Pasang Surut Mesin Ekonomi Rakyat (2)

Koperasi sudah lama berkembang di Indonesia. Menjadi soko guru perekonomian masyarakat, namun terancam ketinggalan zaman

Pasang Surut Mesin Ekonomi Rakyat (2)
Outlet milik Koperasi Sejati Mulia di Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. (Suar.id/Harits Arrazie)
Daftar Isi

Koperasi sudah lama berkembang di Indonesia. Menjadi soko guru perekonomian masyarakat, namun terancam ketinggalan zaman. Di Singapura, koperasi menjadi pemenang.

Achmad Saubari Prasodjo baru saja pulang dari masjid usai menunaikan salat zuhur pada Kamis, 24 juli 2025 lalu saat ditemui SUAR. Memasuki kantornya, sebuah bangunan berlantai 3 di kawasan Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan ia langsung duduk di meja kerjanya.

Sudah hampir setengah abad Achmad Saubari berkantor di sini, sebuah koperasi yang menjual berbagai macam dagangan. Mulai dari makanan ringan, minuman kaleng dan botol, hingga obat-obatan, hingga daging beku.

Achmad Saubari Prasodjo (Suar.id/Harits Arrazie)

Sambil menyeruput kopi yang ada di tumbler, pria  85 tahun itu kembali mengingat awal mula Koperasi Sejati Mulia itu pertama kali didirikan, pada tahun 1978 lalu. Ketika itu, beberapa warga yang tinggal di Kelurahan Jati Padang sepakat membentuk lembaga usaha kecil-kecilan.

“Semuanya berawal dari kesadaran untuk saling bantu,” ujar Achmad. Pendiri koperasi berasal dari latar belakang yang beragam, mulai dari pegawai negeri, swasta, sampai pengusaha kecil. Gotong royong menjadi landasan utama.

Kantor pertama Koperasi Sejati Mulia berada di sebuah gubuk kayu yang dulunya bekas pos proyek pembangunan kompleks. Bangunan itu dulu digunakan kontraktor untuk menyusun bahan bangunan sebelum kompleks dibangun. Bahkan, bangunan itu juga sempat dimanfaatkan pihak kelurahan. Dari tempat kecil dan sederhana itulah, Koperasi Sejati Mulya mulai tumbuh. 

Kantor pertama Koperasi Sejati Mulia berada di sebuah gubuk kayu yang dulunya bekas pos proyek pembangunan kompleks.

Awalnya, lini bisnis koperasi hanya jasa simpan pinjam antaranggota dan pedagang di sekitar lokasi koperasi. Biasanya, para pedagang sayur datang ke koperasi mengajukan pinjaman di pagi hari. Pedagang-pedagang itu akan melunasinya sesuai dengan janji yang disepakati dengan pihak koperasi. “Jika dagangan mereka laku keras, sore bisa langsung lunas,” kata Achmad.

Meski perputaran uangnya tidak jumbo, model ini sangat efektif mendorong perkembangan koperasi. Dekade 1990-an menjadi titik penting bagi Koperasi Sejati Mulya.

Salah satu sudut toko milik Koperasi Sejati Mulia (Suar.id/Harits Arrazie)

Karena keuntungan semakin baik, koperasi membeli gedung milik Kementerian Pertanian lewat pinjaman bank. Rumah itu cukup besar dan langsung dijadikan kantor koperasi sampai saat ini. “Nah, gedung bank BCA dan BRI di sebelah kantor ini punya koperasi. Mereka sewa ke kita,” ujar Achmad.

Pernah berjaya pada masanya

Saat ini, Koperasi Sejati Mulia memiliki 3 lini bisnis. Pertama, simpan-pinjam, masih sama seperti awal koperasi berdiri.

Kedua, sewa gedung, ruangan, dan lahan. Ruangan di lantai 2 koperasi disewakan bagi siapapun yang ingin menyewanya. Lahan di parkiran koperasi juga disewakan kepada pedagang kaki-lima. Ketiga, pertokoan.

Toko yang dimiliki koperasi menjual barang dari dua sumber. Produk kue dan keripik buatan anggota dijajarkan di rak yang sama dengan barang dari supplier. Campuran ini memberi warna tersendiri bagi usaha pertokoan koperasi.

