Pemerintah Ingin Tancap Gas di 2026, Cerahkan Iklim Investasi

Di tengah keterbatasan ruang fiskal, presiden ingin langsung tancap gas melunasi janji dengan delapan agenda prioritas dan pertumbuhan ekonomi 5,4%.

Pemerintah Ingin Tancap Gas di 2026, Cerahkan Iklim Investasi
Helikopter TNI-Polri terbang membentuk formasi membawa Bendera Merah Putih saat perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia di Monas, Jakarta, Minggu (17/8/2025). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/bar.
Daftar Isi

Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025), menggambarkan ambisi besar mewujudkan visi misinya di 2026. Di tengah keterbatasan ruang fiskal, presiden ingin langsung tancap gas melunasi janji dengan delapan agenda prioritas dan pertumbuhan ekonomi 5,4%.

“Ini adalah APBN pertama yang saya rumuskan sebagai Presiden Republik Indonesia. Arsitektur APBN 2026 adalah implementasi dari visi dan misi saya bersama Wakil Presiden yang diarahkan untuk mewujudkan Indonesia yang tangguh, mandiri, dan sejahtera,” ujar Prabowo membuka pidatonya.

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato di Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2025, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). ANTARAFOTO/Rivan Awal Lingga/app/rwa.

Salah satu sorotan pidato Prabowo adalah program unggulan yang digadang sebagai “warisan baru” pemerintahannya. Di antaranya, program makan bergizi gratis (MBG) yang sudah menjangkau 20 juta penerima manfaat pada 2025 dan ditargetkan meluas hingga 82,9 juta siswa, ibu hamil, dan balita pada 2026. Dengan alokasi Rp335 triliun, MBG akan menjadi program gizi publik terbesar sepanjang sejarah RI.

Selain itu, ada program cek kesehatan gratis yang tahun ini sudah dinikmati 17 juta warga, serta revitalisasi lebih dari 13.000 sekolah dan madrasah. Untuk menopang ekonomi desa, pemerintah membentuk 80.000 Koperasi Merah Putih dengan fasilitas lengkap: gudang, cold storage, gerai, hingga armada truk distribusi.

“Kita tidak boleh lagi membiarkan rakyat pinjam uang dari rentenir. Lintah darah akan kita hilangkan dari bumi Indonesia,” ujar Prabowo dalam pidato yang disambut tepuk tangan para anggota legislatif.

Di luar program unggulan, RAPBN 2026 dirancang dengan delapan fokus utama: ketahanan pangan, ketahanan energi, generasi unggul lewat MBG, pendidikan bermutu, kesehatan merata, ekonomi kerakyatan berbasis koperasi, pertahanan rakyat semesta, serta percepatan investasi global.

Untuk ketahanan pangan, pemerintah menyiapkan Rp 164,4 triliun, termasuk subsidi pupuk Rp 46,9 triliun dan penguatan Bulog sebagai penyangga stok. Targetnya adalah swasembada beras dan jagung. “Harga stabil, petani makmur, nelayan sejahtera,” kata Prabowo.

Energi mendapat alokasi lebih besar lagi Rp 402,4 triliun. Target yang dicanangkan adalah penggunaan 100% pembangkitan listrik dari energi baru terbarukan dalam 10 tahun. “Indonesia harus menjadi pelopor energi bersih dunia,” tegasnya.

Pendidikan dan kesehatan tak kalah mendapat perhatian. Anggaran pendidikan dipatok 20% dari APBN, Rp 757,8 triliun, terbesar sepanjang sejarah. Sementara sektor kesehatan mendapat Rp 244 triliun, termasuk untuk menanggung asuransi kesehatan bagi 96,8 juta jiwa miskin dan rentan.

Pertahanan pun tidak ketinggalan. Dengan retorika historis, Prabowo mengingatkan bagaimana Nusantara pernah “dilindas bangsa lain” karena lemah pertahanan. Kini, ia menegaskan Indonesia tak boleh lagi jadi “sapi perahan”. Modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) dan penguatan cadangan strategis pun masuk agenda prioritas.

Delapan fokus besar ini dirangkum Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai kelanjutan Asta Cita Presiden. “APBN 2026 tetap sehat dan dijaga sebagai instrumen untuk memperkuat fondasi Indonesia yang tangguh, mandiri, dan sejahtera,” ujar Mulyani.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan terkait RAPB dan Nota Keuangan Tahun Anggaran 2026 di Jakarta, Jumat (15/8/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.

