB, serta pemanfaatan saldo anggaran lebih (SAL),” ujarnya.
Meski begitu, ia menekankan, tantangan MBG bukan hanya soal dana. Kemampuan penyerapan anggaran, tata kelola yang baik, hingga kesiapan daerah akan sangat menentukan. “Tanpa persiapan matang, program rawan hanya menjadi beban anggaran tanpa memberi dampak optimal bagi masyarakat,” kata Eko.
Di tengah dilema penerimaan yang melambat dan belanja yang membengkak, pemerintah dituntut mencari jalan tengah yakni menjaga laju pembangunan tanpa mengorbankan disiplin fiskal. Relaksasi PNBP untuk Agrinas mungkin memberi ruang gerak jangka pendek. Tetapi dalam jangka panjang, diversifikasi penerimaan dan penguatan tata kelola tetap menjadi kunci agar APBN kokoh menopang ambisi besar pemerintahan Prabowo.
Beban pajak, peran swasta, dan distribusi
Di sisi lain, kalangan pengusaha menilai pelemahan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) akan menambah tekanan pada dunia usaha. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam mengatakan, kondisi ekonomi saat ini memang tengah menghadapi tantangan serius.
“Ekonomi kita sedang perlambatan. Hampir semua indikatornya negatif, termasuk PMI dan penerimaan negara. Kalau ekonomi lemah, otomatis penerimaan negara juga melemah,” ujarnya.
Namun, menurutnya, langkah pemerintah yang cenderung menutup pelemahan penerimaan dengan menaikkan tarif pajak justru bisa menjadi bumerang.
“Karena penerimaan tidak sesuai harapan, pemerintah akhirnya menaikkan tarif pajak dan lainnya. Padahal, itu justru bisa semakin memukul dunia usaha. Yang dibutuhkan adalah kebijakan yang membalikkan keadaan, relaksasi yang mendorong ekonomi bergerak, sehingga penerimaan negara bisa naik,” tambahnya.
Ia menekankan pentingnya proyek-proyek pemerintah yang melibatkan sektor swasta. Skema seperti ini dinilai lebih sehat karena membuka peluang keuntungan bagi perusahaan, sekaligus menciptakan pemasukan tambahan bagi negara.
“Pemerintah perlu proyek-proyek yang melibatkan swasta. Bukan hanya terlibat, tapi juga bisa menghasilkan keuntungan bagi perusahaan sekaligus pemasukan bagi negara,” kata Bob.
Lebih jauh, Bob juga menyoroti kecenderungan pemerintah yang salah arah dalam menata ekosistem usaha. Ia mencontohkan kebijakan yang justru meminggirkan peran distributor atau middlemen, padahal mereka merupakan bagian penting dari rantai distribusi.
“Swasta jangan dimusuhi, apalagi middlemen. Mereka bagian dari mekanisme pasar, tulang punggung distribusi. Kalau distribusi dihilangkan, harga justru jadi lebih mahal. Masalahnya bukan di middlemen, tapi di monopoli. Yang harus diberantas itu monopolinya, bukan pemain distribusi yang sebenarnya menjaga ekosistem pasar,” tegasnya.