Achmad tidak membantah, dari segi harga dan variasi produk, koperasi tidak bisa menyaingi ritel besar, seperti Alfamart, Indomaret, dan Family Mart yang berada tidak jauh dari koperasi. Meski begitu, bukan berarti koperasi akan kalah saing. Achmad menekankan pentingnya kesadaran anggota untuk berbelanja di toko koperasi. “Harus belanja di sini, kan ini punya kita bersama. Untungnya juga nanti bakal kembali ke kita,” ujarnya.

"Harus belanja di sini, kan ini punya kita bersama. Untungnya juga nanti bakal kembali ke kita,"

Jumlah anggota kini sekitar 2.400 orang, tersebar di Jati Padang, Pasar Minggu, dan sebagian pensiunan yang sudah pindah. Iuran masuk dinaikkan dari sepuluh ribu menjadi tiga puluh ribu, seiring pertumbuhan usaha dan fasilitas koperasi.

Struktur organisasi pengurus koperasi terdiri dari ketua, bendahara, dan manajer unit usaha. Sedangkan unit usaha simpan pinjam, pertokoan, dan penyewaan dikelola pengurus. Keputusan harian dibahas mingguan, sementara kebijakan besar ditentukan dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT). Dalam RAT juga, besaran sisa hasil usaha (SHU) diputuskan untuk dibagikan kepada seluruh anggota koperasi. 

Tergerus oleh zaman

Pada 2017, Koperasi Sejati Mulia mencapai kejayaannya. Waktu itu laba bersih dalam setahun mencapai Rp1,7 miliar. Karena keuntungan yang besar, ditambah dengan pinjaman dari bank, koperasi berani membeli gedung yang berada di seberang jalan, yang saat ini disewakan kepada sebuah toko barang elektronik. Nantinya, hasil sewa dari gedung itu akan diputar lagi untuk unit usaha yang lain.

Sayangnya, hal itu tidak kesampaian. Pandemi membuyarkan semua rencana yang sudah disusun pengurus koperasi. “Pendapatan anjlok. Sampai saat ini, utang kita ke bank masih belum lunas,” kata Achmad.

Pandemi membuyarkan semua rencana yang sudah disusun pengurus koperasi.

Meski begitu, Achmad mengklaim tidak ada satupun karyawan koperasi yang kena pecat. Meski gaji sempat dikurangi, Achmad memastikan seluruh karyawan koperasi tetap mendapatkan haknya.

Sampai saat ini Achmad mengatakan perekonomian koperasi masih belum pulih. Selain utang yang belum lunas, sejak 2022, koperasi belum pernah lagi membagikan SHU kepada anggota. Padahal itu momen yang paling ditunggu-tunggu oleh anggota. “Koperasi masih rugi sampai hari ini, belum lagi cicilan dan operasional kita,” kata Achmad.

Maka, salah satu langkah yang paling masuk akal untuk menyelamatkan koperasi adalah menjual gedung yang disewakan. Achmad meminta seluruh pengurus dan anggota untuk menawarkan gedung itu. Harganya dipatok di angka 11 miliar. 

Meskipun berjalan terseok-seok, Achmad masih percaya koperasi yang dipimpinnya ini akan tetap bertahan. “Rejeki bisa datang dari mana saja,” ujarnya. Yang paling penting, koperasi harus diurus dengan jujur dan tertib.

Meskipun berjalan terseok-seok, Achmad masih percaya koperasi yang dipimpinnya ini akan tetap bertahan

Achmad tegas menolak praktik pinjam-meminjam tanpa prosedur, apalagi bila ada pengurus yang melakukannya dengan dasar memiliki jabatan di koperasi.

Di usianya yang sudah tidak lagi muda, Achmad berharap kepengurusan koperasi mengalami regenerasi. Dia sudah jadi ketua koperasi lebih dari satu periode. Sudah saatnya pengurus koperasi yang sudah berusia 47 tahun ini diisi oleh generasi yang lebih mudah. “Sayang sekali tapi belum banyak dari generasi muda yang berani ambil tanggung jawab ini,” katanya. 

Koperasi simpan pinjam andalan anggota

Mirip dengan kisah Koperasi Sejati Mulia di Jati Padang, Koperasi Bina Sejahtera juga berdiri sejak 1978 dan masih terus beroperasi hingga hari ini. 