Mulyani menekankan APBN sebagai instrumen keadilan. “Belanja pusat dan daerah harus satu arah. Walaupun pusat yang belanja, yang menikmati adalah rakyat di daerah melalui program PKH, KIP, kartu sembako, layanan kesehatan, sekolah rakyat, makan bergizi gratis, hingga koperasi merah putih,” katanya.

Tapi fiskal terbatas

Besarnya agenda membuat postur APBN 2026 juga membengkak. Belanja negara dirancang Rp 3.786,5 triliun, sementara pendapatan hanya Rp 3.147,7 triliun. Defisit pun mencapai Rp 386,8 triliun atau 2,48% PDB.

Mulyani menjelaskan, proyeksi pendapatan negara ditargetkan tumbuh 9,8% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Target ini didorong oleh peningkatan penerimaan pajak serta optimalisasi penerimaan dari kepabeanan dan cukai, meski Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sedikit mengalami penurunan.

Penerimaan dari pajak ditargetkan mencapai Rp 2.357,7 triliun, yang berarti harus tumbuh sebesar 13,5%. Sementara itu, penerimaan dari kepabeanan dan cukai diperkirakan mencapai Rp 334,3 triliun, atau naik 7,7%.

Di sisi lain, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) mengalami penurunan sebesar 4,7% menjadi Rp 455 triliun, terutama karena tidak lagi diperolehnya dividen BUMN.

Prabowo menegaskan, defisit ini masih dalam batas aman. Bahkan, ia bercita-cita bisa menutup defisit sepenuhnya sebelum 2028. Artinya, Prabowo menargetkan anggaran berimbang. “Saya ingin suatu saat berdiri di podium ini menyampaikan bahwa kita berhasil punya APBN yang tidak ada defisit sama sekali,” katanya.

Defisit APBN 2026 dipatok 2,45% PDB, lebih rendah ketimbang target defisit 2,7% pada 2025. Mulyani menyebut ini sebagai sinyal disiplin fiskal. Di sisi lain, pakar memperingatkan bahwa kesehatan fiskal tak bisa diukur dari defisit semata.

Deni Friawan, peneliti di Departemen Ekonomi CSIS, juga menyoroti arah belanja negara yang dinilai sarat agenda politik. “RAPBN 2026 penuh dengan program populis, seperti makan gratis, 3 juta rumah, hingga Koperasi Merah Putih. Pertanyaannya, dengan ruang fiskal yang terbatas, apa yang akan dikorbankan?” ujar Deni (18/8/2025).

Ia menambahkan, kebijakan seperti itu berpotensi menimbulkan crowding out effect, yakni konsumsi dan investasi swasta tertekan oleh dominasi belanja pemerintah. “Alih-alih memperkuat stabilitas ekonomi, kebijakan ini justru bisa mengancamnya,” katanya.

Sentralisasi anggaran juga menjadi perhatian. “Ada kecenderungan sentralisasi anggaran di pemerintah pusat, sementara peran pemerintah daerah menyusut akibat pemangkasan transfer ke daerah,” ujar Deni.

Data RAPBN 2026 menunjukkan, belanja pusat diproyeksikan naik 17,8%, sementara transfer ke daerah justru turun 24,8%. Menurut CSIS, tren ini akan memperlebar ketimpangan kapasitas fiskal antarwilayah dan berisiko menghambat pemerataan pembangunan.

Target penerimaan negara juga dinilai ambisius. Pemerintah menargetkan kenaikan 10%, terutama dari pajak sebesar 13%. Padahal, menurut kajian CSIS, rata-rata kenaikan pajak selama ini hanya sekitar 5%–6%.

“Hanya 17 juta dari 155 juta pekerja yang membayar pajak. Basis pajak kita masih sangat sempit, sehingga sulit memaksakan kenaikan penerimaan dalam waktu singkat,” kata Deni. Jika target tidak tercapai, kekurangan berpotensi ditutup melalui utang baru, yang justru memperberat tekanan fiskal.

Alokasi belanja negara pun menimbulkan pertanyaan. “Belanja modal justru terus menurun. Padahal, ini yang menentukan kapasitas produksi jangka panjang,” ujar Deni.

Sebaliknya, belanja pertahanan dan keamanan justru melonjak hingga 18% dari total RAPBN 2026, melampaui alokasi perlindungan sosial. “Belanja pertahanan dan keamanan menguasai 18% RAPBN 2026, lebih besar dibanding perlindungan sosial. Pertanyaannya apakah kita sedang perang?” kata Deni.

