Keinginan pemerintah untuk secara tegas menutup pintu impor pakaian bekas atau balpres disambut reaksi beragam. Di satu sisi ini memberi nafas bagi pelaku industri tekstil nasional yang terimpit banjirnya impor barang, di sisi lainnya ada ribuan pedagang kecil penjual pakaian bekas yang terancam kehilangan mata pencahariannya.
Rencana pemerintah untuk menutup impor pakaian bekas dilontarkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Ia menegaskan tidak akan membuka peluang penggunaan barang garmen ilegal sitaan, bahkan untuk bantuan bagi para korban bencana di Sumatera.
“Jangan sampai nanti gara-gara itu, banyak lagi balpres masuk dengan alasan kan bagus buat bencana,” ujarnya, Jumat (12/12/2025).
Sebelumnya dalam berbagai kesempatan, Purbaya konsisten menegaskan tidak mendukung praktik impor pakaian bekas itu. Salah satu alasannya adalah untuk menyelamatkan industri tekstil nasional dari membeludaknya impor pakaian bekas tersebut.

Namun, rencana itu ditanggapi getir oleh para pedagang pakaian bekas. Dalam rapat kerja Komisi VI DPR dengan para pedagang dari Pasar Gedebage, sentra thrifting terbesar di Jawa Barat, menyampaikan langsung kegelisahan mereka. Ketua Aliansi Pedagang Pakaian Bekas Gedebage Dewa Iman Sulaeman mengungkapkan kegundahan kolektif pedagang.
“Kami sudah berjualan puluhan tahun, Pak. Dari tahun 1990-an. Dan itu diterima masyarakat menengah ke bawah. Bagaimana nasib kami ke depan ketika pangsa pasar kami ditutup?” ujarnya (2//12/2025).
Di Gedebage saja, ada sekitar 1.080 pedagang yang hidup dari pasar pakaian bekas impor. Bagi mereka, larangan impor bukan sekadar aturan perdagangan, ini adalah persoalan dapur, tagihan, dan sekolah anak.
Karena itu Dewa memohon satu hal yang menurutnya sederhana: jangan larang dulu sampai stok habis. “Ini yang sudah ada di pangsa pasar kami tolong dihabiskan dulu sembari kita mencari solusi yang terbaik,” ujarnya.
Ketua Aliansi Pedagang Pakaian Bekas Indonesia WR Rahasdikin datang dengan tawaran lain. Menurutnya, jika pemerintah keberatan dengan keberadaan pasar balpres ilegal, maka legalisasi dan pajak bisa menjadi opsi kompromi. Ia pun mengusulkan pungutan 7,5%–10% untuk mengatur peredaran pakaian bekas impor.
Di mata mereka, kebijakan ini bisa mengurangi penyelundupan, meningkatkan penerimaan pajak negara, dan menjaga lapangan kerja.
Namun bagi pemerintah, itu bertabrakan langsung dengan Undang-Undang Perdagangan.
“Namanya ilegal, enggak bisa legal,” tegas Menteri Perdagangan Budi Santoso.
Baca juga:

Deputi Bidang Usaha Kecil Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Temmy Satya juga menambahkan bahwa larangan impor pakaian bekas ilegal sudah jelas diatur di Pasal 47 dan 52 ayat (2) UU No. 7/2014 serta ditegaskan kembali melalui Permendag 51/2015 dan Permendag 18/2021 jo. Permendag 40/2022.
Bagi pemerintah, “jalan tengah” untuk melegalkan barang ilegal bukanlah jalan yang bisa ditempuh. Namun ini tidak berarti pintu solusi tertutup. Justru di titik inilah peluang baru mulai dibuka.
Mengisi ruang pasar
Menteri UMKM Maman Abdurrahman, mengatakan, pemerintah telah mengonsolidasi sekitar 1.300 merek lokal yang siap menjadi substitusi produk thrifting atau impor pakaian bekas. Adapun barangnya antara lain baju, celana, sepatu, sandal, serta produk-produk yang harapannya dapat menyediakan pasokan baru bagi pedagang, sambil tetap menjaga keberlangsungan usaha mereka.