Bermula dari arisan kecil yang rutin digelar oleh para perantau asal Gunungkidul, Yogyakarta. Mereka adalah pegawai negeri, karyawan pasar, dan pekerja mandiri yang saling bantu menyisihkan uang. Dari pertemuan-pertemuan arisan itulah muncul gagasan untuk membentuk koperasi.

Setelah dua tahun berdiri, pada 1980, koperasi ini resmi berbadan hukum. Para pendirinya berjumlah 18 orang dan hampir semuanya adalah warga Gunungkidul yang sudah lama bermukim di Cipinang Melayu. Saat pertama berdiri, koperasi ini belum punya tempat sendiri. Para pengurus menumpang dari satu tempat ke tempat lain, mulai dari sekolah hingga ruang pertemuan warga. 

Tanah dan gedung itu awalnya tercatat sebagai hibah. Namun setelah diperiksa, ternyata semua pembelian dilakukan dengan kuitansi resmi. Pengurus lalu memutuskan untuk mengurus akta sertifikat atas nama koperasi. Mereka tak ingin meninggalkan persoalan bagi anak cucu nanti.

Minimarket milik Koperasi Bina Sejahtera (Suar.id/Harits Arrazie)

Dulu, koperasi ini pernah jaya. Anggotanya sempat mencapai 647 orang, tersebar di berbagai perumahan sekitar Cipinang Melayu. “Nomor anggota enggak pernah kita hapus, meskipun orangnya sudah meninggal,” kata Sulistiono, yang mengurusi bagian kredit di koperasi. Mereka berasal dari berbagai latar belakang dan aktif mengikuti kegiatan koperasi. Kini, jumlah anggota aktif hanya tinggal 57 orang saja.

Kegiatan utama koperasi sejak awal adalah simpan pinjam. Uang yang dihimpun dari anggota dipinjamkan kembali untuk berbagai keperluan, dari kebutuhan sehari-hari hingga modal usaha kecil. Selain itu, koperasi dulu juga sempat mengelola jasa telepon umum dan kredit harian untuk pedagang.

Tahun 1990-an, mereka bekerjasama dengan asosiasi produksi tahu-tempe, dan membuka toko sembako. “Waktu itu belum ada Indomaret, kita paling ramai,” ujar Sri Sulastri, Ketua Koperasi Bina Sejahtera.

Toko itu sempat jadi andalan warga sekitar sebelum minimarket mulai menjamur. Gula, tepung, minyak, semua diambil dari asosiasi tahu-tempe itu dijual dengan harga terjangkau.

Toko itu sempat jadi andalan warga sekitar sebelum minimarket mulai menjamur.

Tapi kejayaan itu perlahan memudar. Supermarket dan toko ritel mulai berdiri satu per satu di sekitar kompleks. Toko koperasi pelan-pelan kehilangan pelanggan dan pendapatan menurun drastis. “Kami pernah coba kelola sendiri, tapi rugi,” ujar Sutrisno yang mengurusi pembukuan koperasi.

Akhirnya, Sulistiono mengatakan pengelolaan toko kembali ke pola lama: 60% dikelola pihak luar, 40% milik koperasi.

Koperasi tetap bertahan lewat sistem simpan pinjam yang ketat. Jumlah pinjaman maksimal dibatasi hanya tiga kali dari total simpanan pokok, wajib, dan sukarela. Aturannya dibuat agar uang koperasi tetap aman dan bisa diputar. “Kalau simpanannya lima ratus ribu, ya, pinjam maksimal satu setengah juta,” kata Sri Sulastri.

Sayangnya, tidak semua pinjaman bisa kembali. Beberapa anggota mengalami gagal bayar karena kehilangan pekerjaan, pindah kontrakan, bahkan ada yang kecanduan judi online. “Bahkan pernah ada yang enggak bisa bayar terus ngomong ‘ya udah bunuh aja saya', mau gimana lagi? Jadinya makin enggak tega buat nagih,” kata Sulistiono sembari tertawa.

Untuk menghindari masalah seperti itu, koperasi sekarang hanya menerima anggota yang tinggal tetap di wilayah Cipinang Melayu. Warga yang mengontrak tidak diperbolehkan menjadi anggota. Pengurus tidak mau ambil risiko kalau anggota kabur dan tidak bisa ditemukan.

