Over Empati Bisa Melukai

Siapa pun yang sering terlibat dalam membantu atau mendengarkan masalah orang lain secara intens, bisa terkena jugatermasuk pekerja kantoran bisa dihinggapi compassion fatigue.

Cinta yang berlebihan bisa membunuhmu. Terlalu banyak cinta, bisa jadi racun yang menghancurkan diri sendiri. Begitulah hidup, perlu terukur, tidak berlebihan. Seorang perawat yang punya pekerjaan mulia, menjaga seseorang, ia juga bisa terkena penyakit jika terlalu posesif kepada pasiennya, menjadi sangat sensitif dan terlalu protektif.

Terlalu perhatian, lama-lama perasaan itu menjadi beban, bertumpuk hingga menjadi penyakit, yang dinamakan compassion fatigue. Ini adalah kondisi di mana seseorang menderita kelelahan emosional dan mental yang muncul akibat empati yang terus-menerus terhadap penderitaan atau masalah orang lain.

Istilah ini awalnya banyak dikaitkan dengan profesi seperti tenaga kesehatan, pekerja sosial, atau relawan bencana. Namun, kini diketahui bahwa siapa pun yang sering terlibat dalam membantu atau mendengarkan masalah orang lain secara intens, bisa terkena juga. Tak cuma pekerja di lapangan, pekerja kantoran pun bisa dihinggapi compassion fatigue.

Dalam laporan American Psychology Association, pendiri Institut Traumatologi di Universitas Tulane, Charles R. Figley PhD, mengatakan, compassion fatigue adalah bahaya pekerjaan dari profesional bidang apa pun yang menggunakan emosi dan hati mereka dalam hubungannya dengan kolega atau objek pekerjaan.

Seorang karyawan kantor bisa mengalami compassion fatigue, terutama jika pekerjaannya melibatkan empati tinggi atau interaksi intens dengan orang lain yang mengalami kesulitan. Karyawan kantor yang punya risiko kena penyakit ini adalah yang biasa berperan sebagai pendengar atau penengah konflik di tim; bekerja di bidang layanan pelanggan, HR, atau support yang menuntut empati tinggi; menghadapi tekanan emosional dari rekan kerja atau atasan; dan yang selalu merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan tim atau klien.

Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menyebabkan kelelahan, sinisme, dan penurunan motivasi kerja.

Compassion fatigue diibaratkan seperti awan gelap yang menggantung di atas kepala Anda, pergi ke mana pun Anda pergi dan menyerang pikiran Anda,” kata Charles R. Figley.  

Secara filosofis, compassion fatigue bukan sekadar kelelahan emosionalia adalah krisis eksistensial bagi jiwa yang terbiasa memberi. Dalam dunia yang menuntut empati sebagai mata uang moral, compassion fatigue muncul sebagai paradoks: kelelahan karena terlalu peduli.

Dalam ajaran filsuf Jerman, Immanuel Kant, tindakan moral seperti ini sebenarnya merupakan kewajiban rasional. Menolong orang lain adalah imperatif kategoris. Namun, Kant juga menekankan pentingnya otonomi dan martabat diri. Compassion fatigue menguji batas antara duty to others dan duty to self. Ketika empati menjadi destruktif, apakah kita masih menjalankan kewajiban moral, atau justru melanggarnya?

Simone Weil, filsuf mistik Prancis, menulis tentang attentiveness—kehadiran penuh terhadap penderitaan orang lain tanpa kehilangan diri. Sebaliknya dalam compassion fatigue, seseorang justru terserap oleh penderitaan itu. Ia tidak lagi hadir, melainkan larut. “Kasih sejati tidak menuntut penghapusan diri, tetapi pengosongan ego agar bisa melihat yang lain dengan jernih,” kata Weil.

Di sisi lain, compassion fatigue bukan hanya kelelahan individu, tapi gejala dari komunitas yang tidak saling menjaga. Jika satu orang terus memberi tanpa dukungan, maka komunitas gagal menjalankan prinsip kebersamaan. Karenanya, empati harus bersifat timbal balik, bukan satu arah.

Dari berbagai penelitian, gejala ini bisa direduksi dengan menunjukkan komitmen kepedulian terhadap diri sendiri. Dan tentu saja ini bukan sekadar teknik psikologis, melainkan bentuk kebajikan untuk menjaga keseimbangan antara excess dan deficiency. Terlalu banyak empati tanpa refleksi adalah excess; terlalu sedikit adalah deficiency. Kebajikan terletak di tengah.

Compassion fatigue mengajarkan bahwa menjadi manusia yang peduli bukan berarti mengorbankan diri tanpa batas. Justru, merawat diri adalah syarat agar kita bisa terus hadir bagi orang lain. Dalam dunia yang penuh luka, kita butuh empati yang berakar pada kesadaran, bukan pengorbanan yang membutakan.