Pemerintah Indonesia pada Kamis (16/10/2025) berencana menggratiskan lisensi ketertelusuran (traceability) untuk ekspor sejumlah komoditas ke Uni Eropa di tengah kekhawatiran sejumlah industri dan pelaku usaha di sektor perkebunan jelang diberlakukannya peraturan bebas deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation /EUDR).
Aturan ini sempat mengalami penundaan dua kali sebelum akhirnya dijadwalkan berlaku akhir Desember 2026 untuk perusahaan besa dan akhir Juni 2026 untuk usaha mikro dan kecil.
Sejumlah komoditas yang akan menikmati skema baru ini antara lain kopi, kakao, kedelai, karet, kelapa sawit dan kayu.
Lisensi traceability digunakan pelaku ekspor sebagai bukti industri memenuhi asas berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sebelumnya biaya pengurusan dokumen lisensi ketelusuran ini ditanggung oleh perusahaan yang mengimpor atau memproses produk sesuai aturan EUDR.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Tommy Andana menyatakan, pemberlakuan efektif EUDR untuk ekspor skala menengah dan besar menjadi tantangan besar yang tidak dapat dihadapi oleh pemerintah sendiri.
"Kesiapan pemerintah menghadapi EUDR memerlukan kolaborasi dan sinergi antarsemua stakeholder, supaya pemberlakuan aturan tersebut untuk produk yang dipersyaratkan, yakni kopi, kakao, karet, kedelai, sawit, dan kayu tidak mengurangi daya kompetitif produk Indonesia," ujar Tommy dalam sambutannya di sebuah seminar di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City.
Turut hadir dalam seminar tersebut para pelaku ekspor komoditas unggulan seperti kopi, kakao, sawit, dan karet, serta perwakilan PT. Surveyor Indonesia.
EUDR awalnya bakal mulai diimplementasikan pada 30 Desember 2025 setelah sempat mengalami penundaan selama setahun pada akhir 2024.
Namun sejak penundaan pertama, penolakan dan protes dari pelaku industri masih saja terjadi. Mereka beralasan EUDR akan menimbulkan biaya besar dan merugikan ekspor ke Eropa.
EUDR adalah kerangka kebijakan untuk mengatasi dan memitigasi dampak lingkungan dari deforestasi. Aturan ini bertujuan untuk mengurangi penggundulan hutan dengan memberlakukan persyaratan EUDR bagi perusahaan yang menempatkan, menyediakan, atau mengekspor komoditas dan produk tertentu di pasar UE.
Regulasi tersebut memiliki dampak yang signifikan pada negara-negara pengekspor komoditas seperti Indonesia, terutama industri kelapa sawit yang merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Tommy Andana menyatakan, pemberlakuan efektif EUDR untuk ekspor skala menengah dan besar pada 30 Desember 2025 dan ekspor skala mikro pada 30 Juni 2026 menjadi tantangan besar yang tidak dapat dihadapi oleh pemerintah sendiri.
Menurut Tommy, tantangan utama eksportir Indonesia dalam menghadapi EUDR adalah membangun sistem ketertelusuran (traceability) yang transparan sesuai persyaratan.
Sistem ini menuntut setiap eksportir dapat menjelaskan asal-usul komoditas mereka, mulai dari lokasi penanaman, dampak kultivasi tanaman ekspor terhadap lingkungan hidup, hingga jejak karbon yang dihasilkan aktivitas industri pengolahan produk ekspor.
Tommy menjelaskan, ketertelusuran sebuah komoditas ekspor berkaitan erat dengan reputasi produk yang dikirimkan. Dengan lampiran ketertelusuran yang jelas, pemerintah Indonesia dapat memberikan garansi bahwa keunggulan mutu komoditas ekspor Indonesia dihasilkan dari proses yang menjaga keberlanjutan ekosistem dan kelestarian lingkungan hidup.
"Apabila kita bisa memenuhi persyaratan EUDR itu, kita bisa membuka akses pasar lebih luas. Tidak hanya Eropa saja yang akan menerima komoditas ekspor kita, tetapi juga negara-negara lain yang menerapkan regulasi lingkungan serupa juga akan lebih percaya pada keberlanjutan produk ekspor kita," jelasnya.
Sistem terintegrasi
Sebagai suatu regulasi, EUDR dapat dikategorikan sebagai suatu hambatan masuk nontarif. Tidak hanya Uni Eropa, negara-negara lain mulai dari Amerika Serikat, Inggris, hingga Tiongkok pun mulai menegakkan regulasi serupa yang bertujuan memastikan nilai keberlanjutan suatu produk impor yang masuk ke pasar mereka.
"Pemain swasta besar lebih lincah dalam beradaptasi menghadapi hambatan-hambatan ini. Pertanyaannya, bagaimana komoditas unggulan ekspor Indonesia yang diproduksi tani rakyat dan kelompok tani seperti kopi, kakao, atau karet? Ini menjadi satu poin yang membuat kita perlu berjaga-jaga," ujar Vice President Sustainability Surveyor Indonesia Martinus Nata.
