Penjualan Ritel Diperkirakan Menguat Enam Bulan ke Depan

Indesk Ekspektasi Penjualan (IEP) September 2025 yang dirilis Bank Indonesia (BI) menjelaskan, penjualan tiga bulan ke depan yakni Desember 2025 dan enam bulan ke depan yakni Maret 2026 diperkirakan bakal naik.

Daftar Isi

Penjualan ritel diperkirakan bakal menguat akhir tahun dan triwulan pertama 2026. Salah satu faktor pendorongnya adalah momentum besar yakni liburan akhir tahun dan bulan puasa Ramadhan.

Hal ini tertuang dalam Indesk Ekspektasi Penjualan (IEP) September 2025 yang dirilis Bank Indonesia (BI) menjelaskan, penjualan tiga bulan ke depan yakni Desember 2025 dan enam bulan ke depan yakni Maret 2026 diperkirakan bakal naik.

Posisi IEP Desember 2025 tercatat pada level 167,7 lebih tinggi ketimbang November yang sebesar 146,8. Adapun posisi IEP Maret 2026 tercatat pada level 155,7 lebih rendah dibandingkan Februari 2026 yang pada level 142,3.

Ini mengindikasikan keyakinan pelaku ritel bahwa permintaan konsumen masih terjaga hingga akhir tahun. “Responden memperkirakan penjualan tetap positif pada Oktober 2025,” tulis BI dalam laporannya.

Sementara itu, ekspektasi harga barang eceran menunjukkan potensi kenaikan, dari 157,2 untuk tiga bulan ke depan menjadi 172,5 untuk enam bulan ke depan. Kenaikan ini mencerminkan antisipasi terhadap meningkatnya biaya dan tekanan harga di tingkat ritel.

Berdasarkan kelompok barang, pertumbuhan penjualan tahunan pada September 2025 tertinggi terjadi pada makanan, minuman, dan tembakau yang naik 6,4%. Suku cadang dan aksesori kendaraan juga meningkat 11,4%, sedangkan bahan bakar kendaraan bermotor naik 5,4%. Sebaliknya, penjualan pakaian turun 8,2% dan peralatan komunikasi turun tajam 33,6%.

Dari sisi wilayah, peningkatan penjualan eceran secara tahunan terutama terjadi di Surabaya dengan kenaikan 19,1%, diikuti Banjarmasin 13,7% serta Semarang dan Purwokerto masing-masing 8,3%. Beberapa kota besar lainnya mencatat penurunan, seperti Jakarta turun 16,9%, Bandung 11,1%, serta Manado 19,0%. Secara keseluruhan, BI menilai penjualan eceran masih tumbuh positif di sebagian besar wilayah, dengan proyeksi tetap ekspansif hingga akhir tahun.

Hal yang wajar

Peneliti ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai penurunan penjualan eceran secara bulanan pada September 2025 bukan tanda melemahnya daya beli, melainkan efek musiman. Menurutnya, pada kuartal ketiga tidak ada momentum khusus yang mendorong peningkatan konsumsi masyarakat, sehingga wajar terjadi penurunan.

“Angka tahunan justru lebih menggambarkan kondisi penjualan riil tahun ini dibanding tahun lalu. Selama angkanya masih positif, itu menjadi cermin yang lebih baik untuk melihat perubahan pertumbuhan,” ujarnya.

Menurut Yusuf ekspektasi penjualan tiga bulan ke depan yang meningkat didorong oleh aktivitas ekonomi di kuartal keempat. Menjelang akhir tahun, konsumsi rumah tangga biasanya menguat seiring meningkatnya permintaan domestik dan ekspor. “Ada momen Natal dan tahun baru,” katanya. Selain itu, belanja pemerintah yang cenderung naik di penghujung tahun ikut memperkuat daya beli masyarakat.

Untuk enam bulan ke depan, Yusuf memperkirakan tren peningkatan akan berlanjut seiring masuknya periode Ramadhan dan Idulfitri pada Februari hingga Maret 2026. Momentum keagamaan itu, katanya, akan mendorong lonjakan konsumsi di kuartal pertama tahun depan. Kombinasi antara peningkatan permintaan domestik, belanja pemerintah, dan faktor musiman itu menjadikan prospek penjualan tetap positif hingga awal 2026.