Meski banyak kisah gagal, koperasi ini juga punya cerita sukses. Beberapa pemborong rumah pernah meminjam hingga ratusan juta dan melunasi pinjamannya tepat waktu. “Kita lihat siapa yang rajin nyetor dan lancar. Itu modalnya,” ujar Sri Sulastri. Kepercayaan jadi hal utama yang mereka pegang.

Tahun 2020 jadi tahun paling berat dalam sejarah koperasi. Banjir besar merendam toko dan menghancurkan sebagian besar barang dagangan. “Yang terakhir itu rugi Rp70 juta,” kenang Sri Sulastri. Kulkas sampai mengapung. Ruangan kantor berantakan.

Dampak banjir belum pulih sepenuhnya, pandemi datang. Kegiatan koperasi berhenti, toko makin sepi, dan rapat tahunan terpaksa ditunda. SHU tahun 2024 hanya Rp26 juta dan langsung masuk ke buku simpanan masing-masing anggota. “Dibagi, tapi enggak tunai. Masuk ke buku aja soalnya jumlahnya kecil sekali,” ujar Sutrisno.

Terganjal regenerasi

Kini, koperasi dikelola oleh tujuh orang pengurus. Tidak ada satu pun dari mereka yang bekerja penuh waktu. Mereka hanya mendapatkan honor bulanan yang jumlahnya tidak besar. Bagian kredit dan pembukuan mendapat Rp500.000 per bulan. Sementara pengurus lainnya, termasuk ketua, hanya menerima Rp300.000 per bulan.

Pengurus Koperasi Bina Sejahtera (Suar.id/Harits Arrazie)

Honor itu jauh di bawah upah minimum. Namun tidak ada yang protes. Mereka merasa ini adalah bentuk tanggung jawab, bukan pekerjaan. “Kami ini cuma relawan, jalan kaki dari rumah ke kantor, kadang malah keluar uang sendiri,” ujar A, menit 15:32.

Mayoritas pengurus sudah lanjut usia. Usia pengurus berada di atas 65 tahun. Namun mereka tetap datang ke kantor koperasi sesuai jadwal, dan melayani anggota yang masih aktif. 

Sri Sulastri menceritakan regenerasi adalah masalah internal yang tidak kunjung selesai. Setiap kali ditawarkan, anak-anak muda enggan menjadi pengurus. Mereka tak tertarik dengan gaji kecil dan kerja sukarela. “Kalau ditawari Rp300.000, siapa yang mau?” katanya

Padahal koperasi ini dibangun dari semangat kekeluargaan. Dulu, siapa pun yang butuh uang untuk membangun rumah, menikah, atau menyekolahkan anak, akan datang ke koperasi. “Dulu orang sini hampir semua keperluannya pasti dicari di koperasi,” ujar Sulistiono. Belum lagi saat ini orang-orang lebih familiar dan banyak menggunakan pinjaman online ketimbang datang ke koperasi. 

Dulu, siapa pun yang butuh uang untuk membangun rumah, menikah, atau menyekolahkan anak, akan datang ke koperasi.

Pengurus mengaku kecewa dengan sikap pemerintah. Mereka merasa tidak pernah mendapat dukungan, baik dalam bentuk pelatihan, insentif, maupun penguatan modal. Bahkan untuk datang ke rapat tahunan pun pihak kelurahan jarang hadir. “Lurah itu seharusnya pelindung koperasi. Tapi datang aja nggak pernah,” ujar Sulistiono.

Koperasi ini pernah berharap ada campur tangan negara, terutama setelah mengalami kerugian akibat banjir dan pandemi. Tapi bantuan tak kunjung datang. “Paling-paling cuma dikasih baju waktu peringatan ulang tahun koperasi,” kata Sulistiono sambil tertawa. Bahkan ketika mereka menghadiri pelatihan atau pertemuan, hasilnya tidak berkelanjutan.

Di tengah rasa kekecewaan itu, muncul program baru bernama Koperasi Merah Putih. Pemerintah menggagas koperasi satu kelurahan satu, lengkap dengan modal pinjaman lewat bank.

Pengurus Bina Sejahtera menanggapi, program itu hanya bagus di atas kertas. Tanpa pengawasan yang baik, koperasi bisa jadi alat manipulasi dan ladang korupsi. Apalagi jika dijalankan oleh orang-orang yang tidak tulus. “Kalau pengurusnya enggak tulus, ya enggak bakal jalan,” kata Sri Sulastri.