Maman menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin mematikan mata pencaharian para pedagang. “Mereka akan berjalan saja tuh, tapi lama-lama kan pasokan produknya menipis. Nah itu enggak boleh kita biarkan. Makanya nanti kita ganti dengan produk brand lokal.”
Pendekatan ini bersifat bertahap. Kemenkop UKM telah berbicara dengan pedagang Pasar Senen yang sepakat untuk mulai menjual produk lokal secara perlahan, dengan catatan pemerintah menyediakan fasilitas dan skema transisi.
Ketua Umum Asosiasi Garment dan Tekstil Indonesia (AGTi) yang juga Wakil Direktur Utama PT. Pan Brothers Tbk Anne Patricia Sutanto menjelaskan, pemerintah dan dunia usaha, mulai dari asosiasi produsen seperti AGTI hingga Himpunan Peritel (Hippindo), sebenarnya sudah jauh bergerak di belakang layar.
“Pemerintah dan dunia usaha sudah berkoordinasi dengan Kementerian UMKM. Solusi dan tahapan sudah diberikan,” ujar Anne melalui keterangan tertulis, Minggu (14/12/2025).
Salah satu solusi paling konkret yang kini dijalankan adalah B2B business matching: mempertemukan produsen dan pedagang balpres agar pedagang bisa mengisi lapak dengan barang legal dan terjangkau.
Anne menjelaskan bahwa AGTi dan Hippindo memiliki stok barang yang harganya bahkan di bawah harga pasar karena out-of-season. Barang-barang ini tidak rusak, hanya sudah tidak masuk periode kampanye ritel.
“On going process ini diharapkan secara organik bisa berjalan, dan pada akhirnya dapat mengisi kekosongan balpres ilegal,” kata Anne.
Pendekatan ini membuka ruang kolaborasi yang sebelumnya nyaris tidak terpikirkan: pedagang thrifting, yang identik dengan barang impor bekas, bisa terhubung dengan produsen lokal tanpa memutus mata rantai pasar yang sudah terbentuk. Hingga artikel ini terbit, upaya ini sedang dikoordinasikan.

Mengonfirmasi Anne, ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budiarjo Iduansyah menilai bahwa transisi dari pasar thrifting ke produk legal sejatinya memiliki preseden pasar yang jelas. Menurutnya, di banyak sektor ritel, barang bekas maupun rekondisi telah lama memiliki ekosistem tersendiri.
“Kalau mobil bekas atau handphone bekas saja bisa direkondisi dan diperjualbelikan secara legal, pakaian juga sebenarnya punya market-nya sendiri,” ujar Budiarjo kepada Suar, Minggu (14/12/2025).
Ia menyebut, sejumlah anggota Hippindo juga memiliki keterkaitan langsung dengan industri garmen, baik sebagai produsen maupun distributor. Karena itu, ia meyakini bahwa merek-merek lokal sebenarnya bisa memproduksi lini khusus untuk mengisi segmen pasar yang selama ini dikuasai pakaian thrifting, terutama untuk konsumen dengan daya beli terbatas.
Namun, Budiarjo menekankan bahwa peralihan ini tidak bisa dilepaskan dari peran aktif pemerintah, khususnya dari sisi perindustrian. Ia menyoroti keberadaan kawasan gudang dan pabrik-pabrik berorientasi ekspor yang tersebar di Indonesia. Dalam praktiknya, banyak bahan baku berkualitas, bahkan berstandar global menumpuk di dalam negeri karena tidak bisa diekspor kembali atau tersendat regulasi.
“Di Indonesia itu banyak pabrik ekspor yang bahan bakunya menumpuk di gudang. Padahal kualitasnya bagus, standar global, tapi enggak bisa keluar,” jelasnya.
