SPBU Swasta Laris Sampai Stok Habis, Pertamina Perlu Jaga Kualitas

Kebijakan baru pengaturan impor ditengarai memicu kelangkaan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) milik perusahaan swasta yang telah terjadi sejak akhir Agustus lalu.

SPBU Swasta Laris Sampai Stok Habis, Pertamina Perlu Jaga Kualitas
Pengendara motor membeli makanan yang dijual petugas SPBU di depan SPBU Shell, Jalan Margonda Raya, Depok, Jawa Barat, Kamis (18/9/2025). Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso/YU.

Para pengendara yang menjadi pelanggan bahan bakar minyak (BBM) swasta terpaksa memendam kekecewaan. Sejak akhir Agustus lalu, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) berlabel Shell, Vivo, ExxonMobil, hingga BP-AKR tutup lantaran tidak ada stok yang tersedia.

Tampak para pegawainya hanya berjaga-jaga di lokasi pom bensin. Sebagian pegawai malah menjajakan makanan untuk mendapatkan pemasukan. Sesekali mereka harus memberi tahu para pengemudi kendaraan yang telanjur masuk SPBU, kalau stok bensin mereka kosong.

Kebijakan baru pengaturan impor ditengarai memicu kelangkaan pasokan BBM di SPBU milik perusahaan swasta sejak beberapa pekan ini. SPBU swasta tidak bisa lagi mendapatkan izin impor kendati mereka kehabisan stok.

Agar dunia usaha tetap berjalan lancar, seyogianya semua pihak perlu mencari titik temu. Sehingga, konsumen pun tidak menjadi ragu dan tetap bisa memperoleh BBM berkualitas.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan, pengaturan impor BBM ditempuh untuk menjaga keseimbangan neraca perdagangan sekaligus menjamin ketersediaan pasokan dalam negeri. Kebijakan ini juga dimaksudkan mengurangi tekanan defisit migas. Dasar hukumnya adalah Pasal 14 ayat (1) Perpres Nomor 61 Tahun 2024 tentang Neraca Komoditas.

Usai memimpin rapat dengan Pertamina dan badan usaha SPBU swasta, Bahlil menjelaskan tercapainya empat kesepakatan. Yakni, pertama, impor dilakukan dalam bentuk base fuel yang peracikannya dilakukan di tangki SPBU. Kedua, ada survei bersama sebelum pengiriman. Ketiga, mekanisme harga transparan dengan model open book. Keempat, percepatan pemenuhan pasokan.

“Insya Allah paling lambat tujuh hari barang sudah bisa masuk di Indonesia,” kata Bahlil dalam siaran pers, Jumat (19/9/2025).

Bahlil juga menyebut Pertamina Patra Niaga memiliki sisa kuota impor 34% atau sekitar 7,52 juta kiloliter. Kuota ini ia nilai cukup untuk tambahan alokasi ke SPBU swasta hingga Desember 2025 sebesar 571.748 kiloliter. Ia menyebut jumlah segitu sebagai penopang kecukupan pasokan hingga akhir tahun.

Sejurus dengan keterangan Bahlil, Presiden Prabowo Subianto memanggil Direktur Utama Pertamina Simon Aloysius Mantiri untuk memastikan alokasi kebutuhan BBM hingga akhir 2025.

Usai pertemuan, Simon menegaskan mekanisme dengan swasta dilakukan terbuka dan tidak dimaksudkan menaikkan harga ke konsumen. “Kita harapkan harga ke konsumen tidak berubah,” ujarnya usai pertemuan di Istana Merdeka, seperti yang dimuat oleh Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden pada Jumat (19/09/2025).

Menurut Simon, Pertamina bersama badan usaha swasta juga tengah menyiapkan langkah impor tambahan untuk menutup kebutuhan pasokan. Namun, volume impor masih menunggu laporan kebutuhan dari masing-masing badan usaha. Ia memastikan, pasokan nasional akan tetap terjaga hingga akhir tahun ini.

Selain menjamin kecepatan pasokan, Simon memastikan kualitas BBM tetap sesuai standar. Pertamina, katanya, berkomitmen menjaga konsistensi mutu bahan bakar sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakat. “Standarnya sesuai spesifikasi Dirjen Migas, setelah itu akan diramu sesuai dengan resep dari masing-masing,” ujarnya.

Menanggapi hal ini, pihak BP-AKR masih belum memberikan keterangan resmi. Humas BP-AKR, Dewi Indrasari, mengatakan bahwa pihaknya sampai saat ini masih melakukan diskusi internal. “Mengenai harga, volume, spesifikasi, dan semuanya masih kita diskusikan. Jadi kita belum bisa kasih statement apa-apa,” ujar Dewi saat dihubungi Minggu (21/09/2025).

Pentingnya jaminan kualitas

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Muhammad Faisal menilai, kebijakan impor BBM melalui satu pintu Pertamina tetap bisa dijalankan – asalkan ada peningkatan kinerja dari badan usaha tersebut. Ia menekankan pentingnya jaminan kualitas bahan bakar yang disalurkan, baik untuk Pertamina sendiri maupun bagi SPBU swasta.

Selain kualitas, Faisal juga menyoroti aspek kuantitas dan kelancaran distribusi. Menurutnya, pasokan yang tidak merata atau distribusi yang tersendat berpotensi menimbulkan kelangkaan dan menurunkan kepercayaan masyarakat. Hal itu pernah terjadi ketika muncul keluhan soal mutu BBM yang dinilai tidak sesuai dengan harga yang dibayar konsumen.

Faisal menambahkan, pemerintah juga perlu mendorong peningkatan bauran BBM dengan nilai oktan yang lebih tinggi. Langkah itu tidak hanya lebih sesuai dengan kebutuhan kendaraan modern, tetapi juga berdampak positif bagi lingkungan.

“Bahan bakar dengan kualitas lebih baik akan menekan polusi dan lebih ramah lingkungan,” ujar Faisal ketika dihubungi Minggu (21/09/2025).

Sementara itu, Komisi Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mengkritik keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menghentikan impor BBM oleh stasiun pengisian swasta. Menurut KPBB, kebijakan itu merugikan konsumen karena memperkuat dominasi Pertamina sebagai satu-satunya importir. Kebijakan ini juga disebut berpotensi mengarah pada praktik kartel.

KPBB menilai aturan jalur tunggal impor hanya lewat Pertamina akan menghilangkan persaingan sehat. Akibatnya, masyarakat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan BBM dengan kualitas lebih baik dan harga yang lebih bersaing. “Ketetapan ini sesat karena menguntungkan mafia migas,” kata Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin dalam keterangan tertulis, Jumat (19/9/2025).

Menurut Ahmad, kualitas BBM yang dipasarkan Pertamina saat ini masih di bawah standar teknologi kendaraan. Dari 16 parameter bensin, angka research octane number (RON) baru mencapai 90, padahal standar minimumnya adalah 91. Kandungan sulfur juga disebut masih terlalu tinggi, yaitu 200 ppm, melebihi batas maksimal sebesar 50 ppm.

Situasi serupa terjadi pada solar, dengan angka cetane number hanya 48 dari standar minimal 51. Kandungan sulfur solar bahkan disebut mencapai lebih dari 1.400 ppm, jauh dari batas 50 ppm. Menurut Ahmad, kondisi ini akan memperparah pencemaran udara dan merugikan konsumen yang menggunakan kendaraan berteknologi baru.

KPBB menyinggung regulasi yang sudah berlaku sejak 2017, yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) No P20/2017 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Aturan itu mewajibkan penggunaan kendaraan berstandar Euro4 sejak 2018, dengan target naik ke Euro6 pada 2024 dan 2025. Namun, Ahmad menyebut tidak ada tindak lanjut dari Kementerian ESDM untuk menyesuaikan spesifikasi BBM.

Akibatnya, industri otomotif nasional dinilai stagnan karena tidak tersedianya BBM yang sesuai kebutuhan teknologi Euro4. Kehadiran SPBU swasta yang sempat menawarkan BBM berstandar lebih tinggi disebut Ahmad menjadi “oasis” bagi pengguna kendaraan modern. Namun, peluang itu tertutup setelah kebijakan impor BBM diberlakukan satu pintu hanya melalui Pertamina.

Kehadiran SPBU swasta yang sempat menawarkan BBM berstandar lebih tinggi disebut Ahmad menjadi “oasis” bagi pengguna kendaraan modern.

Selain aspek teknis, KPBB juga mengaitkan kebijakan ini dengan target pertumbuhan ekonomi Presiden Prabowo Subianto sebesar 8%. Menurut Ahmad, kebijakan yang membatasi ruang gerak industri migas justru bertentangan dengan arah pembangunan ekonomi. Ia menilai langkah tersebut menjadi kemunduran dalam tata kelola energi nasional.

KPBB mengingatkan bahwa realisasi impor BBM masih mencapai sekitar 70% total kebutuhan nasional, atau 73 juta kiloliter pada 2024. Dominasi Pertamina sebagai pemasok tunggal dikhawatirkan memperlemah mekanisme pasar dan menutup peluang hadirnya produk dengan kualitas yang lebih baik. “Ini akan merusak persaingan sehat dan membebani konsumen,” ujar Ahmad.

Sebagai rekomendasi, KPBB mendesak pemerintah mencabut kebijakan Menteri ESDM yang membatasi impor BBM oleh swasta. Ahmad juga meminta revisi spesifikasi BBM, pergeseran impor ke produk berkualitas lebih tinggi, serta restrukturisasi harga pokok penjualan (HPP) agar harga lebih terjangkau.

KPBB bahkan mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memeriksa Menteri ESDM dan Dirjen Migas terkait dugaan praktik kartel.

Baca selengkapnya