Pembenahan Program MBG: Perlu Mapping dan KPI (3)

Pemetaan (mapping) serta pengawasan dan evaluasi menggunakan indikator-indikator kinerja kunci atau key performance indicators (KPI) penting dilakukan untuk memperbaiki pelaksanaan program MBG.

Pembenahan Program MBG: Perlu Mapping dan KPI (3)
Siswa menyantap makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SD Negeri 50 Kota Ternate, Maluku Utara, Selasa(30/9/2025). Foto: Antara/Andri Saputra/tom).

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi sorotan karena dua masalah utama, yaitu kualitas dan distribusi. Untuk membenahinya harus dimulai dari pemetaan (mapping) serta pengawasan dan evaluasi menggunakan indikator-indikator kinerja kunci atau key performance indicators (KPI).

Survei Semesta Dunia Usaha pada bulan September 2025 memotret pelaksanaan MBG dari kacamata para pengambil keputusan di perusahaan dan pengamat ekonomi. Total sebanyak 35 orang yang menjadi narasumber. Secara umum, para narasumber menekankan perlunya program MBG dikelola secara profesional.  

Secara konsep, program MBG dipandang ambisius: menyedot anggaran besar dan dampaknya juga besar. Tetapi, eksekusinya belum sesuai ekspektasi.

Hingga akhir September, program MBG sudah menjangkau 32 juta penerima manfaat dan memberdayakan lebih dari 9.000 unit mitra pemerintah yang bertugas sebagai Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau SPPG. Dua hal terkait pelaksanaan MBG yang perlu menjadi perhatian serius adalah soal kualitas dan distribusinya.

Dari segi kualitas, program ini menghadapi persoalan jatuhnya korban anak didik akibat keracunan makanan. Jumlahnya hampir 6.000 orang, sehingga digolongkan sebagai kejadian luar biasa. Di sisi lain, distribusi makanan terkendala karena jangkauannya luas, persebarannya belum merata.

Oleh sebab itu harus jelas target prioritas penerima manfaat. Target bisa menjangkau seluruh Indonesia lebih bagus, tapi pada awalnya harus fokus pada yang membutuhkan.

Mapping awal

Masalah kualitas dan distribusi dalam program MBG bisa diurai dengan melakukan pemetaan atau mapping terlebih dahulu.

Pertama, pemetaan terkait penerima manfaat MBG. Target MBG tidak perlu ditujukan kepada semua anak Indonesia, tetapi fokus pada yang betul-betul membutuhkan.

Di praktik banyak negara, program pemberian makan gratis seperti ini diperuntukkan bagi anak yang membutuhkan. Bagi anak yang tidak menjadi target karena tidak membutuhkan dapat mengikuti program dengan membayar.

Hal ini terkait pembiayaan atau dana, karena juga ada program-program lain yang merupakan prioritas juga membutuhkan dana besar.

Meski program MBG berskala nasional, hanya daerah-daerah yang sangat membutuhkan atau daerah yang sangat miskin yang seharusnya menjadi prioritas. Hal ini untuk meneguhkan negara benar-benar hadir bagi yang membutuhkan.

Meski program MBG berskala nasional, hanya daerah-daerah yang sangat membutuhkan atau daerah yang sangat miskin yang seharusnya menjadi prioritas.

Kedua, terkait dengan pihak-pihak yang menjalankan program MBG. Pemerintah perlu memetakan sumber daya manusia yang terlibat dalam semua proses pelayanan program dari hulu ke hilir. Dunia usaha bisa diintegrasikan ke dalam mata rantai pasok supaya bahan-bahan yang dibutuhkan untuk MBG tersedia dengan cukup.

Pemerintah perlu mengandeng swasta dalam koordinasi dan tata kelolanya yang bekerja berdasarkan standar operasional prosedur (SOP). Dengan mapping, pelaksanaan MBG tidak top-down dari pusat.  Ongkos produksi pun bisa ditekan bila dalam pengadaan barang atau kebutuhan langsung dari tangan pertama – petani atau nelayan.

Sejumlah petugas SPPG menyiapkan Makan Bergizi Gratis (MBG) di SPPG Tunggala Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (29/9/2025). Badan Gizi Nasional (BGN) Regional Sulawesi Tenggara mencatat per 18 September 2025, sebanyak 106 dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) telah beroperasi di 16 kabupaten dan kota se-Sulawesi Tenggara dengan setiap SPPG melayani sebanyak 3.000 hingga 3.500 penerima manfaat. ANTARA FOTO/Andry Denisah/rwa.

Kolaborasi dan koordinasi

Pelaksanaan MBG butuh kolaborasi dengan banyak pihak. Sebab, program ini sebetulnya berhubungan dengan koperasi, pertanian, perdagangan, bisa juga dari perindustrian untuk olahan makanan dan minuman. Seperti perusahaan yang memiliki SOP, program MBG ini SOP-nya belum jelas dalam melibatkan banyak pihak tersebut.

Banyak UMKM di daerah, yang sudah terbiasa dengan SOP yang baik, bisa dilibatkan. UMKM bisa menjadi pemasok dapur-dapur MBG, tapi itu belum terlihat ada koordinasi yang baik. Inisiatif-inisiatif akan muncul karena infrastruktur yang sudah ada di daerah.

Di daerah-daerah, infrastruktur untuk mendukung program MBG sudah banyak, seperti BUMDes, Koperasi Unit Desa, Koperasi Usaha Bersama, dan sebagainya. Apakah mereka akan dikonsolidasikan atau berkompetisi, itu yang belum jelas. Infrastruktur untuk MBG ini harus dimanfaatkan sebagai fondasi yang kuat untuk menopang kelancaran pelaksanaan MBG.

Dengan mengikuti kekuatan daerah, pada akhirnya program MBG akan menggerakkan perekonomian lokal, termasuk pangan lokal. Dengan memanfaatkan kekuatan aset di masing-masing daerah, pelaksanaan MBG bisa lebih efisien dan efektif. Prinsipnya adalah menggunakan dan memberdayakan aset-aset yang sudah ada ketimbang memulai dari nol yang sangat baru.

Program ini harus bisa memberi nilai tambah ketika memproduksi barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan MBG. Dan, itu harus bebas dari kendala administrasi dan birokrasi. Di sini pentingnya koordinasi antarpihak yang berkepentingan.

Di daerah-daerah, infrastruktur untuk mendukung program MBG sudah banyak, seperti BUMDes, Koperasi Unit Desa, Koperasi Usaha Bersama, dan sebagainya.

Monitoring pelaksanaan

Setelah mapping penerima manfaat dilakukan berdasarkan prioritas dan koordinasi lapangan dijalankan, agar pelaksanaan program MBG bisa berkelanjutan bergantung pada kegiatan monitoring dan evaluasi (monev). Monev didasarkan pada sejumlah indikator-indikator kinerja kunci atau key performance indicators (KPI), seperti halnya yang dijalankan di perusahaan.

Indikator ini dirumuskan bersama mengacu pada banyak aspek yang ingin dicapai. Tidak hanya didasarkan pada indikator kualitas. Jika ini dilakukan secara transparan, masyarakat Indonesia bisa lebih percaya dan akan bergotong-royong untuk menyukseskan proyek yang bagus ini.

Dari pemikiran para narasumber dari dunia usaha ini, dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi masalah kualitas harus dengan mapping dan monev. Sedangkan untuk mengatasi masalah distribusi bisa dilakukan melalui koordinasi atau kolaborasi antarpihak hingga ke daerah. Inilah yang akan menjadi menjadi kunci keberhasilan program-program yang dilakukan pemerintah.

Penulis: Gianie

Author