Menurut Budiarjo, kondisi ini seharusnya bisa diatasi melalui kebijakan khusus yang memungkinkan bahan baku tersebut dialihkan ke UMKM tekstil dan garmen dalam negeri. Dengan dukungan regulasi dan fasilitasi dari pemerintah, bahan baku yang semula mengendap dapat diolah menjadi produk jadi untuk pasar domestik.
Ia menilai skema ini bukan hanya membuka jalan bagi UMKM untuk naik kelas, tetapi juga mempercepat substitusi pakaian bekas impor dengan produk lokal yang legal, terjangkau, dan sesuai kebutuhan pasar.
“Kalau pemerintah mau bantu dari sisi perindustrian, bahan baku yang ada itu bisa diproduksi oleh UMKM. Rata-rata itu bahan baku produk global yang bagus-bagus,” kata Budiarjo.
Penyelamatan industri tekstil nasional
Dari perspektif industri tekstil dalam negeri, kebijakan pelarangan impor pakaian bekas bukan hanya persoalan legalitas, tetapi juga kesempatan untuk memulihkan sektor yang selama ini tertekan.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, kebijakan ini bisa masuk dalam agenda penyelamatan industri TPT.
“Kebijakan ini akan sangat membantu. Meski tidak langsung menaikkan utilisasi, mengingat impor ilegal baju baru, kain, dan benang dumping juga ikut menekan kinerja industri,” jelasnya kepada Suar melalui keterangan tertulis.
Redma menambahkan, secara perbandingan biaya, industri lokal sebenarnya kompetitif. Yang membuat tidak seimbang adalah masuknya barang dumping dan ilegal yang merusak harga pasar.
“Titik itulah yang menjadi kesalahan kebijakan pemerintah selama bertahun-tahun, karena penindakan tidak berjalan. Banyak oknum pejabat ikut bermain,” tegasnya.
Menurut Redma, selama persaingan bisa dilakukan secara fair dan equal, produsen dalam negeri siap mengisi pasar yang selama ini dikuasai thrifting. “Industri kita sangat siap bersaing, asalkan tidak disandingkan dengan barang dumping dan ilegal.”
Dari kacamata pengamat ekonomi, larangan ini hampir pasti menimbulkan disrupsi. Tetapi menurut Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda, penegakan aturan tetap harus dilakukan.
“Pada awal penerapan kebijakan akan ada disrupsi ekonomi dan sosial karena integrasi pedagang dengan produk lokal. Namun penegakan aturan memang harus dilakukan,” ujarnya kepada Suar melalui keterangan tertulis, Minggu (14/12/2025).
Ia menjelaskan bahwa pelanggan thrifting dan pelanggan produk lokal punya karakter berbeda. Pembeli thrifting cenderung “branded oriented dengan dana terbatas”. Sedangkan pembeli lokal lebih dekat dengan skena “local pride”.
Tapi menurut Huda, industri lokal kini jauh lebih beragam dan mampu memenuhi berbagai rentang harga. “Potensi produk lokal berkembang sangat besar.”
Meski demikian, di tengah penolakan terhadap legalisasi balpres, wacana alternatif juga datang dari Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Teuku Riefky. Ia menilai, pendekatan legalisasi dengan skema perpajakan layak masuk dalam ruang diskusi kebijakan, terutama jika dilihat dari persoalan struktural ekonomi Indonesia yakni tingginya sektor informal.
“Kalau aktivitas ekonomi yang selama ini informal bisa diintegrasikan ke sektor formal, itu sebenarnya bisa memperluas basis perpajakan,” ujar Teuku kepada Suar, Minggu (14/12/2025).
Ia menjelaskan, skema legalisasi yang disertai pajak bukan semata-mata soal membolehkan barang ilegal beredar, melainkan upaya menarik aktivitas ekonomi ke dalam sistem yang tercatat dan diawasi. Dalam konteks tersebut, menurutnya integrasi pedagang balpres ke sektor formal justru bisa memperluas basis perpajakan sekaligus memperbaiki tata kelola pasar.