Kendati begitu, Yusuf mengingatkan ekspektasi kenaikan harga eceran dari 157,2 menjadi 172,5 juga menandakan potensi adanya tekanan inflasi selama tiga hingga enam bulan ke depan. Dia menilai peningkatan penjualan biasanya diikuti oleh naiknya harga barang konsumsi, terutama pangan strategis seperti beras, cabai, dan telur. Maka, pemerintah, kata dia, perlu mengantisipasi risiko itu dengan menjaga stabilitas pasokan dan memastikan distribusi barang berjalan lancar.

“Kalau penjualan riil meningkat, ekspektasi inflasi biasanya ikut naik. Yang perlu diantisipasi adalah ketika kenaikan ekspektasi inflasi dari penjualan riil dan eceran itu terjadi bersamaan dengan ekspektasi kenaikan harga pangan. Dorongannya jadi double dari penjualan eceran dan dari pangan,” kata Yusuf.

Yusuf menambahkan variasi kinerja penjualan antarwilayah dapat menjadi dasar pemerintah untuk menentukan kebijakan pengendalian harga yang lebih terarah. Data dari BI menunjukkan penjualan masih tumbuh di Surabaya, Banjarmasin, dan Semarang, namun menurun tajam di Jakarta, Medan, dan Manado. Daerah dengan tekanan harga tinggi perlu mendapat perhatian lebih, misalnya melalui operasi pasar dan penguatan logistik, agar kestabilan harga tetap terjaga menjelang awal tahun depan. 

Penentu

Senada dengan analisa Yusuf, ketua umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menilai penurunan penjualan pada September 2025 merupakan bagian dari pola musiman yang wajar. Periode kuartal ketiga biasanya menjadi masa low season setelah berakhirnya Ramadan dan libur sekolah. “Jadi wajar kalau secara bulanan penjualan menurun,” ujarnya.

Menurutnya, siklus penjualan ritel di Indonesia selalu berpuncak pada dua periode utama, yakni Ramadan dan Idulfitri serta Natal dan Tahun Baru. Peningkatan konsumsi akan terjadi terus mulai akhir tahun hingga kuartal pertama 2026 karena rentetan hari besar yang berdekatan. “Peak season pertama itu Ramadhan dan Idulfitri, sedangkan yang kedua Natal dan Tahun Baru,” katanya.

Ihwal perbedaan kinerja penjualan di berbagai kota, Alphonzus menilai hal itu dipengaruhi struktur ekonomi dan daya beli masyarakat yang beragam. Daerah di luar Jawa relatif lebih stabil karena bergantung pada sektor sumber daya alam, sementara di Jawa penjualan lebih fluktuatif karena banyak bergantung pada industri manufaktur. “Jadi relatif yang di luar Jawa lebih stabil untuk masalah daya beli,” ujarnya.

Untuk memanfaatkan momentum akhir tahun, Alphonzus mengatakan pelaku usaha ritel tengah menyiapkan sejumlah strategi agar masyarakat tetap berbelanja. “Perlu mengadakan berbagai acara atau event supaya masyarakat datang ke pusat belanja, lalu program belanja seperti diskon untuk mendorong mereka melakukan transaksi,” katanya. Kuartal empat 2025 akan jadi kesempatan terakhir bagi industri ritel untuk memaksimalkan penjualan sebelum tahun berganti.

Lebih lanjut, Alphonzus menilai dua momentum besar, kuartal empat 2025 dan kuartal satu 2026, akan sangat menentukan arah pertumbuhan industri ritel nasional. Kedua periode ini menjadi masa krusial untuk menutup capaian tahun berjalan sekaligus membuka prospek penjualan di tahun berikutnya.

“Q4 2025 menjadi sangat penting supaya target pertumbuhan tahun ini bisa terjaga, karena itu kesempatan terakhir sebelum menutup akhir tahun. Sementara Q1 2026 akan menjadi puncak penjualan ritel di 2026, dan kalau puncaknya tidak tercapai, itu akan mempengaruhi kinerja penjualan sepanjang tahun. Sebab, trennya selalu begitu. Setelah Q1 akan masuk low season. Jadi dua triwulan ini benar-benar harus dimaksimalkan,” katanya.