Payment ID, "KTP Keuangan" Indonesia yang Siap Meluncur di Hari Kemerdekaan

Secara sederhana, Payment ID dapat disebut sebagai “KTP keuangan”. Ia akan menjadi kode identitas tunggal yang berlaku lintas bank, dompet digital, hingga platform pembayaran lainnya. Dengan sistem ini, nasabah tidak perlu lagi mengulang proses verifikasi setiap kali membuka rekening baru.

Payment ID, "KTP Keuangan" Indonesia yang Siap Meluncur di Hari Kemerdekaan
Warga melakukan transaksi QRIS di salah satu kedai kopi di Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (21/7/2025). ANTARA FOTO/Andry Denisah/YU.

Pada 17 Agustus 2025, di tengah gegap gempita perayaan Hari Kemerdekaan ke-80, Bank Indonesia (BI) akan menandai babak baru dalam sistem pembayaran nasional. Di hari itu, publik akan mengenal Payment ID, sebuah identitas tunggal untuk semua transaksi keuangan digital di Tanah Air.

Bukan peluncuran seremonial belaka, BI sengaja memilih momen kemerdekaan sebagai tanda lahirnya infrastruktur data pembayaran yang diharapkan bisa mempercepat digitalisasi ekonomi. Tahap awal, sistem ini akan diuji coba untuk menyalurkan bantuan sosial (bansos), sebelum nanti digunakan lebih luas.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Dicky Kartikoyono, menyebut bahwa langkah ini adalah bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030. “Payment ID adalah kode unik terintegrasi dengan NIK, dirancang untuk mendeteksi riwayat keuangan pemilik akun secara mendetail,” ujarnya dikutip dari Antara.

Tujuan besarnya, membangun sistem data sebagai barang publik (public goods) demi memperkuat integritas transaksi dan mendukung kebijakan nasional.

Apa itu Payment ID?

Secara sederhana, Payment ID dapat disebut sebagai “KTP keuangan”. Ia akan menjadi kode identitas tunggal yang berlaku lintas bank, dompet digital, hingga platform pembayaran lainnya. Dengan sistem ini, nasabah tidak perlu lagi mengulang proses verifikasi setiap kali membuka rekening baru.

Ketua Umum Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia Santoso Liem memberi contoh sederhana cara kerjanya. “Kalau saya punya rekening di satu bank, lalu ingin buka di bank lain, cukup memberikan consent, dan data saya bisa langsung dibagikan antar lembaga keuangan. Semua terhubung melalui satu Payment ID,” ujarnya saat dihubungi SUAR melalui sambungan telepon (8/8/2025).

Menurutnya, konsep ini serupa Social Security Number (SSN) di Amerika Serikat, namun dengan cakupan yang lebih kompleks karena akan menggabungkan data dari berbagai identitas resmi, seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Payment ID akan berlaku lintas ekosistem, dari perbankan hingga fintech, dan memuat informasi komprehensif tentang profil keuangan pemiliknya.

Menurut Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia yang diluncurkan BI pada awal Agustus 2024 lalu, Payment ID memiliki tiga fungsi utama:

  1. Kunci identifikasi untuk membentuk data profil pelaku sistem pembayaran.
  2. Kunci autentikasi dalam memproses transaksi.
  3. Kunci unik agregasi antara data profil individu dan data transaksi granular.

Manfaat dan solusi yang ditawarkan

Bagi industri dan masyarakat, Payment ID membuka peluang efisiensi yang signifikan. Proses pembukaan rekening baru menjadi jauh lebih cepat. Lembaga keuangan cukup mengakses data yang sudah diverifikasi melalui Payment ID, asalkan nasabah memberi persetujuan.

Keuntungan lain adalah perlindungan dari penipuan. “Kalau uang kita ditransfer ke Payment ID yang terindikasi blacklist, mungkin akan ada penundaan transaksi. Ini bisa meminimalkan cyber scam,” kata Santoso.

Santoso melihat konsep Payment ID ini bukan sekadar kemudahan transaksi. “Bansos yang tepat sasaran karena sesuai kriteria, itu positif,” ujarnya. Ia menekankan bahwa perlindungan konsumen dan aturan perlindungan data pribadi harus menjadi pijakan utama.