Masalah subsidi turut menjadi sorotan Deni. Subsidi energi naik 14% dan menyedot 66% dari total subsidi.

“Padahal, subsidi energi lebih banyak dinikmati kelompok mampu,” ujar Deni. CSIS menilai pemerintah sebaiknya mengubah pendekatan, dari mensubsidi barang menjadi langsung ke penerima. “Subsidi sebaiknya diberikan langsung ke orang, bukan ke barang, agar lebih tepat sasaran,” katanya.

Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Riza A Pujarama menyoroti tren sentralisasi anggaran yang makin tajam dalam RAPBN 2026. Belanja pemerintah pusat diproyeksikan naik 17,8%, sementara Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) turun 24,8%.

“Di 2026, TKDD turun hingga Rp214 triliun dibanding outlook APBN 2025, komposisinya menyusut dari 24,49% menjadi 17,17%, sementara belanja pemerintah pusat 82,83%. Ini konsekuensi UU Cipta Kerja yang mengurangi kewenangan daerah,” ujar Riza, ekonom Indef.

Pemangkasan dana bagi hasil, otonomi khusus, dan desa menekan kapasitas fiskal lebih dari 500 kabupaten/kota ini berisiko menghambat pemerataan pembangunan. Dampak terhadap kemandirian daerah juga menjadi perhatian serius.

Riza menekankan, “Mungkin terjadi bahwa daerah yang mandiri tidak lagi bergantung pada dana transfer, tapi perlu diulik lebih dalam untuk memahami dampak pengurangan TKDD pada kabupaten/kota lebih dari 500 di Indonesia.”

Dominasi belanja pusat pada belanja rutin, terutama belanja pegawai, belanja barang, dan belanja bunga utang, turut memperkuat dinamika ini. Belanja modal yang produktif justru menyusut, dari 8,74% di RAPBN 2026, sehingga investasi infrastruktur yang dapat mendorong pertumbuhan jangka panjang menjadi terbatas.

Target pertumbuhan ekonomi 2026

Tak hanya menganggarkan belanja jumbo, pemerintah juga menyampaikan sejumlah asumsi dasar makro 2026 yang tinggi. Target pertumbuhan ekonomi 2026 ditargetkan mencapai 5,4% ini lebih tinggi dari APBN 2025 yang sebesar 5,2%, padahal outlook tahun ini perekonomian tumbuh di kisaran 4,7%–5,0%

Yose Rizal Damuri, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menilai target pertumbuhan 5,4% itu melampaui proyeksi lembaga internasional. Bank Dunia dan IMF memprediksi ekonomi Indonesia 2026 hanya tumbuh sekitar 5%. “Ada kesenjangan antara ambisi dan realitas,” ujar Yose, dalam media briefing “RAPBN 2026: Menimbang Janji Politik di Tengah Keterbatasan Fiskal" yang digelar di Auditorium CSIS pada Senin pagi (18/8/2025).

Menurutnya, optimisme memang diperlukan untuk menggerakkan birokrasi dan pasar, tetapi pemerintah harus menyiapkan skenario cadangan jika pertumbuhan meleset. Misalnya, dampak perlambatan Tiongkok, pengetatan moneter AS, hingga perang dagang baru.

“Salah satu asumsi utama RAPBN 2026 adalah pertumbuhan ekonomi 5,4 persen. Padahal, kalau kita lihat proyeksi jangka menengah yang disampaikan Bappenas sejak 2019, angkanya jauh lebih rendah dari itu,” ujar Yose Rizal, Direktur Eksekutif CSIS.

Yose menilai pertumbuhan sebesar itu sulit tercapai ketika mesin utama ekspor Indonesia, yakni komoditas seperti CPO, batu bara, nikel, dan gas, sedang melemah dari sisi harga maupun permintaan. Komoditas ini menyumbang sekitar 40% ekspor nasional.

“Kalau harga komoditas turun, pertumbuhan ekonomi kita juga cenderung turun. Jadi, asumsi pertumbuhan 5,4 persen itu akan sulit diwujudkan,” katanya.

Merespon target pertumbuhan ekonomi 2026 yang sebesar 5,4%, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, pihaknya akan menyambutnya dengan optimistis disertai dengan kehati-hatian.

Ia menekankan, pencapaian target tersebut sangat bergantung pada beberapa faktor kunci, baik dari sisi makroekonomi maupun perbaikan iklim usaha.

