Membaca Utuh Pertumbuhan Ekonomi (2)

Data Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II 2025 yang dikeluarkan BPS menuai kritikan. Sebagai institusi yang sudah ada sejak Indonesia merdeka. Metode pengumpulan data dilakukan profesional dan independen. 

Membaca Utuh Pertumbuhan Ekonomi (2)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) pada konferensi pers pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (5/8/2025). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto.
Daftar Isi

Pertumbuhan ekonomi positif lazimnya disambut baik. Tapi, tidak demikian halnya setelah pemerintah melansir pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II–2025 yang naik menjadi 5,12% secara tahunan.

Angka tersebut menimbulkan tanda tanya, bahkan keraguan. Bagaimana bisa dalam kondisi ekonomi masyarakat yang sedang melemah saat ini, ekonomi nasional justru menguat. Pada triwulan I-2025 ekonomi tumbuh 4,87% (tahunan).

Pekerja berjalan di depan layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (15/8/2025). (ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha)

Karena meragukan data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Agustus 2025 lalu itu, sebuah lembaga penelitian Center for Economic and Law Studies (Celios) melayangkan surat permintaan investigasi kepada badan statistik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat 8 Agustus 2025.

Lembaga ini menduga ada inkonsistensi dalam data resmi pemerintah. "Kami berharap komisi statistik PBB segera melakukan investigasi teknis, termasuk investigasi metodologi penghitungan PDB Indonesia, khususnya triwulan II–2025," kata Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Fiskal Celios.

Celios menuding, terjadi tekanan institusional atau intervensi dalam penyusunan data BPS itu yang bertentangan dengan fundamental principles of official statistics yang diadopsi oleh komisi statistik PBB.

Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti tak mau menanggapi kritikan itu. Kepada SUAR, ia mengaku sedang fokus melakukan pendataan angka pertumbuhan triwulan ketiga yang sedang berjalan.

Perbedaan indikator 

Dalam rilisnya, BPS mencatat pertumbuhan triwulan II-2025 sebesar 5,12% itu didorong oleh berbagai indikator. Dari sisi produksi, lapangan usaha yang menjadi sumber pertumbuhan terbesar adalah industri pengolahan (1,13%). Disusul dengan perdagangan (0,70%), informasi dan komunikasi (0,53%), serta konstruksi (0,47%).  

Dalam struktur perekonomian kita, lapangan usaha industri pengolahan menjadi penopang utama PDB. Di triwulan II-2025, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB sebesar 18,67%. Disusul sektor pertanian dan perdagangan masing-masing 13,83% dan 13,02%.

Dua wisatawan mancanegara mengunjungi Taman Fatahillah di kawasan Kotu Tua, Jakarta, Jumat (22/8/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Rizky Febriansyah.

Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan triwulan II-2025 masih ditopang oleh komponen konsumsi rumah tangga (54,25%). Selanjutnya juga ditopang oleh komponen pembentukan modal tetap bruto yang menggambarkan kondisi investasi (27,83%) dan komponen ekspor barang dan jasa (22,28%). Kontribusi konsumsi rumah tangga dan Pemebentukan Modal Bruto (PMTB) triwulan ini sedikit menurun dibandingkan triwulan I. Sementara komponen ekspor mengalami sedikit kenaikan.

Dari ketiga komponen ini, konsumsi rumah tangga menjadi sumber pertumbuhan tertinggi (2,64%). Namun demikian, laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada komponen ekspor barang dan jasa sebesar 10,67% (y-on-y), diikuti oleh pertumbuhan komponen konsumsi Lembaga Non-Profit yang melayani Rumah Tangga atau LNPRT (7,82%) dan komponen PMTB (6,99%). Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,97%. Sedangkan konsumsi pemerintan terkontraksi sebesar -0,33%.

Jika dilihat per semester, pertumbuhan ekonomi hingga semester I-2025 tercatat sebesar 4,99%. Angka ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang sebesar 5,03%.