Para pengurus mengingatkan bahwa membangun koperasi tidak sama dengan mendirikan toko. Butuh waktu, komitmen, dan kepercayaan yang dibangun selama bertahun-tahun. “Di kelurahan kita pernah ada koperasi bikinan pemerintah. Tapi malah bangkrut,” ujar Sulistiono.

Alat perlawanan kaum buruh  

Meski banyak koperasi harus berjuang di masa sekarang ini, koperasi di negeri tetangga masih eksis dan malah menjadi pemain besar di wilayahnya. Seperti National Trade Union Congress (NTUC) yang mengelola koperasi konsumen yang kini menjadi jaringan supermarket raksasa, berawal dari misi sederhana: memberikan harga terjangkau bagi buruh.

Kini, mereka mendominasi pasar ritel dan menyisihkan sebagian keuntungan untuk pendidikan dan kesejahteraan anggota.

Salah satu gerai milik koperasi FairPrice (Suar.id/fairprice.com.sg)

NTUC masuk ke dalam daftar 300 koperasi terbesar di dunia. NTUC memiliki sub-koperasi, yaitu NTUC Fair Price dan NTUC Income. Keduanya masing-masing bergerak di sektor ritel dan asuransi. Saat ini, sudah lebih dari 500.000 anggota koperasi yang juga sebagai pemilik dari usahanya.

NTUC Fair Price sudah memiliki lebih dari 291 jaringan toko yang tersebar di berbagai wilayah di Singapura. Mulai dari convenience store yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, hingga supermarket dan hypermarket 

Meskipun Fair Price melabeli outlet nya dengan beragam nama, namun semuanya tetap berada di bawah naungan NTUC Fair Price. Mekanisme yang diterapkan pada NTUC adalah koperasi bersama. Dimana semua anggota berhak untuk menentukan kebijakan dari perusahaan dengan hak suara yang sama.

Setiap anggota diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya atas perusahaan pada Rapat Anggota Tahunan (RAT). Selain membahas terkait kebijakan, pada RAT tersebut juga akan dibahas mengenai Sisa Hasil Usaha (SHU) dan pembagiannya.

Menariknya adalah, pada pembagian SHU, besar kecilnya SHU yang diterima akan didasarkan pada jumlah transaksi anggota di convenience store Fair Price. Dengan kata lain, anggota yang berbelanja lebih banyak, maka akan mendapatkan SHU yang lebih besar.

Anggota yang berbelanja lebih banyak, maka akan mendapatkan SHU yang lebih besar.

Sejarah koperasi ini bermula pada tahun 1973, ketika serikat pekerja nasional Singapura, NTUC, menggagas pendirian sebuah koperasi ritel untuk merespons keresahan masyarakat terhadap inflasi yang melonjak tinggi. Kala itu, harga kebutuhan pokok naik dengan tajam dan rakyat kecil merasakan tekanan langsung pada dapur mereka.

Maka lahirlah NTUC Welcome, cikal bakal FairPrice, dengan misi sederhana tapi ambisius: memastikan bahwa siapa pun, dari lapisan masyarakat mana pun, bisa mengakses barang pokok dengan harga yang wajar.

Dari satu toko koperasi, FairPrice perlahan tumbuh menjadi raksasa ritel. Namun pertumbuhan itu tidak pernah melupakan akar sosialnya. Kini, FairPrice mengelola lebih dari 570 gerai di seluruh Singapura, mulai dari supermarket biasa, gerai premium, hypermarket, hingga minimarket yang buka 24 jam.

Mereka juga mengembangkan lini bisnis makanan melalui NTUC Foodfare dan Kopitiam, menegaskan komitmennya untuk menghadirkan solusi menyeluruh bagi kebutuhan harian warga.

Keuntungan kembali ke masyarakat

Yang membuat FairPrice tetap relevan dan dicintai publik bukan hanya soal jaringan toko yang luas atau kepraktisan layanan, melainkan prinsip koperasi yang mereka pegang teguh. Keuntungan yang diperoleh tidak lantas dibagikan kepada segelintir pemegang saham seperti lazimnya di perusahaan swasta, melainkan dikembalikan kepada masyarakat.

