Jelang Aksesi OECD, Siapkan Lembaga Independen Pengawas Ketenagalistrikan

Hasil kajian Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (PSE UGM) merekomendasikan pembentukan lembaga independen guna memperkuat tata kelola ketenagalistrikan menjelang aksesi Indonesia dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Hasil kajian Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (PSE UGM) merekomendasikan pembentukan lembaga independen guna memperkuat tata kelola ketenagalistrikan menjelang aksesi Indonesia dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Dengan fungsi pengawasan hingga regulasi tarif, situasi dan kondisi ke depan menjadi penentu urgensi pembentukan lembaga ini.

Rekomendasi tersebut dikemukakan dalam diseminasi "Penguatan Tata Kelola Listrik Nasional Menuju Aksesi OECD" yang diselenggarakan PSE UGM bekerja sama dengan Purnomo Yusgiantoro Center di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Jumat (17/10/2025).

Ketua Umum Purnomo Yusgiantoro Center Filda Yusgiantoro menyatakan, kajian yang disusun selama enam bulan, mulai dari Maret hingga September 2025 tersebut melibatkan kementerian, BUMN, swasta, dan akademisi. Dokumen kajian tersebut, menurutnya, menjadi rekomendasi untuk mendukung kebijakan transisi energi pemerintah.

"Ketenagalistrikan adalah tulang punggung pembangunan ekonomi dan pondasi daya saing Indonesia dalam transisi energi. Pembenahan tata kelola ketenagalistrikan sangat penting untuk membuktikan komitmen Indonesia, termasuk rencana Indonesia bergabung ke ASEAN Power Grid," cetus Filda merujuk pada inisiatif regional yang diluncurkan di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 15 Oktober 2025.

Menurut Filda, selain mewujudkan tata kelola yang lebih sehat dan terkoordinasi, rekomendasi kajian untuk membentuk lembaga pengawasan independen bertujuan membangkitkan kepercayaan publik pada perusahaan penyedia jasa ketenagalistrikan, sekaligus membuktikan Indonesia memiliki tata kelola energi yang transparan.

"Di Asia Tenggara, belum ada negara yang masuk OECD. Penguatan tata kelola ketenagalistrikan akan menjadi pengungkit daya saing Indonesia, sekaligus memberi contoh best practices dengan peningkatan bauran energi terbarukan dan memperlihatkan komitmen transisi energi," tukasnya.

Mewakili publik

Pembentukan lembaga pengawasan independen untuk tata kelola ketenagalistrikan berperan mewakili kepentingan publik dalam pengelolaan energi listrik secara nasional. Guna mempertahankan independensi, pertanggungjawaban lembaga ini ditujukan kepada Presiden selaku Kepala Negara.

Ketua PSE UGM Sarjiya menjelaskan, upaya mencapai target bauran energi terbarukan yang cukup besar membutuhkan tata kelola yang sehat untuk memastikan target tercapai. Saat seluruh sektor energi diarahkan pada elektrifikasi dalam rangka transisi energi, lembaga independen yang berperan sebagai pengawas dan mengukur aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan menjadi sangat penting.

"Dalam menyusun kajian ini, kami melakukan focus group discussion (FGD) dengan semua pemangku kepentingan, mulai dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), BP BUMN, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Perekonomian, Bappenas, PLN, serta berbagai asosiasi usaha," ujar Sarjiya saat memaparkan garis besar kajian tersebut.

Cetak biru lembaga independen yang diusulkan kajian tersebut memiliki tujuan untuk menjembatani masalah teknis dan legal, sekaligus menjawab penguatan. Otonomi lembaga dari segi teknis, keuangan, hingga prosedural menjadi syarat untuk melaksanakan sejumlah fungsi, mulai dari memverifikasi besaran tarif, mengawasi penerbitan izin usaha ketenagalistrikan, menyelesaikan sengketa, serta memfasilitasi perlindungan konsumen.

Kajian tersebut menemukan bahwa dengan lembaga independen yang memperkuat sektor ketenagalistrikan, terdapat sejumlah manfaat yang dapat diidentifikasi. Pertama, mendorong capaian target-target energi terbarukan. Kedua, meningkatkan efisiensi, kualitas layanan, keandalan sistem, dan standar integritas. Ketiga, dampak lanjutan dari penguatan tata kelola adalah menguatkan minat dan realisasi investasi.