Namun, Teuku menekankan bahwa gagasan ini masih berada pada tahap diskusi dan belum menjadi konsensus kebijakan. “Ini masih jadi perdebatan. Tantangan utamanya memang bagaimana menarik sektor yang sangat informal ini masuk ke sistem formal,” katanya pada Suar, Minggu (14/12/2025).
Jika skema business matching berjalan dan stok out-of-season AGTi dan Hippindo bisa terserap pedagang balpres, Indonesia sebenarnya sedang berada di ambang transformasi pasar.
Kendati gagasan untuk menghubungkan pedagang balpres dengan produsen tekstil lokal mungkin terdengar ambisius di tengah keruwetan pasar pakaian murah di Indonesia.
Namun ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad melalui sambungan telepon (14/12/2025) menekankan bahwa integrasi semacam ini bisa dilakukan, asalkan pemerintah tidak memaksakan perubahan secara mendadak dan memberi ruang transisi yang wajar bagi para pedagang.
Menurutnya, pedagang balpres tidak hidup di ruang hampa. Mereka sudah terlanjur mengeluarkan modal, membangun jaringan, dan punya pangsa pasar yang stabil. Karena itu, perubahan kebijakan apa pun idealnya tidak dimulai dengan penutupan pintu, melainkan penataan ulang.
Di titik inilah, wacana DPR untuk mempertemukan pedagang balpres dengan UMKM tekstil dan factory outlet lokal dianggap sebagai langkah yang mungkin saja bekerja, bila dilakukan dengan hati-hati dan bertahap.
“Misalnya mereka berkolaborasi dengan produk-produk lokal punya daya saing, tapi market-nya belum tergarap dengan baik. Nah, diberikan akses untuk produk-produk kualitas bagus, tapi harganya relatif murah,” ujar Tauhid.
Menurut Tauhid, industri tekstil lokal membutuhkan dukungan bahan baku, pembiayaan murah untuk peremajaan mesin, dan penguatan kreativitas desain. Tanpa itu, sulit membayangkan produk lokal mampu mengisi kekosongan pasar yang selama ini dikuasai barang murah.
Menariknya, Tauhid juga menegaskan bahwa problem terbesar industri tekstil justru bukan hanya pada balpres. Ia menyebut banjir pakaian baru impor ilegal sebagai ancaman yang jauh lebih serius. Barang-barang ini masuk tanpa bea, kemudian dilabeli ulang di Indonesia dan dijual dengan harga yang sulit ditandingi.
“Itu yang menghancurkan industri kita, bukan hanya yang bekas,” ujarnya. Di media sosial, produk-produk inilah yang menguasai pasar, menekan produsen dalam negeri, dan menciptakan kompetisi yang tidak seimbang.
Karena itu, melihat balpres sebagai satu-satunya masalah berpotensi menyesatkan arah kebijakan. Bagi Tauhid, integrasi pedagang balpres ke ekosistem lokal mungkin saja membuka peluang industrialisasi ulang tekstil, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada keberanian pemerintah menertibkan impor ilegal yang selama ini berjalan masif. Tanpa penataan di sisi tersebut, segala upaya untuk menggabungkan pedagang balpres dengan produk lokal hanya akan bergerak di pinggiran.
Pasar Balpres tidak hanya tumbuh di Indonesia, terdapat pula di Malaysia hingga Jepang, meski volumenya di sana jauh lebih kecil. Perbedaannya, Indonesia menjadi salah satu pasar terbesar di kawasan, didorong oleh daya beli masyarakat yang lemah dan kebutuhan akan pakaian murah dengan kualitas yang tetap layak.
Menurut Tauhid, dalam konteks seperti itu, integrasi mungkin bukan solusi instan, tetapi dapat menjadi peluang, asal dilakukan dengan proporsional dan dengan memperbaiki ekosistem yang lebih besar di belakangnya.