Namun, laporan BPS itu dianggap kurang sesuai dengan data yang dimiliki para ekonom atau analis. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Muhammad Faisal, menilai, hasil perhitungan BPS triwulan II itu terlalu tinggi, berbeda dengan temuan institusinya. Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi yang disimpulkan CORE berada di kisaran 4,7% hingga 4,8%, sehingga selisih yang muncul kali ini cukup besar.

Prediksi CORE didasarkan pada sejumlah leading indicators, seperti realisasi investasi yang dirilis BKPM, penjualan semen, realisasi belanja modal pemerintah, serta impor barang modal dan bahan baku. Indikator tersebut, menurut Faisal, tidak menunjukkan lonjakan sebesar yang terekam dalam data BPS.

Pekerja kreatif melintas di depan pintu masuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Singhasari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa (26/8/2025). (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)

Untuk konsumsi rumah tangga, perbedaan terlihat pada arah sejumlah tren. Indikator seperti indeks penjualan ritel, indeks keyakinan konsumen, dan penjualan barang tahan lama menunjukkan perlambatan pada triwulan II dibanding triwulan I. Namun, data BPS justru mencatat peningkatan konsumsi pada periode yang sama.

Faisal menjelaskan, perbedaan paling mencolok terlihat pada dua komponen terbesar pendorong pertumbuhan, yaitu konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB). Untuk PMTB, CORE mengakui adanya perbaikan dibandingkan triwulan I, tetapi tidak sebesar yang dilaporkan BPS. Pada triwulan I, investasi tumbuh 2,3%.

Foto udara proyek pembangunan LRT Jakarta Fase 1B di Jalan Tambak, Jakarta, Jumat (22/8/2025). Proyek infrastruktur masuk dalam PMTB (ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin)

Faisal menyatakan ia tidak serta-merta menilai BPS keliru. BPS, katanya, memiliki cakupan data yang lebih luas. Namun, ia menilai perlu ada penjelasan rinci agar publik memahami alasan di balik angka itu. “Bukan hanya metodologi, tapi rincian komponennya,” kata Faisal.

Kapal tanker berbendera asing memuat minyak mentah kelapa sawit (CPO) di Dermaga B Curah Cair Pelabuhan Pelindo Multi Terminal Branch Dumai, Riau, Senin (18/8/2025). (ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid)

Sedangkan peneliti dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menilai angka BPS masih menyisakan tanda tanya karena sejumlah indikator utama menunjukkan tren melemah. Ia juga menilai perlu ada penjelasan rinci dari BPS agar publik memahami sumber pertumbuhan yang tercatat.

Menurut Eko, lonjakan industri pengolahan yang dilaporkan BPS bertolak belakang dengan Purchasing Manager Index (PMI) dari S&P yang terkontraksi dalam beberapa bulan terakhir. “Ketika PMI terkontraksi tapi pertumbuhan industri pengolahan tinggi, itu menunjukkan ada gap besar antara leading indicator dengan data,” ujarnya. Hal itu membuat INDEF mempertanyakan validitas pertumbuhan sektor manufaktur.

Konsumsi rumah tangga juga menjadi sorotan, karena kontribusinya yang paling besar bagi pertumbuhan. Eko menilai BPS harus menunjukkan indikator konsumsi yang mendukung data tersebut, sebab, berbagai leading indicator justru mengarah pada perlambatan. Tanpa kejelasan itu, katanya, sulit menilai apakah peningkatan konsumsi benar-benar terjadi di lapangan.

Pada sisi ekspor, Eko menilai pertumbuhan yang tercatat lebih bersifat temporer. Ia menyebut peningkatan ekspor ke Amerika Serikat disebabkan oleh fenomena front loading, ketika importir menimbun stok sebelum tarif Trump 19% diberlakukan awal Agustus.

 “Setelah tarif berlaku, ekspor kita kemungkinan menyusut karena daya beli di Amerika juga melemah,” katanya.

Sektor investasi, terutama di pertambangan, menurut Eko juga memerlukan rincian lebih jelas. Ia menekankan bahwa peran deregulasi memang penting untuk mendukung investasi, tetapi dampaknya tidak bisa instan. “Biasanya butuh satu tahun sampai dua tahun. Tidak cukup hanya otak-atik regulasi, harus dikawal sampai investasinya benar-benar masuk,” ujarnya.