"Kami memandang target pertumbuhan ekonomi 2026 di angka 5,4% perlu dilihat dengan optimisme namun tetap hati-hati, terutama dengan masih adanya ketidakpastian global," ungkap Shinta kepada SUAR (16/8/2025).

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi tahun depan akan bergantung pada kecepatan realisasi investasi, efektivitas belanja prioritas pemerintah, ketahanan daya beli masyarakat, dan penguatan sektor ekspor.

Ia memberikan beberapa catatan yang menjadi tantangan bagi pelaku usaha seperti biaya berbisnis (cost of doing business) di Indonesia  masih tinggi, terutama di sektor energi, logistik, pembiayaan, hingga suku bunga pinjaman. Selain itu, biaya kepatuhan terhadap regulasi dan perizinan juga masih menjadi sorotan Apindo.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa Indonesia perlu menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan kompetitif agar bisa menarik modal asing.

"Kami juga menyoroti perlunya peningkatan produktivitas yang menjadi salah satu faktor dalam mempercepat realisasi investasi," tambahnya.

"Kami juga menyoroti perlunya peningkatan produktivitas yang menjadi salah satu faktor dalam mempercepat realisasi investasi," ujar Shinta.

Shinta Kamdani menyebut APBN sebagai "DNA pertumbuhan nasional" yang menentukan arah ekonomi, prioritas pembangunan, dan distribusi sumber daya. Namun, ia menekankan bahwa APBN yang solid tidak akan efektif tanpa adanya kolaborasi strategis antara pemerintah dan swasta.

Dalam konteks penerimaan negara, Apindo mendukung reformasi perpajakan melalui sistem Coretax berbasis data dan risiko. Namun, Shinta menekankan pentingnya kepastian hukum, transparansi, dan konsistensi. Ia juga mendorong pemerintah untuk menggali potensi penerimaan baru, seperti dari shadow economy atau ekonomi informal yang diperkirakan mencakup sekitar 23,8% dari PDB.

“Di tengah berbagai tantangan yang ada, untuk mencapai target pertumbuhan tersebut, Apindo menyambut sinergi pemerintah dan dunia usaha melalui Indonesia Incorporated, di mana dunia usaha  senantiasa terus memberikan masukan berbasis data lapangan yang menjadi perhatian pemerintah,” ungkap Shinta.

Di sisi lain, Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Teuku Riefky,  berpendapat bahwa asumsi-asumsi lain yang menjadi landasan penyusunan RAPBN 2026, seperti inflasi atau nilai tukar, berada dalam rentang yang wajar.

Namun, ia memiliki proyeksi yang berbeda untuk pertumbuhan ekonomi dan memperkirakan bahwa angka tersebut tidak akan mencapai 5,4% di tahun 2026.

“Saya rasa yang lain [asumsi ekonomi makro] cukup realistis, kecuali pertumbuhan ekonomi. Menurut saya tahun depan pertumbuhan ekonomi tidak mencapai 5,4 persen,” jelasnya kepada SUAR (15/8/2025).

Ia menekankan penguatan postur anggaran negara seharusnya tidak dengan menaikkan tarif pajak. Ia mengusulkan strategi yang lebih inovatif dan struktural untuk meningkatkan penerimaan negara, yaitu melalui pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan penciptaan lapangan kerja. 

Riefky melihat potensi besar dalam penggunaan NIK sebagai alat untuk melacak pendapatan masyarakat secara lebih akurat. Dengan sistem ini, pemerintah dapat mengidentifikasi potensi pajak yang selama ini belum terdata, terutama dari sektor informal. "Menggunakan NIK untuk melacak penerimaan pendapatan masyarakat dan mengurangi biaya informalitas juga cukup signifikan mempengaruhi penerimaan negara," ujarnya.

Lebih lanjut, Riefky menekankan bahwa peningkatan penerimaan negara tidak bisa berdiri sendiri. Ia berpendapat bahwa kebijakan fiskal harus didukung oleh kebijakan struktural yang lebih luas terutama untuk menciptakan lapangan kerja.

"Perlu ada kebijakan struktural yang mendorong penciptaan lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat," tegasnya. 

"Perlu ada kebijakan struktural yang mendorong penciptaan lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat," tegas Riefky.

Menurutnya, penciptaan lapangan kerja akan secara otomatis meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga terjadi aktivitas ekonomi, yang pada akhirnya akan meningkatkan basis pajak dan penerimaan negara secara keseluruhan.