"Dengan lembaga independen sektor ketenagalistrikan, kita mengharapkan desain tata kelola yang efisien dan transparan, membantu penyusunan peta jalan transisi, dan sinergi dengan institusi nasional demi memastikan koordinasi bisa dijembatani," tegasnya.

Agar keterwakilan publik terpenuhi, independensi lembaga diukur dengan basis merit dan keikutsertaan perwakilan akademisi, pemerintah, dan dunia usaha. Namun, Sarjiya menggarisbawahi bahwa komposisi keanggotaan dan pembagian peran merupakan aspek teknis yang saat ini belum ditentukan.

Pembentukan lembaga independen ini, menurut Sarjiya, telah dilakukan di sejumlah negara untuk menghubungkan pemerintah selaku regulator dan dunia usaha selaku pengguna jasa kelistrikan. Spanyol dan Korea Selatan menjadi contoh yang diketengahkannya. Di kedua negara tersebut, BUMN listrik menjadi regulator dengan penguasaan penuh, tetapi peran swasta di sektor pembangkitan tetap terbuka guna mendorong segi keekonomian.

"Lembaga independen ini menjadi melting point terkait isu-isu ketenagalistrikan, bauran energi, harga pembelian tenaga listrik, serta mekanisme penetapan tarif untuk memastikan seluruh cost yang disebabkan oleh operasionalnya bisa ditutup dari pendapatan listrik," pungkas Sarjiya.

Kebutuhan meningkat

Penguatan tata kelola ketenagalistrikan menjadi relevan saat kebutuhan konsumsi tenaga listrik meningkat dari waktu ke waktu. Saat ini, dengan pertumbuhan konsumsi listrik bisnis mencapai 4,7% YoY, konsumsi listrik industri mencapai 2,3% YoY, dan konsumsi listrik rumah tangga mencapai 0,7% YoY pada September 2025, distribusi listrik menjadi segi yang perlu diawasi.

SUAR telah mengajukan konfirmasi kepada VP Corporate Communication PT. PLN (Persero) Gregorius Adi Trianto terkait hal ini. Namun, sampai saat berita ini disusun, SUAR tidak memperoleh jawaban yang bersangkutan.

Sementara itu, guna memastikan kebutuhan pemerataan akses energi terjawab, Kementerian ESDM meluncurkan program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) di Banyuasin, Sumatera Selatan, Kamis (16/10/2025). Program tersebut menyediakan pemasangan instalasi listrik gratis bagi rumah tangga miskin, terutama di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal atau 3T.

Dalam kesempatan tersebut, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan, pemerataan listrik adalah wujud nyata kehadiran negara bagi seluruh rakyat. Pemerintahan Prabowo Subianto secara khusus menargetkan 5.700 desa dan 4.400 dusun yang belum dialiri listrik akan menerima bantuan selambat-lambatnya pada 2029.

"Program ini adalah bentuk kehadiran pemerintah dalam memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan rakyat, khususnya sektor ESDM yang akan kita lakukan terus-menerus hingga seluruhnya terlistriki. Masa' Indonesia sudah merdeka 80 tahun, masih ada desa yang belum dialiri listrik," ucap Bahlil.

Baca juga:

Sampah Jadi Listrik, Bisnis Baru Bernilai Rp91 Triliun
Danantara siap berinvestasi untuk proyek pengelolaan sampah menjadi energi total senilai Rp91 triliun.

Selain memastikan distribusi yang merata di dalam negeri, orientasi kawasan mendorong Indonesia berkomitmen menyukseskan kerja sama ASEAN Power Grid. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyatakan dalam, gelaran ASEAN Minister on Energy Meeting (AMEM) di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (16/10/2025), Indonesia harus siap menjadi hub energi ASEAN.

"Pemerintah telah memetakan peluang investasi national grid dan integrasi antarnegara ASEAN sebesar Rp600 triliun. Itu tentu bukan hanya dari pemerintah, tetapi juga bagaimana kita mendorong swasta untuk berinvestasi juga di sana. Jadi kita membuka peluang investasi untuk itu," ujar Yuliot, sebagaimana dicatat dalam keterangan tertulis di situs Kementerian ESDM.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional