Bicara di depan, ketika ditanya menjawab ya, namun hatinya berkata tidak. Sering kita temukan individu yang bertabiat seperti ini. Seolah dia setuju dengan kita namun, sesungguhnya tidak benar-benar bersepakat. Hal ini bisa ditemui dalam sebuah organisasi, seorang anak buah yang selalu mematuhi perintah atasannya, namun ia memendam pembangkangan atas perintah-perintah itu.
Gejala ini dinamakan resentful compliance. Merupakan perilaku menyetujui permintaan atau aturan dari atasan atau perusahaan, meskipun sebenarnya merasa enggan, tidak suka, atau kesal, dan kemudian memendam rasa tidak senang. Penyebabnya, sering kali didorong oleh rasa takut mengecewakan, takut dimarahi, dihukum, atau ditinggalkan secara emosional.
Dalam praktiknya, individu dengan perilaku seperti ini biasanya menjalankan tugas dan perintah secara formal, tetapi dengan perasaan kesal, kecewa, atau bahkan marah yang dipendam. Ia tidak membangkang secara terbuka, namun juga tidak sepenuhnya hadir secara batin.
Pola konflik seperti ini sulit diatasi tanpa konsultasi dengan pakar psikologi, dan dapat menciptakan keretakan besar di antara karyawan, atau di antara hubungan atasan-bawahan.
Dalam tinjauan filosofis, resentful compliance terjadi ketika manusia direduksi menjadi pelaku labor belaka—melakukan tugas tanpa ruang untuk action. Mereka kehilangan kesempatan untuk bertindak sebagai subjek yang bermakna dalam ruang publik.
Dari esai filosofis tahun 1951 yang ditulis oleh penulis Prancis Albert Camus, L’Homme Révolté, dipaparkan resentful compliance dalam koridor hubungan kerja adalah bentuk “hidup dalam absurditas”—menjalankan rutinitas tanpa makna, namun belum sampai pada pemberontakan.
Namun, Camus juga menawarkan jalan perlunya pemberontakan batin yang jujur, bukan destruktif. Karyawan bisa memilih untuk menyadari absurditas itu, dan tetap bertindak dengan integritas sebagai bentuk perlawanan yang bermartabat.
Fenomena resentful compliance bukan sekadar masalah organisasi, tapi cermin dari krisis eksistensial modern, manusia yang kehilangan makna, suara, dan ruang untuk menjadi diri sendiri. Filosofi mengajak kita untuk menyadari struktur yang membentuk kita, menemukan ruang kebebasan batin, dan bertindak dengan nilai, bukan sekadar bertahan.
Orang yang penurut namun memendam rasa tidak puas dan ketidaksetujuan seperti ini sering merasa tidak didengarkan, disalah pahami, tidak dicintai, dan tidak bersuara. Ia seringkali menghindari konflik. Bagaimanapun bila tidak ingin berakhir celaka, ia perlu menyadarinya dan mulai menyatakan ketidakpuasannya terhadap apa yang terjadi.
Di sisi lain, kolega yang sering marah dan kesal bisa jadi karena diri kita juga tidak pernah menepati komitmen yang diikrarkan. Atau tak pernah merealisasikan apa yang dirinya sendiri katakan. Karenanya kunci yang harus dipegang masing-masing orang dalam organisasi adalah komitmen.
Fenomena resentful compliance menjadi pengingat untuk membayangkan ulang dunia kerja. Bukan hanya sekadar tempat mencari penghasilan, tapi ruang pertumbuhan, partisipasi, dan pengungkapan diri. Hasil ini menuntut perubahan struktural—dari budaya kerja yang menekan menjadi yang mendengarkan. Toleran dan penuh komitmen. Tapi juga perlu ada perubahan batin—dari kepatuhan yang pahit menjadi tindakan yang sadar.
Neurolog dan psikiater Austria Viktor Frankl menyebut, antara stimulus dan respons, ada ruang. Dalam ruang itu terdapat kebebasan kita untuk memilih respons. Dan dalam kebebasan itu terletak pertumbuhan dan kebahagiaan kita.
Bisa jadi di saat rutinitas yang melelahkan, kita bisa mulai dari ruang kebebasan itu untuk memilih kembali, sejauh mana diri kita bisa berpartisipasi, baik di lingkungan keluarga, pekerjaan juga di sekitar tempat tinggal.