Sedangkan Ekonom Senior INDEF, Fadhil Hasan, menilai hasil penghitungan BPS ini memicu pertanyaan apakah ada yang perlu diperbaiki dalam metodologi, basis data, atau sebab lain yang belum terjelaskan dari temuan BPS. Sebab, banyak leading indicators justru menunjukkan pelemahan pada triwulan II–2025 dibanding periode sama tahun sebelumnya. Seperti, PMI manufaktur berada di bawah 50 (kontraksi), penjualan wholesale turun 8,6% dan retail turun 9,5%.

Selain itu investasi langsung dari luar negeri atau FDI menurun, pertumbuhan kredit melambat, PHK melonjak 32%, indeks keyakinan konsumen menurun, hingga penerimaan PPN dan PPnBM yang anjlok hampir 20%.

Kinerja sektor riil dan pergeseran gaya hidup

Vice CEO PT Pan Brothers Tbk sekaligus Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Anne Patricia Sutanto, mengaku, angka pertumbuhan 5,12% tidak otomatis terasa di industri TPT.

“Kalau di pasar ekspor, ada sinyal pertumbuhan. Tapi secara umum di lapangan, kondisinya masih stabil, tidak jelek tapi juga tidak bagus,” katanya. Ia menegaskan, selisih tipis antara 4,9% dan 5,1% lebih banyak dipersoalkan para ekonom, sementara pelaku industri melihatnya biasa saja.

Sedangkan Piter Abdullah, ekonom sekaligus Co-Founder Sagara Institute menyebut, proyeksi pertumbuhan ekonomi biasanya menggunakan beberapa leading indicators seperti penjualan mobil, penjualan semen, penerimaan pajak, dan indeks PMI. Ia mengakui awalnya sempat meragukan capaian pertumbuhan kuartal II.

Namun, menurutnya indikator-indikator itu sudah tidak sepenuhnya menggambarkan pola konsumsi masyarakat. Perubahan gaya hidup digital serta dominasi generasi milenial dan Gen Z membuat pola belanja mengalami pergeseran.

Fenomena Rojali dan Rohana bukan ukuran bahwa masyarakat tidak belanja atau tidak melakukan konsumsi.

“Fenomena Rojali dan Rohana bukan ukuran bahwa masyarakat tidak belanja atau tidak melakukan konsumsi,” ujar Piter. Ia menambahkan, penurunan penjualan mobil atau rumah tidak berarti konsumsi melemah. Saat ini pola berbelanja masyarakat juga berubah, lebih banyak yang berbelanja secara online dibanding datang ke mal.

Piter mencontohkan pergeseran konsumsi terlihat jelas dari pola rekreasi anak muda. Menurutnya, pusat perbelanjaan bisa terlihat sepi, tetapi kawasan wisata alam justru ramai.

“Mal bisa sepi, tapi puncak Gunung Rinjani dan Semeru justru ramai dengan anak-anak muda,” katanya. Dari sisi ini, ia menegaskan konsumsi tetap tumbuh dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Sejumlah peserta berlari melintasi persawahan dengan latar Gunung Rinjani saat mengikuti Rinjani Color Run III 2025 di Sembalun, Lombok Timur, NTB, Minggu (24/8/2025). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi.

Selain konsumsi, Piter menyoroti investasi yang juga menunjukkan pertumbuhan signifikan. Ia menyebut data investasi memang tidak banyak diakses oleh para ekonom. Namun, lonjakan impor barang modal dan peralatan memberikan konfirmasi terjadinya investasi.

“Pertumbuhan investasi memang mengejutkan, tapi terkonfirmasi oleh pertumbuhan impor yang sangat besar untuk barang modal dan peralatan,” jelasnya.

Piter mengingatkan capaian pertumbuhan 5,12% di kuartal II belum menjamin target tahunan pemerintah. Ia menyebut tantangan besar ada di kuartal III yang biasanya ditandai perlambatan ekonomi.

