Menteri ESDM Dorong BBM Etanol 10% Pertamina Nyatakan Siap

Menteri ESDM mendorong agar BBM memiliki kandungan etanol 10% ini agar mengurangi impor bensin. Pertamina siap memenuhinya

Menteri ESDM Dorong BBM Etanol 10% Pertamina Nyatakan Siap
Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Biosolar di SPBU COCO Jalan Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (10/10/2025). (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mendorong rencana kewajiban penggunaan etanol sebanyak 10% (E10) sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri.

Kebijakan ini dilakukan demi mengurangi jumlah impor bahan bakar. Sebab, Indonesia per Juni 2025, berdasarkan laporan, mengimpor bensin hingga 61,73% dari kebutuhan nasional.

"Bensin kita sekarang, pemakaian kita itu 42 juta barrel di tahun 2025, sisanya kita impor 27 juta, ini impor kita. Sekarang pertanyaan berikut adalah apakah kita mau seperti ini terus, atau kita tidak boleh tergantung pada impor," kata Bahlil saat acara Investor Daily Summit 2025,  Kamis (9/10/2025).

Keberhasilan program biodiesel dalam menghemat impor solar nasional dan devisa negara juga diharapkan dapat terjadi dengan rencana mandatori etanol pada bensin yang akan dilaksanakan dalam beberapa waktu ke depan ini. Penggunaan etanol juga merupakan upaya untuk mendorong penggunaan energi yang ramah lingkungan.

"Berangkat dari keberhasilan biodiesel, harga petani sawit naik, penciptaan lapangan pekerjaan, devisa kita tidak kita keluarkan secara baik, maka kita coba berpikir untuk bensin kita campur lagi dengan hasil pertanian kita, hasil perkebunan kita," ucapnya.

Sebagai informasi, etanol merupakan campuran biofuel yang dicampurkan ke bahan bakar fosil untuk mengurangi pemakaian bahan bakar fosil. Jika BBM mengandung 10% etanol, hanya 90% saja yang merupakan bahan bakar fosil, sisanya merupakan energi terbarukan.

Penggunaan etanol sebagai campuran BBM ini disebut sebagai sebuah hal yang lazim di sejumlah negara seperti Brazil, Amerika Serikat, Argentina, Thailand, hingga India.

Brazil dijelaskan oleh Bahlil sudah mencampur bensinnya dengan etanol berbasis tebu sebanyak 27%, sejumlah provinsi di Brazil bahkan juga sudah menggunakan etanol hingga 100%. Melihat dari keberhasilan negara lain dalam pencampuran etanol, Bahlil menegaskan bahwa pencampuran etanol pada BBM ini bukanlah suatu hal yang buruk.

"Sangatlah tidak benar kalau dibilang etanol itu nggak bagus, buktinya di negara-negara lain sudah pakai barang ini," tegasnya.

Bahlil pada kesempatan lain juga mengatakan rencana ini sudah mendapatkan persetujuan dari Presiden Prabowo Subianto, sehingga akan dilakukan dalam beberapa waktu mendatang.

"Dengan demikian, kita akan campur bensin kita dengan etanol tujuannya apa, agar kita tidak impor banyak dan juga untuk membuat minyak yang bersih, yang ramah lingkungan," katanya.

Indonesia melalui Pertamina juga sebelumnya telah mengeluarkan produk campuran bahan bakar nabati (BBN) yaitu dalam produk Pertamax Green 95 yang mengandung bioetanol 5% dari tetes tebu.

Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menegaskan bahwa pihaknya mendukung dan siap untuk menjalankan rencana kewajiban pencampuran etanol tersebut.

"Pertamina mendukung kebijakan pemerintah dalam mendorong pemanfaatan energi ramah lingkungan, sejalan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pemerintah. Salah satunya, rencana kebijakan bahan bakar nabati (BBN) etanol 10%,” jelas Fadjar.

Pertamina juga telah memiliki infrastruktur energi yang siap dalam penyediaan dan penyaluran BBM dengan campuran etanol, salah satunya seperti kilang Pertamina yang memiliki fasilitas blending BBM dengan BBN etanol.

