Rencana pemerintah membatasi akses permainan gim online, PUBG mobile menuai reaksi keras dari para pelaku bisnis industri gim nasional, yang menganggap rencana tersebut bersifat reaktif dan berpotensi menghambat perkembangan industri gim nasional.
Ketua Harian Asosiasi Esports Indonesia (IESPA) Martha Wigoeno mengungkapkan rencana pembatasan PUBG cukup disayangkan mengingat industri ini sudah mencetak banyak prestasi dan membuka ribuan lapangan pekerjaan baru.
"Cukup disayangkan jika segala bentuk kekerasan anak selalu di sangkut pautkan dengan dampak negatif dari Game. Menurut saya ini adalah tanggapan 'mudah' untuk mencari kambing hitam atas kejadian ini. Di banyak kasus seperti ini, selalu targetnya adalah 'game nya yang salah' atau 'anaknya yang terpengaruh'," ujar dia kepada SUAR di Jakarta, Rabu (12/11).
Rencana pembatasan akses permainan gim online PUBG, game multiplayer pertempuran online, berawal dari pertimbangan Presiden Prabowo Subianto menyusul insiden ledakan yang melukai 96 pelajar di SMA Negeri 72, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan, pertimbangan tersebut merupakan salah satu usulan jalan keluar terhadap pengaruh negatif dan eksposur kekerasan terhadap anak dan remaja yang ditengarai berasal dari gim online.
"Karena, tidak menutup kemungkinan gim online ini, ada beberapa yang di situ, ada hal-hal yang kurang baik, yang mungkin itu bisa memengaruhi generasi kita ke depan," ucap Prasetyo, seperti ditayangkan Sekertariat Presiden pada Minggu (9/11/2025).
Sejatinya, IESPA pun mendukung langkah pemerintah selama masih dalam koridor yang tepat. Namun Martha menegaskan game itu tidak selamanya membawa dampak negatif. Ia mencontohkan beberapa atlit esports asal Indonesia sudah menyumbang 3 emas di ajang SEA games, dan banyak juara dunia di cabang game lainnya.
"Saat ini , Indonesia merupakan ujung tombak, dan leader dalam race prestasi esports dan video game di South East Asia," ujar dia.
Menurut dia, daripada membatasi, lebih baik pemerintah mengarahkan industri gim ke arah yang lebih positif seperti di Korea Selatan.
"Sehingga nantinya di Indonesia, kita tidak hanya menjadi konsumen video game dan industrinya , namun bisa menjadi produsen dan powerhouse di industri multi billion dollar ini," kata dia.
Telah melalui penyuntingan
Martha menjelaskan, sama seperti industri film, media dan juga entertainment lainnya, game yang direlease juga telah melewati proses penyaringan sehingga muncul berbagai rating di setiap game seperti anak2, remaja, sampai dewasa.
“Di beberapa negara seperti China, India, vietnam, beberapa fungsi dari game di batasi, seperti grafik darah yang diganti menjadi warna hijau atau efek lainnya, kata mati atau “death” menjadi “knock out” dan lain2. Ini adalah bentuk pembatasan game yang lazim dan di apply di banyak negara berkembang," kata dia.
Menurut dia, sebab kekerasan pada anak tak bisa dikaitkan hanya karena single faktor saja melainkan juga faktor lainnya seperti lingkungan keluarga dan tempat bermain.
"Lingkungan anak tumbuh dan bermain pun juga sama pentingnya dalam mempengaruhi pola pikir anak. Seorang anak bisa saja berperilaku anarkis, walau tidak bermain game, jika ia tumbuh di lingkungan yang menormalisasi kekerasan," ujar dia.
Menyeluruh, berbasis bukti
Sekalipun memiliki dasar yang cukup, pembatasan akses permainan gim online cenderung berangkat dari asumsi parsial. Padahal, kebijakan publik berbasis bukti (evidence-based policy) tidak hanya membutuhkan kajian secara holistik, melainkan juga pendekatan yang konstruktif sehingga tidak merugikan industri gim nasional sebagai salah satu pilar ekonomi kreatif di sektor digital.
Ketua Asosiasi Game dan Konten Digital Indonesia (AGKDI) Hendri Andrigo menjelaskan, secara global maupun di Indonesia, belum ada bukti ilmiah dan empiris yang menunjukkan korelasi langsung antara gim online dan tindak kekerasan anak. Pada dasarnya, gim adalah medium hiburan, ruang ekspresi, serta bentuk kreativitas dan kompetisi positif, bukan sumber eksposur kekerasan.
"Kebijakan pembatasan gim online hendaknya tidak dilakukan secara reaktif. Dalam banyak kasus, permasalahan justru bukan pada gim, melainkan pada minimnya waktu interaksi dan bimbingan moral dari orang tua. Unsur kekerasan juga bisa berasal dari film, musik, kartun, hingga media sosial yang jauh lebih sulit dimoderasi," kata Hendri saat dihubungi SUAR, Rabu (12/11/2025).
