Dalam Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2026, pemerintah menganggarkan dana Rp 37,5 triliun untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
Anggaran pengembangan EBT ini bagian dari total anggaran sebesar Rp 402,4 triliun untuk memperkuat ketahanan energi, yang menjadi salah satu program prioritas tahun depan. "Ini ada [anggaran] untuk EBT yang cukup signifikan, Rp 37,5 triliun," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam jumpa pers Postur Anggaran 2026 di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (15/8/2025).
Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), angka tersebut masih tergolong kecil – hanya sepersepuluh dari kebutuhan riil untuk mendorong transisi energi di Indonesia.
"Berdasarkan perhitungan IESR, kebutuhan anggaran per tahun untuk transisi energi mencapai US$ 30 miliar hingga 2030. Jadi anggaran ini (RAPBN EBT 2026) mungkin kurang dari sepersepuluh kebutuhan anggaran untuk transisi energi," ujarnya kepada SUAR (19/9/2025).
Fabby menambahkan, anggaran pemerintah yang terbatas memang tidak dimaksudkan untuk mendanai seluruh proyek, melainkan sebagai katalis yang bisa mobilisasi pendanaan dari sektor lain sehingga dapat mencapai US$ 30 miliar. Ia menambahkan, strategi ini penting agar kebutuhan investasi besar untuk transisi energi dapat terpenuhi.
Menurutnya, anggaran pemerintah dapat digunakan untuk membangun akses- akses listrik ke pedesaan, seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) komunal di desa-desa. Kajian IESR menunjukkan Indonesia memiliki potensi energi surya antara 3,3 TWp hingga 20 TWp, tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Fabby menjelaskan, potensi ini dapat dimanfaatkan untuk menyediakan listrik andal bagi 5.500 desa yang belum memiliki akses listrik memadai, mengoptimalkan potensi 655 GW PLTS atap di bangunan rumah seluruh Indonesia, dan memanfaatkan 300 GW potensi PLTS terapung di perairan nasional.
Mengenai program PLTS di desa-desa, Fabby melihat adanya peluang besar bagi swasta untuk berkolaborasi dengan pemerintah, meskipun rencana detailnya masih dalam tahap persiapan. Ia menyarankan pemerintah untuk membuka tender proyek secara kompetitif.
"Pemerintah bisa menyediakan pasar, tapi biarkan perusahaan bersaing untuk memberikan harga terbaik," jelasnya.
Peran swasta tidak hanya sebatas penyedia komponen, tetapi juga dalam melatih tenaga kerja terampil. Fabby memperkirakan, satu proyek PLTS membutuhkan 50-60 pekerja selama 6 bulan–9 bulan untuk konstruksi hingga operasi. Selain itu, ia menambahkan bahwa swasta juga bisa menyediakan material dan komponen yang memenuhi standar, misalnya modul surya "tier 1" dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) 40%.

Sementara itu, proyek-proyek transisi energi yang lebih besar dan bankable, yang tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN, dapat melibatkan sektor swasta. Fabby menyebut kebutuhan pendanaan untuk proyek-proyek dalam RUPTL PLN hingga 2034 bisa mencapai US$ 80 miliar, dan 60% dari pendanaan tersebut untuk pembangkit tenaga listrik, sehingga komponen swasta bisa masuk lebih besar
"Investasi yang besar dan bankable adalah yang bisa menarik swasta. Mereka akan masuk jika proyeknya memberikan tingkat pengembalian yang memadai," tegas Fabby.
Menurut Fabby, dalam 10 tahun ke depan untuk eksekusi RUPTL, swasta berperan 80%-nya untuk pendanaan di pembangkitan listrik energi terbarukan, maka kebutuhan pendanaan swasta itu sampai US% 70 miliar–US$ 80 miliar.
Menurutnya, ada tiga sektor energi terbarukan yang paling berpotensi tumbuh pesat dalam 1 tahun–3 tahun ke depan:
- Energi surya (PLTS): Indonesia memiliki potensi surya yang sangat besar, mencapai 3.300 gigawatt–3.400 gigawatt. Teknologi ini mudah dipasang, skalabel, dan tersedia di seluruh wilayah Indonesia.
- Bioenergi dari biomassa: Potensi biomassa dari limbah pertanian (terutama kelapa sawit) dan sampah kota sangat besar dan bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik.
- Proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) skala kecil dapat dikembangkan secara cepat di berbagai lokasi.
Selain itu, ia menambahkan, energi angin (bayu) juga memiliki potensi untuk dikembangkan dalam waktu 3 tahun di beberapa lokasi.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Zulfan Zahar, menegaskan pentingnya peran sektor swasta. Ia menyoroti komitmen METI untuk mendorong percepatan tender proyek energi terbarukan, khususnya yang dikelola oleh PLN.
"Potensi investasi EBT dapat mencapai US$ 200 miliar atau setara Rp 3.000 triliun. Jika tender EBT dibuka lebih luas dan prosesnya dipercepat, peluang ekonomi bagi Indonesia akan tumbuh signifikan," kata Zulfan dikutip dari keterangan resmi (16/8/2025)
Zulfan menambahkan, METI akan berfokus pada kolaborasi dan mengatasi hambatan birokrasi, agar proses investasi menjadi lebih efisien dan menarik bagi investor.