Dana hasil usaha FairPrice digunakan untuk mendukung berbagai program sosial, termasuk kontribusi ke Singapore Labour Foundation dan Central Co-operative Fund. Dari sini, FairPrice menunjukkan bahwa perusahaan bisa tetap kompetitif tanpa harus mengorbankan nurani sosialnya.

Ketika pandemi Covid-19 melanda, FairPrice tidak hanya menjaga harga tetap stabil, tapi juga mengubah cara mereka melayani. Mereka meluncurkan layanan FairPrice on Wheels, yakni truk-truk keliling yang membawa bahan pokok langsung ke kawasan pemukiman yang sulit diakses atau dihuni oleh kelompok rentan, seperti lansia. Dalam situasi krisis, kehadiran mereka bukan hanya dirasakan sebagai toko, tapi sebagai tetangga yang peduli.

Misi sosial FairPrice juga tercermin dari program diskon khusus bagi lansia dan subsidi harga untuk barang-barang penting. Sementara ritel lain berlomba memberikan potongan harga untuk menaikkan volume penjualan, FairPrice memanfaatkan diskon sebagai bentuk intervensi ekonomi untuk kelompok yang paling membutuhkan.

Misi sosial FairPrice juga tercermin dari program diskon khusus bagi lansia dan subsidi harga untuk barang-barang penting.

Namun bukan berarti jalan yang mereka tempuh selalu mulus. FairPrice juga pernah dikritik karena harga produk tertentu yang dianggap lebih tinggi dibanding dengan kompetitor. Di media sosial, sejumlah konsumen mempertanyakan komitmen koperasi ini terhadap harga terjangkau.

Pihak manajemen pun menanggapi dengan terbuka, menjelaskan bahwa mereka mengutamakan kualitas, stabilitas pasokan, serta kemitraan jangka panjang dengan produsen lokal. Mereka memilih tidak bermain dalam perang harga yang bisa menekan petani atau pemasok kecil.

Selain itu, tantangan dari e-commerce global dan diskon besar-besaran dari pemain baru menjadi tekanan nyata. Namun alih-alih melawan arus, FairPrice memilih untuk bertransformasi. Mereka memperkuat layanan daring, mengembangkan sistem belanja online yang ramah pengguna, dan mengintegrasikan program loyalitas LinkPoints untuk memberikan nilai tambah bagi konsumen.

Dalam urusan lingkungan dan keberlanjutan, FairPrice juga menunjukkan kepeduliannya. Mereka aktif menjalankan program pengurangan plastik sekali pakai, edukasi konsumen tentang gaya hidup sehat, serta pengelolaan limbah makanan yang terukur. Tidak semua hal ini langsung terlihat saat seseorang berjalan di lorong toko mereka, tapi dampaknya terasa secara sistemik.

Bersiap go global

FairPrice juga menyadari bahwa ketahanan tidak bisa hanya dibangun di dalam negeri. Karena itu, mereka mulai menjajaki kolaborasi lintas negara. Salah satu contohnya adalah kerja sama mereka di Vietnam, yang melahirkan Co.opXtra Plus, sebuah model hypermarket yang menggabungkan pendekatan modern dengan semangat koperasi. Ekspansi ini tidak hanya memperluas jaringan mereka, tapi juga menyebarkan gagasan bahwa koperasi bisa sukses di panggung internasional.

Dalam dunia yang semakin kompetitif dan kapitalistik, FairPrice menjadi pengingat bahwa ritel tidak harus dingin dan serba efisien. Ia bisa punya wajah yang ramah, punya hati yang peduli, dan punya tujuan yang lebih besar dari sekadar margin keuntungan.

FairPrice membuktikan bahwa koperasi bukanlah model lama yang usang, melainkan sistem ekonomi yang masih sangat relevan—terutama ketika masyarakat butuh keadilan, solidaritas, dan akses yang setara.

Kisah FairPrice bukan hanya soal barang yang dijual di rak. Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah bangsa menjaga harga dan harga diri rakyatnya. Dalam setiap troli belanja yang didorong di gerai FairPrice, ada narasi panjang tentang perjuangan sosial, keberanian berinovasi, dan komitmen pada kesejahteraan bersama.  

Mukhlison, Rohman Wiboro dan Harits Arrazie