“Sebagaimana yang pernah dilakukan pada program pencampuran 20% biodiesel dari minyak sawit dengan 80% solar untuk menghasilkan biosolar B20 dan sekarang sudah menjadi B40,” lanjutnya.

Baca juga:

Derap Maju Biodiesel Indonesia Menembus Pasar Eropa
Ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa memasuki babak baru. WTO memenangkan Indonesia dalam sengketa ekspor biodiesel ke Eropa.

Meski begitu, pencampuran etanol dan BBM ini memerlukan biaya dan teknologi yang tinggi, sehingga kemungkinan akan mempengaruhi harga jual BBM. Maka dari itu, pihak Pertamina juga berharap pemerintah dapat mendukung ekosistem bioetanol ini sehingga harga jual dapat tetap kompetitif.

“Etanol dimandatkan sebagai komponen blending pada bahan bakar kendaraan karena dianggap sebagai renewable fuel. Pengembangan biofuel saat ini masih menggunakan teknologi tinggi, sehingga memerlukan biaya investasi. Hal ini akan tercermin pada biaya produksi dan mempengaruhi harga jual di tingkat konsumen,” ungkapnya.

Di satu sisi, pengamat otomotif sekaligus pembalap mobil Fitra Eri juga menilai penggunaan etanol untuk BBM merupakan suatu hal yang tidak masalah untuk dilakukan. Namun, etanol memiliki sejumlah kelemahan dan memberikan dampak pada performa kendaraan.

Pencampuran etanol pada BBM disebut mampu menurunkan tenaga pada mesin kendaraan, dan membuat konsumsi bahan bakar kendaraan menjadi sedikit lebih boros. Selain itu, korosi juga dikhawatirkan dapat terjadi pada mesin.

"Satu sifat dari etanol yaitu mudah menyerap air dari atmosfer. Artinya, di negara-negara yang udaranya lembap seperti di Indonesia, ini akan mendarik banyak air, dan kita tahu air itu sifatnya korosif, sehingga bahan bakar beretanol itu lebih korosif ke mesin," ucap Fitra.

Meski begitu, pencampuran etanol pada BBM tidak menjadi suatu masalah, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Fitra Eri pun menegaskan bahwa hal tersebut aman untuk dilakukan.

"Apakah aman untuk digunakan? Aman, asalkan base fuel yang menggunakan etanol ini dicampur dengan aditif yang dari awal dirancang untuk bekerja dengan maksimal di base fuel yang menggunakan etanol," ujarnya.

Beberapa waktu lalu sejumlah SPBU swasta yang mengalami masalah terkait dengan jumlah stok BBM-nya pun batal membeli base fuel dari Pertamina karena mengandung etanol. Menurut Fitra Eri, kemungkinan sejumlah SPBU tersebut memiliki zat aditif di Indonesia yang tidak dirancang untuk pencampuran etanol.

"Artinya, mereka membutuhkan waktu riset lagi untuk membuat aditif yang bisa bekerja maksimal dengan base fuel yang beretanol. Kemudian, mesin mobil juga tidak semuanya tahan dengan etanol. Memang sebagian besar mobil-mobil modern itu sudah tahan dengan etanol, tapi tidak semua," jelasnya.

Oleh karena itu, Fitra Eri meminta kepada pemerintah untuk memberikan waktu kepada industri terkait dan perusahaan penyedia BBM untuk melakukan penyesuaian terlebih dahulu sehingga masyarakat mendapatkan kendaraan dan bahan bakar yang berkualitas terbaik.

Industri otomotif harus memastikan kendaraan yang dijual ke masyarakat itu sudah tahan dengan BBM beretanol. Lalu, perusahaan penyedia BBM juga harus merancang zat aditif pada bensinnya lebih bagus lagi agar bisa bekerja dengan base fuel yang memiliki kandungan etanol.

"Perubahan boleh saja, tapi tidak mendadak. Berikan kesempatan untuk industri beradaptasi supaya produk mobil dan produk bahan bakar yang dijual di pasaran memberikan konsumen benefit yang maksimal," tutupnya.

Baca selengkapnya