Namun, masih ada peluang jika pemerintah mempercepat belanja negara. “Pemerintah bisa memacu belanja dan menghilangkan hambatan-hambatan agar perekonomian bisa melaju kencang pada kuartal 3 dan kuartal 4,” katanya.

Pengumpulan data sesuai kaidah

Terkait banyaknya keraguan terhadap data BPS. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, selama ini pemerintah selalu memakai data BPS dalam pengambilan kebijakan. Karenanya, ia menilai, data dari BPS dinilai dapat dipercaya.

"Ya kita selama ini menggunakan (data) BPS kan, ya. Jadi, BPS tentunya menjelaskan mengenai datanya, metodologinya, sumber informasinya, kita tetap mempercayai BPS," ungkapnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan terkait RAPB dan Nota Keuangan Tahun Anggaran 2026 di Jakarta, Jumat (15/8/2025) (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Menteri Keuangan juga meyakini, BPS sebagai institusi yang independen dan profesional. “Kan kita lihat semua indikator berdasarkan BPS. Data mengenai rumah tangga juga dari mereka. Jadi saya rasa BPS tetap berpegang kepada integritas dari datanya," katanya.

Sedangkan Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjamin data-data yang dikeluarkan pihaknya menggunakan standar internasional yang universal dan dapat diuji kesahihannya. "Kan ada standar internasional. Data-data pendukungnya juga sudah oke. Udah semua. Pendukungnya sudah mantaplah itu," kata Amalia.

Terkait beberapa indikator ekonomi yang menunjukkan adanya penurunan dan perbedaan dengan dasar yang digunakan BPS, Winny, panggilan akrab Amalia, mengaku pihaknya memiliki metodologi pengumpulan data yang bisa dipertanggungjawabkan,

BPS memiliki tenaga survei yang tersebar seluruh Indonesia. Pengambilan sampel juga bisa dipertanggungjawabkan, dan respondennya 76.000 orang.

Misalnya dari tenaga pengumpul data, BPS memiliki tenaga survei yang tersebar seluruh Indonesia. Pengambilan sampel juga bisa dipertanggungjawabkan. “Kita ada 20.454 pegawai. Semuanya turun (melakukan pendataan),” katanya.

Selain itu, ia juga mempertanyakan perbandingan data BPS dengan data seperti Purchasing Manager Index (PMI)  dari institusi lain yang pengumpulan datanya belum tersebar dan komposisi yang terbatas. Beda dengan yang dilakukan BPS.

Mengenai dimasukkannya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kawasan Industri, menurut Winny, hal itu juga bukan hal baru. Namun bila spesifik ke sebuah kawasan, itu merupakan upaya pemutakhiran data.

Foto udara suasana Terminal Multipurpose Batang (TMB) saat kunjungan Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industropolis Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Jumat (8/8/2025). (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra)

“Kita punya pendataan rutin. Kita tiap bulan punya survei industri besar, dan sedang. Di sisi lain, kan, namanya setiap pendataan itu ada proses peningkatan kualitas, ya wajar dong,” ungkapnya.

Mengenai perhitungan pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) yang disusun BPS, juga bisa dipertanggungjawabkan metodenya, karena sudah mengikuti aturan internasional.

“Menghitung PDB itu ada sistem, ada pakem, gitu kan, harus diikuti. Namun, World Bank sendiri bilang untuk menghitung tingkat kesejahteraan di suatu negara, diukur pakai National Poverty Line,” ungkapnya.

Soal kontroversi akibat temuan BPS terkait pertumbuhan, Winny menyebut, hal itu seharusnya tidak terjadi jika banyak orang melihat hasil perhitungan BPS itu dengan kacamata data sosial ekonomi yang sangat tergantung pada konteks di lapangan.

Karena itu, Winny mendorong agar masyarakat punya literasi soal statistik. “Mari kita cermati datanya dengan bijak dan hati-hati. Jangan kemudian terpengaruh oleh persepsi. Lihat data itu tidak boleh sepotong,” ujarnya.

Penulis: Mukhlison, Gianie, Harits Arrazie, dan Dian Amalia Ariani