Penandatanganan Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) antara Indonesia dan Uni Ekonomi Eurasia (EAEU) yang direncanakan pada 21 Desember 2025 di Rusia merupakan momen penting untuk hubungan dagang kedua pihak. Perjanjian itu peluang meningkatkan kinerja ekspor ke negara-negara EAEU.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan negara-negara EAEU selama periode 2020-2025. Hal ini didorong oleh tingginya impor pupuk dan bahan bakar mineral dari EAEU, sementara ekspor Indonesia didominasi oleh minyak kelapa sawit.
Momentum penandatanganan perjanjian ini perlu dilihat sebagai peluang strategis untuk mereformulasi struktur perdagangan, khususnya untuk memperluas pasar ekspor non-tradisional Indonesia ke negara-negara anggota EAEU, terutama selain Rusia.
Neraca perdagangan Indonesia dengan EAEU menunjukkan defisit nilai perdagangan di tahun 2020 mencapai 244,664 juta dollar AS. Di tahun 2022, tercatat peningkatan defisit menjadi 1.361,88 juta dollar AS. Komoditas Potassium Chloride atau kalium klorida (garam alami) sebagai komoditas impor utama mengalami peningkatan nilai impor hingga 48,9% dibandingkan tahun 2021.
Di tahun berikutnya, defisit kembali meningkat hingga 7,8% yaitu 1.468,46 juta dollar AS (2023). Perbaikan neraca perdagangan mulai terlihat di tahun 2024 dan 2025, yaitu di angka 700 sampai 800 juta dollar AS.
Neraca perdagangan yang defisit menunjukkan ketergantungan Indonesia pada pasokan komoditas dari EAEU, terutama Potassium Chloride yang merupakan bahan baku penting untuk pupuk. Di sisi lain, ekspor Indonesia ke kawasan ini terkonsentrasi pada minyak kelapa sawit dan turunannya, yaitu Refined Palm Oil dan Liquid Fractions.
Konsentrasi komoditas ini membuat posisi tawar Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global dan kebijakan proteksionisme EAEU. Untuk menekan defisit yang hampir mencapai 1.500 juta dollar AS pada tahun 2023, diversifikasi dan peningkatan nilai tambah komoditas ekspor mendesak dilakukan.
Perjanjian dagang I-EAEU FTA menawarkan harapan besar untuk mengatasi masalah keterbatasan akses pasar. Selama ini, sebagian besar perdagangan EAEU dengan Indonesia didominasi oleh Rusia, yang merupakan mitra dagang terbesar dalam aliansi tersebut. Namun, EAEU juga mencakup negara-negara anggota penting seperti Kazakhstan, Belarusia, Armenia, dan Kirgistan.
Penghapusan atau pengurangan tarif melalui FTA harus difokuskan untuk membuka pintu ke pasar non-Rusia ini, di mana produk-produk Indonesia mungkin kurang dikenal atau tertahan oleh hambatan non-tarif. Mendorong akses ke pasar Kazakhstan dan Belarusia, misalnya, dapat menggenjot ekspor komoditas baru Indonesia di luar minyak sawit. Salah satu fokus utama dalam negosiasi FTA adalah pelonggaran akses untuk produk hilirisasi Indonesia. Selain minyak sawit mentah dan turunannya, Indonesia perlu mendorong ekspor produk olahan lain.
Hasil olah data dari BPS menunjukkan komoditas seperti Kopi Robusta secara konsisten masuk dalam daftar ekspor unggulan. Memanfaatkan momentum ini, produk makanan dan minuman olahan, karet dan barang dari karet, serta tekstil dan produk garmen, yang memiliki nilai tambah tinggi, harus menjadi target ekspor prioritas. Ini akan mengurangi ketergantungan pada satu komoditas ekspor (minyak sawit) dan memperkuat fondasi ekspor Indonesia.
FTA Indonesia-EAEU merupakan kesempatan emas untuk mencapai keseimbangan perdagangan yang lebih baik. Perjanjian ini menyediakan mekanisme yang legal dan struktural untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia dan mendiversifikasi tujuan ekspor ke seluruh negara anggota EAEU.
Keberhasilan implementasi perjanjian ini akan sangat bergantung pada seberapa efektif Indonesia memanfaatkan akses pasar yang baru untuk produk-produk bernilai tambah di luar produk ekspor utama seperti minyak sawit, sehingga menciptakan kemitraan ekonomi yang saling menguntungkan dan berkelanjutan.