Pertahankan Optimisme Konsumen untuk Kejar Pertumbuhan Tahunan

Bank Indonesia (BI) mengumumkan kenaikan indeks keyakinan konsumen (IKK) dari 121,2 pada bulan Oktober menjadi 124,0 pada bulan November 2025.

Pertahankan Optimisme Konsumen untuk Kejar Pertumbuhan Tahunan
Pengunjung memilih pakaian di Pasar Johar, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (12/11/2025). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nym.

Bank Indonesia (BI) mengumumkan kenaikan indeks keyakinan konsumen (IKK) dari 121,2 pada bulan Oktober menjadi 124,0 pada bulan November 2025. Dunia usaha perlu memanfaatkan optimisme ini agar momentum positif bertahan dan menjadi fondasi struktural penguatan konsumsi masyarakat sebagai penggerak pertumbuhan untuk kuartal berikutnya.

Dalam Survei Konsumen November 2025 yang diterbitkan BI, Selasa (09/12/2025), kenaikan IKK mengindikasikan pemulihan persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi. Dalam catatan BI, meningkatnya keyakinan konsumen bersumber dari kondisi ekonomi saat ini dan ke depan yang berada pada level optimis dan meningkat dibandingkan periode sebelumnya.

"IKK tertinggi tercatat pada responden pengeluaran >Rp5 juta (130,6), diikuti oleh responden pengeluaran Rp4,1-5 juta (126,9). Berdasarkan kelompok usia, optimisme tertinggi dialami responden berusia 20-30 tahun sebesar 128,6. IKK mengalami peningkatan di mayoritas kota yang disurvei, terutama di Manado, Mataram, dan Medan," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso.

Membaiknya persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini juga terbaca dalam kenaikan Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) yang bersumber dari kenaikan seluruh komponen pembentuknya, yaitu Indeks Penghasilan Saat Ini (IPSI) yang tercatat sebesar 121,5, Indeks Pembelian Barang Tahan Lama (IPBDG) sebesar 109,4, dan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK) sebesar 103,7. Optimisme orang muda kelompok usia 20-30 kembali terbaca dalam tiga indeks ini.

Dengan perbaikan persepsi tersebut, BI juga mencatat proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi terjaga pada level 74,6%, sementara proporsi pembayaran cicilan dan proporsi pendapatan konsumen yang ditabung relatif stabil, masing-masing sebesar 11,0% dan 14,4%. Ini didorong dengan peningkatan persepsi responden terhadap ekspektasi penghasilan enam bulan ke depan, ketersediaan lapangan kerja, serta perkembangan kegiatan usaha ke depan.

Jaga momentum positif

Dunia usaha menyambut kenaikan IKK sebagai sentimen dan sinyal positif menjelang akhir tahun. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyatakan, sentimen yang membaik di akhir tahun sangat penting karena konsumsi rumah tangga akan menjadi motor pertumbuhan musiman, yang pada gilirannya mendorong transaksi ritel dan permintaan barang-jasa.

Namun, Shinta menggarisbawahi, sifat peningkatan IKK perlu lebih dicermati, apakah bersifat sentimental atau mencerminkan pemulihan daya beli secara keseluruhan. Saat ini, dengan sektor riil masih menghadapi tekanan seperti pemulihan manufaktur yang belum merata dan kenaikan harga sejumlah komoditas masih dapat menahan belanja masyarakat. Indikator konsumsi aktual akan mengonfirmasi kenaikan ini dalam beberapa waktu ke depan.

"Tren kenaikan IKK dapat mendorong pertumbuhan agar berlanjut ke Kuartal-I 2026 yang diproyeksikan menguat karena konsolidasi faktor Tahun Baru, Imlek, Ramadan, dan Idul Fitri, sebelum moderasi terjadi pada Kuartal II-III ketika pengaruh musiman mulai mereda, terutama jika tidak ada intervensi kebijakan pendukung lanjutan dari pemerintah," ucap Shinta saat dihubungi, Selasa (09/12/2025).

Pengunjung melihat produk yang dijual di salah satu toko farmasi dan kecantikan di Mal Kuningan City, Jakarta, Rabu (19/11/2025). Foto: ANTARA FOTO/Fauzan/YU

Dengan memastikan momentum positif di akhir 2025 ini tidak hilang, Shinta menegaskan, dunia usaha tetap membutuhkan konsistensi stimulus daya beli, percepatan belanja pemerintah, stabilitas harga pangan, selain perbaikan iklim usaha yang tetap menjadi kunci agar konsumsi masyarakat dan aktivitas produksi kembali solid di awal 2026.

Berbagi pandangan dengan Shinta, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Anindya Bakrie menyatakan, seperti halnya optimisme konsumen, suasana batin atau mood pengusaha saat ini relatif positif. Sebagai penyedia lapangan kerja terbesar, pengusaha tengah mempertimbangkan peluang investasi baru untuk ekspansi di 2026. Karenanya, iklim usaha harus tetap dijaga.

"Kolaborasi yang digaungkan pemerintah melalui konsep Indonesia Incorporated memberi keyakinan baru kepada pelaku usaha besar. Bagi pelaku usaha kecil, program-program sosial pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis, misalnya, dapat membantu menjaga optimisme, khususnya menghadapi tekanan ekonomi di daerah," ujar Anindya di Jakarta.

Antisipasi tetap perlu

Terlepas dari IKK mencerminkan ekspektasi konsumen yang berhasil membaik terhadap kondisi perekonomian, antisipasi tetap perlu dilakukan karena dua faktor utama. Pertama, pemulihan ekspektasi tidak sinonim dengan pemulihan daya beli dan konsumsi rumah tangga. Kedua, faktor musiman yang sangat mungkin menghilang setelah beberapa waktu.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, kenaikan IKK di bulan November linier dengan tren kenaikan indeks PMI yang didorong permintaan domestik, bukan ekspor. Dengan peningkatan itu, menjadi wajar bahwa kenaikan IKK terjadi, mengingat bahwa indeks penjualan ritel juga mengalami kenaikan signifikan.

"Hanya kita mesti lihat lagi permintaan konsumsi rumah tangga ini meningkat di lapisan mana khususnya, apakah di kelas menengah yang selama ini mengalami penurunan daya beli atau bagaimana. Untuk bisa mengatakan apakah kenaikan ini terus sustain atau tidak, mungkin kita harus lihat dulu setelah tahun baru," jelas Faisal kepada SUAR, Selasa (09/12/2025).

Baca juga:

Industri Masih Yakin Ekspansi, Manufaktur Tetap Bertahan
Kinerja Industri Manufaktur Indonesia tetap bertahan di tengah kondisi perekonomian yang tidak stabil dengan angka Indeks Kepercayaan Industri (IKI) di level 53,02.

Peningkatan IKK jelang akhir tahun relatif lumrah karena dorongan Natal dan Tahun Baru. Penentu utama yang perlu dilihat ke depan, Faisal menegaskan, adalah kenaikan pendapatan yang akan menentukan juga tingkat daya beli masyarakat. Pendorong seperti stimulus yang sudah dikucurkan dalam tiga tahap dapat membantu permintaan, tetapi membutuhkan waktu dan dampaknya belum tentu terjaga dalam jangka panjang.

"Kalau stimulis itu efektif, dia bisa mengangkat permintaan itu secara lebih panjang bukan hanya sesaat. Harapannya seperti itu, apalagi di saat yang sama, di samping stimulus fiskal juga ada stimulus moneter dengan beberapa kali penurunan suku bunga. Kombinasi stimulus ini mudah-mudahan bisa mengerek dari sisi permintaan," ucapnya.

Mempertegas penjelasan Faisal, Ketua Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan menegaskan perbedaan IKK dan daya beli. Adanya perubahan ekspektasi yang lebih optimis dapat dibaca secara terbatas, tetapi hal tersebut tidak serta-merta menjadi bukti perbaikan kondisi ekonomi masyarakat secara keseluruhan.

"Yang jelas misalnya karena dia lebih optimis, kita bisa berekspektasi bahwa konsumen di akhir tahun itu akan lebih berani konsumsi, lebih mau belanja. Baru terbatas itu implikasinya. Kalau daya beli, harus dilihat apakah pendapatan ikut membaik atau tidak," cetus Deni.

Perbaikan ekspektasi, menurut Deni, juga tidak serta-merta berimplikasi perbaikan perekonomian di Kuartal-I 2026. Indikasi masyarakat yang lebih berani melakukan konsumsi masih terlalu dini untuk melihat dampak perbaikan konsumsi di tahun depan, terutama karena perubahan kebijakan yang sangat cepat, ketidakpastian ekonomi global, dan kecekatanan pemerintah menanggapi momentum.

"Menjelang tahun 2026, belum terlihat perubahan yang signifikan dari kebijakan yang baru atau terobosan-terobosan baru selain stimulus. Dengan keadaan seperti itu, terlalu cepat untuk berekspektasi bahwa perbaikan sentimen atau keyakinan konsumen di akhir tahun ini akan berlanjut di tahun 2026," pungkas Deni.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional