Pertumbuhan sektor manufaktur tahun 2026 diproyeksikan masih stabil meskipun masih dibayangi perlambatan ekonomi global dan isu pengupahan. Dunia usaha masih terus melakukan ekspansi karena permintaan domestik yang terus meningkat, dan diperlukan kebijakan yang tidak rumit untuk menarik investasi masuk ke Indonesia.
Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana memperkirakan industri pengolahan masih akan tumbuh stabil di 2026. Ini melanjutkan tren pertumbuhan di triwulan tiga dan dua 2025.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada triwulan ketiga 2025, industri pengolahan bertumbuh 5,54% secara tahunan (Year on Year/YoY). Angka ini lebih rendah ketimbang pertumbuhan industri pengolahan di triwulan kedua 2025 yang sebesar 5,68%. Pada triwulan dua 2025 dan triwulan tiga 2025, pertumbuhan industri lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, menurut Danang, industri manufaktur masih akan tetap jadi kontributor terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2026. Dengan besarnya kontribusi terhadap PDB, sektor manufaktur diharapkan bisa memberikan lapangan kerja yang luas pada masyarakat.
Ini agar masyarakat tak lagi menjadi pengangguran, memperoleh mata pencaharian, yang ujungnya bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Data BPS Agustus 2025 menyebutkan, sektor industri manufaktur menyerap 13,86 % dari total penduduk bekerja Indonesia. Ini menempatkan sektor ini jadi kontributor terbesar ketiga dalam penyerapan tenaga kerja di bawah sektor pertanian di posisi teratas dan sektor perdagangan di posisi kedua.
Namun, masih dari data BPS, industri manufaktur jadi lapangan usaha dengan kontribusi terbesar terhadap PDB pada triwulan ketiga 2025, dengan nilai sebesar 19,51% dari total PDB.
Namun, pertumbuhan industri manufaktur tahun depan masih akan dibayangi perlambatan ekonomi global. Ini dampak dari beragam ketidakpastian yang dipicu kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang kerap sulit diprediksi.
Berbagai ketidakpastian global ini bisa memicu permintaan ekspor. Pada ujungnya bisa menurunkan kinerja manufaktur. Sebab, industri manufaktur dalam negeri berkontribusi 80,25% dari total ekspor nasional pada periode Januari-Oktober 2025.
Selain faktor global, dari dalam negeri, tantangan juga datang dari kebijakan pengupahan. Kenaikan Upah Minimum Pekerja 2026 masih terus dibicarakan dan akan mempengaruhi langkah dunia usaha ke depannya.
Agar sektor manufaktur tetap bisa tumbuh berkelanjutan maka diperlukan kebijakan-kebijakan terintegrasi yang fokus pada infrastruktur yang mencakup logistik dan kawasan industri, insentif fiskal berupa pajak, kemudahan berusaha, penguatan SDM, peningkatan daya saing teknologi (Industri 4.0), dan sinergi rantai pasok untuk menekan biaya produksi.
Baca juga:

Insentif pajak (tax holiday, tax allowance) untuk investasi manufaktur masih dibutuhkan dari tahun ke tahun, karena bisa menarik investor untuk berinvestasi. Jika sektor manufaktur semakin berkembang maka berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.
“Penyederhanaan regulasi dan perizinan usaha yang berkaitan dengan deregulasi impor bahan baku/barang modal juga harus menjadi perhatian utama pemerintah,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (19/12/2025).
Arah kebijakan 2026
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memaparkan arah kebijakan dan program prioritas tahun 2026 dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI di Jakarta beberapa wakatu lalu. Dalam kesempatan tersebut, Menperin menekankan bahwa sektor industri tetap menjadi penggerak utama perekonomian nasional dan diarahkan untuk semakin berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan.
Menperin menyampaikan bahwa industri pengolahan nonmigas ditargetkan tumbuh 6,52 persen pada tahun 2026 dengan kontribusi 18,66 persen terhadap PDB nasional. Sektor ini diharapkan menyumbang 74,85 persen ekspor nasional serta menyerap 14,68 persen tenaga kerja. Pemerataan industri juga diproyeksikan meningkat melalui distribusi investasi di luar Jawa hingga 33,25 persen, sejalan dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 6,79 juta ton karbon dioksida sebagai wujud transformasi menuju industri hijau.
“Target ini mencerminkan tekad pemerintah menjadikan industri sebagai penggerak utama perekonomian nasional. Pertumbuhan industri tidak hanya diarahkan untuk memperkuat struktur ekonomi, tetapi juga untuk memberikan manfaat langsung bagi masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan ekspor, serta penguatan daya saing,” ujar dia.
Untuk mewujudkan sasaran itu, Kemenperin menyiapkan program prioritas yang mencakup penguatan industri kecil dan menengah, penciptaan wirausaha baru, percepatan hilirisasi sumber daya alam, restrukturisasi mesin dan teknologi, serta penguatan vokasi untuk membangun SDM industri yang kompeten.
Kemenperin juga mengedepankan pengembangan industri halal, peningkatan pemanfaatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dan percepatan pembangunan kawasan industri di berbagai wilayah. Implementasi industri hijau menjadi salah satu fokus utama dengan mendorong efisiensi energi, penerapan teknologi bersih, serta prinsip keberlanjutan dalam proses produksi.
“Manufaktur kita mempunyai resiliensi yang tinggi. Walaupun dihadapkan dengan berbagai dinamika dan tantangan, resiliensi industri sudah terbukti dan ini menjadi dasar optimisme bagi percepatan pertumbuhan,” ujar dia.
Baca juga:

Seluruh program tersebut dirancang sejalan dengan agenda pembangunan nasional dan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Kemenperin berkomitmen agar setiap kebijakan industri tidak hanya memperkuat struktur ekonomi nasional, tetapi juga mewujudkan pertumbuhan yang inklusif, merata, dan berdaya saing global.
Ia juga menegaskan bahwa tahun 2026 akan menjadi momentum penting bagi Indonesia dalam mendorong promosi produk industri, memperluas akses pasar global, dan meningkatkan arus investasi.
Tantangan klasik
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti memperkirakan industri manufaktur tahun depan tetap tumbuh meskipun masih dihadapkan pada tantangan klasik.
Tantangan klasik dari industri manufaktur adalah biaya produksi tinggi terutama untuk harga bahan baku mahal karena ketergantungan impor masih tinggi, dan harga energi khususnya harga gas yang masih diperdebatkan pelaku industri yang masih tinggi jika dibandingkan negara Asean lain.
Hambatan ini menyebabkan penurunan daya saing, kualitas produk tidak optimal, dan perlambatan pertumbuhan maka dari itu, pemerintah harus berkoordinasi mencari solusinya.
“Harga bahan baku, harga energi naik, ketidakstabilan ekonomi global, tekanan dari produk impor, dan penurunan daya beli masih menjadi tantangan sektor manufaktur tahun depan,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (20/12).
Esther menuturkan terlepas dari tantangan, sektor manufaktur masih menjadi motor pertumbuhan ekonomi (PDB), pencipta lapangan kerja besar-besaran, pendorong ekspor (devisa) dan menarik investasi.