Menurutnya, data antara perusahaan, personal, dan UMKM jelas bisa dibedakan. “UMKM punya batasan tertentu, misalnya dari omzet. Kenapa pajaknya dihitung dari omzet? Karena dari situlah pemasukan penjualannya, misalnya 0,5%. Dari Dirjen Pajak itu nanti disesuaikan,” jelasnya.

Bagi regulator, Payment ID memperkuat fungsi pengawasan. Nailul Huda, ekonom Celios, menyebut sistem ini mirip Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), namun dengan kemampuan membaca arus dana secara real time. “Calon kreditur yang terlibat judi online atau kegiatan ilegal akan terbaca. Potensi pengawasan terhadap pencucian uang dan pengemplangan pajak juga meningkat,” ujarnya kepada SUAR pada Jumat (08/08).

Dari sisi inklusi keuangan, Payment ID memungkinkan masyarakat di pelosok membuka akses ke layanan perbankan tanpa hambatan verifikasi berulang. BI menargetkan ini menjadi bagian dari strategi inklusivitas dalam BSPI 2030.

Tantangan dan risiko

Kendati demikian, kemunculan rencana Payment ID ramai menjadi sorotan. Di platform X, tak sedikit warganet yang menyoroti isu ini, mulai dari kekhawatiran soal privasi keuangan hingga potensi kaitannya dengan pajak.

"17 Agustus 2025. BI akan meluncurkan Payment ID. Hal ini sangat parah... Gak ada privasi data keuangan.. Mereka (Pemerintah) bisa melihat asset kita dmn," cuit akun @ba******yu dilihat Minggu (10/8/2025).

Meski menjanjikan, Payment ID juga memunculkan kekhawatiran. Privasi data menjadi isu utama. Meski Indonesia sudah memiliki UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), implementasi dan pengawasan tetap krusial. “Harus ada peraturan turunan yang memungkinkan masyarakat melaporkan jika data disalahgunakan,” kata Nailul.

Infrastruktur juga menjadi tantangan. Pengembangan mesin pengolah data yang mampu mengonversi berbagai identitas menjadi satu Payment ID memerlukan waktu, biaya, dan koordinasi lintas lembaga.

Dari sisi regulasi, koordinasi antara BI, Kementerian Komunikasi dan Digital, serta Direktorat Jenderal Pajak menjadi kunci. Sistem perpajakan seperti Coretax perlu diperbarui agar integrasi data berjalan mulus.

Senada dengan Huda, Santoso mengakui bahwa perlindungan konsumen dengan aturan perlindungan data pribadi harus jadi pijakan utama. Kendati industri perbankan sudah siap beradaptasi, tapi keberhasilan Payment ID tetap bergantung pada keamanan dan kepercayaan publik. “Kalau masyarakat ragu, adopsi bisa terhambat,” ujarnya.

Industri, tambahnya, akan terus berkomunikasi dengan Bank Indonesia untuk memastikan Payment ID ini aman digunakan masyarakat. Sebab, sistem ini akan terhubung dengan berbagai metode pembayaran digital, mulai dari mobile banking sampai internet banking.

Saat ini, BI sudah menjalankan pilot project dan menguji kebijakan publiknya. Menurut keterangan Santoso, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) sendiri terlibat langsung untuk memberi masukan, terutama soal menjaga keamanan dan kepercayaan konsumen.

Roadmap dan masa depan

Menurut BI, pengembangan Payment ID akan dilakukan bertahap. Tahun ini, fokus pada pilot project untuk bansos. Tahun 2026, BI mulai mengimplementasikan integrity usecase, diikuti inclusivity use case pada 2027. Targetnya, pada 2029, sistem sudah terintegrasi penuh di seluruh ekosistem pembayaran nasional.

Blueprint BSPI 2030 menempatkan Payment ID sebagai infrastruktur publik yang bisa digunakan berbagai pihak, dari industri keuangan hingga pembuat kebijakan. BI bahkan membayangkan model “data as a service” yang memungkinkan pihak ketiga mengakses data (dengan izin pemilik) untuk layanan seperti credit scoring.

Bagi pemerintah, Payment ID menjadi fondasi untuk membangun sistem keuangan yang transparan, efisien, dan inklusif. Bagi industri, ini membuka peluang inovasi layanan keuangan yang lebih personal dan aman.

Baca selengkapnya