Menurutnya, dengan potensi ekspor yang luar biasa, validasi perdagangan berkelanjutan dengan basis platform ketertelusuran dapat mendorong iklim perdagangan yang transparan. Nata menilai, dengan infrastruktur yang sudah ada, Indonesia perlu mempersiapkan risk assessment untuk melihat risiko celah di setiap daerah.
"Eropa tidak memahami definisi hutan yang kita gunakan. Dalam citra satelit, setiap kumpulan hijau mereka lihat sebagai hutan. Indonesia memiliki pendekatan tata ruang yang membedakan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kita gunakan term budidaya itu supaya lolos kriteria traceability itu, juga karena regulasinya sudah ada," jelasnya.
Sebagai bentuk dukungan untuk para pelaku ekspor komoditas unggulan ke Eropa, Surveyor Indonesia telah mempersiapkan Sistem Informasi Laporan Uji Tuntas yang dapat menjadi alat bagi petani, koperasi tani, maupun eksportir untuk mendaftarkan lahan dan menerbitkan laporan uji tuntas yang dapat diberikan assurance sesuai standar ISO 17065.
Hasil dari Laporan Uji Tuntas tersebut adalah due diligence statement (DDS) yang dapat diverifikasi langsung oleh Kementerian Perdagangan dan Bappenas untuk memperoleh Indikator Yurisdiksi Berkelanjutan (IYB) yang menjadi lampu hijau pengiriman ekspor ke Eropa. Dalam rangka mempersiapkan eksportir Indonesia menghadapi EUDR, Surveyor Indonesia membuat sistem ini tanpa biaya alias gratis.
"Kami berharap, dengan dukungan sistem informasi ini, conformity checking tidak perlu dilakukan eksportir sesudah barang sampai di Eropa. Kita bisa bernegosiasi agar proses clearance dilakukan di Indonesia dan menemukan win-win solution. Meski demikian, langkah selanjutnya tetap menjadi kewenangan pemerintah," pungkas Nata.
Lihat sebagai peluang
Alih-alih menjadikan EUDR sebagai sebuah hambatan, eksportir dapat sebagai peluang untuk ekspansi pasar dan menghindari kesalahan identifikasi produk di lapangan. Platform traceability dapat menjadi sarana untuk memastikan integritas produk dalam negeri sekaligus memperoleh kepercayaan global.
Direktur PT. Noozcav Coffee Indonesia Daroe Handojo mengungkap, selama ini, kopi Indonesia terkenal karena dua hal di Eropa: kualitas dan kuantitas. Namun, performa ekspor kopi Indonesia seringkali berada di bawah ekspektasi buyer karena kopi berkualitas bagus tidak dapat memenuhi kuota pesanan, sementara kopi dengan kuantitas besar tidak memiliki quality grade yang diharapkan.
Baca juga:

Menurutnya, sampai 2024, perdagangan kopi masih sangat ditentukan kualitas yang dinilai oleh trader. Namun, semakin ke sini, kualitas justru semakin ditentukan oleh para konsumen yang mempunyai kriteria tersendiri dalam menilai kopi mereka. Kopi yang tidak memenuhi standar para pembeli akan "dihukum" mekanisme pasar secara organik.
"Mereka ingin tahu dan bertanya-tanya, 'Kopi saya sehat, tidak, ya? Merusak alam, tidak, ya? Memenuhi standar lingkungan, tidak, ya?' Yang harus membuktikan ini, siapa lagi, kalau bukan eksportir? Kalau tidak comply, hukuman mereka yang memberikan, bukan trader," tukas Daroe.
Ketersediaan fasilitas sistem informasi uji tuntas sebagai platform ketertelusuran, menurut Daroe, menjadi kabar baik bagi para eksportir, khususnya untuk menghindari diskrepansi, atau ketidakcocokan produk dengan origin yang diterakan dalam dokumen. Daroe mengaku menemukan ekspor biji kopi yang tertulis dari Mandailing ternyata merupakan kopi Lintong, sementara biji yang tertulis Lintong, ternyata malah berasal dari Vietnam.
"Traceability membantu kita melacak asal biji kopi ini, sekaligus mendorong petani semakin melek literasi digital. Tentu, ini harus disertai quality and quantity assurance melalui standardisasi pascapanen, melibatkan semua pihak, serta bekerja sama dengan petani kopi yang bereputasi dan berintegritas," ucapnya.
Apabila kopi Indonesia telah memenuhi kriteria traceability dan mendapatkan lisensi berkelanjutan, modal sertifikat itu dapat diubah memberikan bobot narasi autentisitas asal-usul kopi yang efektif sebagai instrumen pemasaran. Kemasan iklan yang baik, menurutnya, juga dapat melawan berita-berita gagal panen yang lebih cepat beredar.
"Kita sudah membiarkan data-data origin kopi berantakan sebegitu lama, padahal traceability adalah keniscayaan. Dengan platform ini, sudah saatnya kita berdayakan 98% petani yang menjadi ujung tombak produksi kopi Indonesia yang siap mendunia," tandasnya.