Kemenangan Indonesia dalam sengketa dagang biodiesel dalam putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menjadi secercah harapan bagi industri sawit dan perkembangan biodiesel nasional.
Namun, alih-alih tunduk pada putusan WTO, Uni Eropa memilih mengajukan banding ke WTO, menyebabkan kasus ini kembali terkatung-katung di tengah ketidak pastian ekonomi.
Menteri Perdagangan Budi Santoso bahkan menyebut ini sebagai upaya Uni Eropa untuk mengulur waktu.
“Banding memang merupakan hak setiap anggota WTO. Namun, langkah UE ini bisa dipandang sebagai upaya mengulur waktu. Karena itu, Indonesia mendorong UE untuk bekerja sama secara konstruktif, mengadopsi putusan panel, serta turut mengatasi kelumpuhan sistem penyelesaian sengketa WTO. Selanjutnya, Indonesia akan mengambil langkah strategis untuk mengamankan dan memperluas akses pasar biodiesel ke UE,” kata Mendag Busan dalam rilisnya akhir pekan lalu.
Menurut data Kementerian Perdagangan Indonesia, bersama Malaysia, Indonesia menyuplai 87 persen dari produksi minyak sawit global, di mana Indonesia merupakan produsen dan eksportir terbesar di pasar dunia, sementara Malaysia berada di tempat kedua.
Bagaimana Awal Sengketa?
Sengketa dua negara ini bermula dari kebijakan Uni Eropa yang membuka penyelidikan anti-subsidi pada 6 Desember 2018, setelah menilai industri biodiesel Indonesia memperoleh dukungan pemerintah yang dinilai memberi keunggulan tidak seimbang di pasar global.
Uni Eropa menilai produsen biodiesel asal Indonesia dinilai memperoleh sejumlah keuntungan yang tidak wajar, mulai dari keringanan pajak hingga kemudahaan dalam memperoleh bahan baku dengan harga lebih rendah dari pasar.
Atas dasar itu, sejak November 2019, UE mengenakan bea masuk imbalan (countervailing duties.CVD) sebesar 8-18 persen terhadap biodiesel asal Indonesia.
Merespons kebijakan tersebut, Indonesia menggugat melalui mekanisme sengketa WTO pada Agustus 2023. Dua tahun kemudian, tepatnya Agustus 2025, Panel WTO memutuskan memenangkan Indonesia dalam kasus DS618.
Bagaimana Tanggapan Pemerintah?
Pemerintah Indonesia mendorong Uni Eropa (UE) untuk mengadopsi putusan Panel Sengketa DS618 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan countervailing duties (CVD) biodiesel Indonesia yang diumumkan pada 26 September 2025.
Menteri Perdagangan Budi Santoso menuturkan pemerintah menyesalkan langkah UE yang tetap mengajukan banding atas putusan tersebut. Pasalnya, banding itu diajukan ke Badan Banding WTO yang saat ini tidak berfungsi (appeal into the void).
“Keputusan UE untuk mengajukan banding terhadap putusan Panel Sengketa DS618 tidak relevan. Proses pengambilan keputusan panel telah dilakukan sesuai prosedur, serta dipimpin panelis berpengalaman dan kredibel. Langkah banding ini kurang sejalan dengan semangat penguatan hubungan ekonomi,” ujar Mendag dalam siaran persnya yang diterima SUAR di Jakarta (3/10).
Namun, Badan Banding WTO saat ini tidak berfungsi akibat blokade Amerika Serikat terhadap pengisian keanggotaan, sehingga tidak ada kuorum minimum untuk memproses kasus banding. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai niat baik dan komitmen UE dalam menyelesaikan sengketa secara adil.

Harapan pengusaha
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) meminta Uni Eropa menghormati putusan WTO, kemenangan yang diraih Indonesia sudah melewati proses yang panjang dan melelahkan.
Wakil Ketua Umum Aprobi Catra De Thouars mengatakan Uni Eropa akan mencari berbagai macam cara untuk menjatuhkan produk sawit Indonesia dan sering melakukan kampanye hitam.
Dengan kemenangan Indonesia di WTO membuktikan bahwa produk sawit Indonesia bersih dan secara tidak langsung menjadi momentum untuk mendorong ekspor.
“Kami mendukung pernyataan pemerintah yang kesal atas langkah UE yang kembali mengajukan banding, pantau terus perkembangannya,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (4/10).
Ia mengatakan hampir dua tahun pelaku usaha berjuang mati-matian melawan Uni Eropa, dan perjuangan tersebut tidak sia-sia karena membuahkan hasil yang manis di tahun ini, dengan kemenangan Indonesia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan langkah Uni Eropa yang kembali mengajukan banding atas putusan WTO sudah dapat ditebak. Sejak awal Indonesia menang, pihak UE tidak menerima dan keberatan.
Eddy mengatakan ekspor biodiesel sebenarnya tidak terlalu diprioritaskan karena Indonesia mempunyai mandatory untuk pemenuhan dalam negeri.
“ Indonesia tidak terbukti bersalah dan itu sudah harga mati, pemerintah harus memperjuangkan,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (3/10).
Bagaimana saran pakar?
Pengamat Pertanian IPB Dwi Andreas menuturkan putusan WTO yang memenangkan Indonesia terkait produk biodiesel merupakan keputusan yang mutlak dan harus diperjuangkan.
Dukungan WTO berdampak langsung pada posisi Indonesia di perdagangan global, produk sawit Indonesia tidak ada masalah.
“ Tantangan ke depan yang masih dihadapi adalah terkait tuduhan produk sawit tidak ramah lingkungan dan berkaitan dengan deforestasi,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (3/10).
Sementara itu Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengatakan ekspor produk biodiesel ke Eropa tidak terlalu besar, komposisi ekspor lebih dominan ke CPO sehingga Indonesia tak harus khawatir akan upaya banding Uni Eropa.
"Uni Eropa seharusnya menghormati putusan WTO, jangan membuat masalah semakin panjang," ujar dia.
Menurut dia, kualitas sawit Indonesia sangat bagus dan banyak manfaatnya sehingga banyak negara lain yang cemburu dan mencari cara agar sawit Indonesia tidak masuk pasar dunia atau dengan kata lainnya mengusung kampanye hitam.
Selama ini, Uni Eropa kerap kali melemparkan "kampanye hitam” kelapa sawit dengan menyatakan kelapa sawit Indonesia dan Malaysia didapat dari hasil perusak hutan sehingga menyebabkan perubahan iklim.
“Pemerintah tidak perlu takut menghadapi Uni Eropa, lawan saja karena Indonesia sudah jelas menang,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (6/10).
Ia menuturkan setelah IEU-CEPA ditandatangani, semakin memperkuat posisi perdagangan Indonesia ke Eropa.
Ia menyebut keunggulan minyak sawit yang paling utama di pasar ekspor adalah untuk bahan baku coklat dan bisa digunakan untuk menggoreng, sementara minyak bunga matahari yang dimiliki Eropa tidak bisa digunakan untuk menggoreng hanya digunakan untuk dressing salad.