Hendri menilai, sebelum ada bukti ilmiah dan empiris yang kuat, menyalahkan gim secara umum adalah jalan pintas yang tidak solutif. Kebijakan pembatasan yang dipukul rata, tegasnya, berpotensi menimbulkan dampak luas terhadap ekosistem digital dan industri kreatif nasional, terutama para pengembang gim nasional.
Lebih-lebih lagi, menurut Hendri, berbagai penelitian psikologi perilaku tidak menunjukkan korelasi korelasi signifikan bermain gim dan perilaku kekerasan. Dengan demikian, paparan konten gim yang mengandung unsur kekerasan tidak secara otomatis menyebabkan perilaku agresif di dunia nyata. Efek gim cenderung situasional, bergantung pada konteks sosial, kondisi emosional, dan pola asuh di lingkungan keluarga.
Tidak hanya itu, pembatasan juga bisa menghambat pembibitan atlet esports muda, mengurangi minat investasi, dan mengganggu konsentrasi berbagai pihak yang sedang membangun esports sebagai salah satu cabang olahraga masa depan yang menjanjikan bagi Indonesia.

Karena itu, Hendri mendorong agar pemerintah mempertimbangkan tiga langkah pendekatan yang lebih holistik dan konstruktif:
- Pertama, meningkatkan literasi digital anak, orang tua, dan tenaga pendidik, disertai peningkatan waktu interaksi antara orang tua dan anak.
- Kedua, menerapkan sistem rating gim secara tegas dan terintegrasi sistem Entertainment Software Rating Board (ESRB) yang ada di Google Play Store, serta mencakup gim nasional dan internasional.
- Ketiga, mendorong pengembangan gim edukatif lokal, agar anak tetap mendapatkan hiburan positif dan membangun karakter.
"AGKDI siap berkolaborasi dengan pemerintah untuk menciptakan ekosistem digital yang aman, sehat, dan produktif, tanpa harus mematikan potensi ekonomi kreatif dan potensi olahraga e-Sports Indonesia di masa depan," pungkas Hendri.
Berbagi pandangan dengan Hendri, CEO Agate Games International Shieny Aprilia menilai pemerintah perlu melihat peristiwa ledakan di SMA Negeri 72 secara holistik. Shieny menegaskan, kejadian memprihatinkan tersebut tidak hanya karena gim online saja. Namun, dia menyatakan setuju jika pembatasan gim online bertujuan mengurangi dampak negatif seperti adiksi atau mengurangi kemungkinan gim diakses pengguna yang belum cukup umur.
"Jika demikian, pembatasan wajib dilakukan dengan melibatkan pelaku industri terkait agar kebijakan yang diberlakukan seimbang antara sisi meminimalisasi dampak buruk terhadap user yang di bawah umur, dengan dampak bisnis terhadap publisher gim tersebut," ujar Shieny saat dihubungi, Rabu (12/11/2025).
Pengawasan tepat
Perlunya pembinaan literasi digital terhadap orang tua memungkinkan praktik pengawasan terhadap permainan gim online oleh anak-anak dan remaja menjadi lebih optimal. Pasalnya, kekayaan variasi gim online sesungguhnya bisa memberikan pembelajaran bagi anak-anak, tidak hanya menjadi medium eksposur kekerasan.
Praktisi ekonomi kreatif dan Mantan Deputi Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Hari Santosa Sungkari menilai, sasaran pembatasan terhadap gim online sesungguhnya bukan usulan yang pertama kali tercetus, terutama menyikapi dampak buruk gim terhadap kognitif dan psikologi remaja. Namun, fakta menunjukkan media sosial memiliki andil lebih besar dalam eksposur anak-anak terhadap konten kekerasan.
"Itu sebabnya beberapa negara bagian dan negara cenderung mengatur penggunaan media sosial untuk anak di bawah umur. Negara bagian Florida, Amerika Serikat, mengatur restriksi penggunaan media sosial untuk anak di bawah 12 tahun, sementara Australia membatasi untuk usia 16 tahun ke bawah," cetus Hari kepada SUAR.
Dalam arus perkembangan teknologi saat ini, Hari menganjurkan agar masalah paparan konten kekerasan dilihat dalam kerangka yang lebih besar, yaitu keamanan siber. Sebab, bukan hanya gim online, penggunaan kecerdasan artifisial yang tidak tepat pun dapat membahayakan dan berdampak lebih luas terhadap psikomotorik anak yang masih dalam masa pertumbuhan.
"Tantangannya adalah orang tua yang harus mampu mengatur apa yang dikonsumsi anak. Pembatasan bukan solusi, karena gim tidak hanya soal pukul-pukulan saja, tetapi juga banyak gim permainan strategi dan dan asah otak yang bermanfaat bagi anak. Ini jangan sampai dilarang, tetapi konsumsinya harus diatur dalam batas wajar," pungkas Hari.