Menahan Kelas Menengah Indonesia Tidak Turun Kelas (1)

Guncangan ekonomi akibat kombinasi dari pandemi Covid-19 dan disrupsi teknologi telah membuat kurva kelas menengah Indonesia menurun. Kelompok kelas menengah rentan tergelincir ke jurang kemiskinan. Indonesia menghadapi jalan terjal menuju negara berpendapatan tinggi.

Menahan Kelas Menengah Indonesia Tidak Turun Kelas (1)
Pencari kerja mencari informasi lowongan pekerjaan di salah satu stan pada pameran bursa kerja di Gedung Sabuga, Bandung, Jawa Barat, Rabu (8/10/2025). Foto: Antara/Raisan Al Farisi/bar.
Daftar Isi

Tim SUAR menggali pemikiran para pengambil keputusan, pemimpin perusahaan, serta pengamat ekonomi terkait kondisi penduduk kelas menengah Indonesia yang semakin sulit sejahtera melalui Survei Semesta Dunia Usaha.

Highlight:

  • Penduduk yang masuk kelompok kelas menengah di Indonesia belum mencapai status sejahtera (76,3%). Alasannya, daya beli masih rendah (44,8%) dan kondisi tabungan yang terbatas (24,1%).
  • Kelompok kelas menengah ini juga masih sulit mendapatkan pekerjaan formal dan penghasilan yang layak (89,5%).
  • Kelompok kelas menengah ini belum mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah (76,3%).
  • Kebijakan yang dianggap dapat membantu kelas menengah menjadi lebih sejahtera antara lain menyediakan lapangan kerja formal (31,6%) dan memberi insentif atau kemudahan pajak (26,3%).
  • Pemerintah perlu memperluas cakupan perlindungan sosial agar tidak hanya menyasar kelompok miskin, tapi juga kelas menengah.

Sebelum pandemi Covid-19 menyerang di tahun 2020, Indonesia tumbuh sebagai salah satu negara dengan perekonomian yang menjanjikan. Selama lebih dari 50 tahun, perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata 5,6% per tahun. Tahun 2019, pendapatan per kapita Indonesia sudah mencapai 4.106 dollar Amerika Serikat (AS). Tingkat kemiskinan pun berhasil ditekan ke angka 9,2%.

Sejalan dengan itu, kelompok kelas menengah Indonesia pun berkembang. Di tahun 2019, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan satu dari lima orang Indonesia termasuk dalam kelompok kelas menengah. Jumlahnya sebanyak 57,33 juta jiwa atau 21,45%.

Penduduk miskin (poor) dan rentan miskin (vulnerable) yang berhasil keluar dari jurang kemiskinan ada yang tidak langsung naik kelas masuk ke kelompok kelas menengah, tetapi masuk ke dalam kelompok menuju atau calon kelas menengah yang disebut juga sebagai kelompok aspiring middle class. Jumlahnya saat itu sekitar 115 juta jiwa. Jika perekonomian terus membaik, mereka akan naik kelas.

Kelompok kelas menengah ini menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama dari segi konsumsi. Konsumsi pada kelompok ini tumbuh 12% per tahun sejak 2002 dan mewakili hampir setengah dari seluruh konsumsi rumah tangga di Indonesia.

Kelas menengah dengan pendidikan dan keterampilan yang tinggi juga mampu menciptakan lapangan kerja.

Kelompok kelas menengah umumnya adalah penduduk dengan pendidikan dan keterampilan yang lebih baik. Mereka biasanya bekerja sebagai pekerja kerah putih di sektor formal dan kebanyakan tinggal di daerah perkotaan. Dengan pendidikan dan tingkat keterampilan yang tinggi, tak sedikit yang kemudian menjalankan bisnis sendiri atau menjadi wirausaha. Sehingga, mereka juga menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.

Dengan potensi besar kelas menengah seperti itu, harapan Indonesia menjadi maju terbuka lebar. Sayangnya, pandemi Covid-19 membuyarkan harapan tersebut. Tahun 2020, jumlah kelas menengah menurun seiring penurunan pendapatan per kapita. Angka kemiskinan juga meningkat kembali.

Sejak saat itu jumlah kelas menengah turun secara gradual. Di tahun 2021 jumlahnya menjadi 53,83 juta jiwa (19,82%). Tahun-tahun berikutnya jumlahnya terus menyusut hingga tahun 2024 menjadi 47,85 juta jiwa (17,13%). Penurunan ini diikuti dengan berkurangnya jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal.

Sebelum pandemi, jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal berdasarkan data BPS adalah sebanyak 44,12% dari total penduduk yang bekerja. Akibat pandemi, di tahun 2020 jumlah pekerja di sektor formal turun menjadi 39,53%. Setelah perekonomian mulai pulih dari pandemi, jumlah yang bekerja di sektor formal pun bertambah. Sayangnya, pertambahannya sangat lambat, sehingga kondisinya belum kembali seperti saat sebelum pandemi. Tahun 2024, jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal sebanyak 42,05%. 

Kelas menengah masih sulit sejahtera

BPS menggunakan acuan Bank Dunia dalam mengelompokkan penduduk berdasarkan pengeluaran. Kelompok kelas menengah adalah rumah tangga yang pengeluarannya dalam sebulan berkisar 3,5–17 kali angka garis kemiskinan. Dengan garis kemiskinan tahun 2024 sebesar Rp 595.242 (September), maka pengeluaran kelompok kelas menengah Indonesia adalah berkisar Rp 2 juta–Rp 10 juta per kapita per bulan.

Sementara, kelompok calon kelas menengah (aspiring middle class) adalah kelompok dengan pengeluaran 1,5-3,5 kali garis kemiskinan atau berkisar Rp 900.000–Rp 2 juta per kapita per bulan.

Dengan besaran pengeluaran tersebut kelompok kelas menengah Indonesia, menurut pendapat banyak ahli ekonomi, adalah kelompok yang masih jauh dari sejahtera. Pasalnya, jumlah penghasilan rumah tangga yang berstatus kelas menengah biasanya relatif sama dengan pengeluaran. Sehingga, mereka kesulitan untuk menabung. Pengeluaran terbesar kelompok ini biasanya adalah untuk konsumsi pangan, membayar pajak, biaya pendidikan anak, dan cicilan perumahan.

Potret kelas menengah yang sulit sejahtera ini juga diperkuat oleh survei yang dilakukan oleh Tim SUAR.

Menurut mayoritas responden survei, penduduk kelas menengah Indonesia belum sejahtera (76,3%). Alasannya, daya beli yang masih rendah (44,8%) dan kondisi tabungan yang terbatas (24,1%). Alih-alih menjadi sejahtera dan bergerak menuju status berpendapatan tinggi, kelas menengah Indonesia terpaksa hidup dalam fenomena “mantab” alias makan tabungan.

Sejumlah alasan lain juga mengemuka, seperti masih banyak yang bekerja di sektor informal, kondisi sebagian masyarakat yang sulit mendapatkan pendidikan tinggi, banyaknya tekanan ekonomi, dan perhatian yang minim dari pemerintah.

Minimnya perhatian pemerintah terhadap penduduk kelas menengah bisa dilihat dari kelompok ini yang tidak dilindungi oleh jaminan sosial dan tidak mendapatkan bantuan sosial karena tidak memenuhi kriteria. Selain itu, mereka juga menghadapi beban ekonomi karena kenaikan pajak.

Sejak 1 April 2022, pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% untuk meningkatkan pendapatan negara. Pemerintah secara bertahap berencana menaikkan tarif PPN. Semula direncanakan per 1 Januari 2025 akan ada kenaikan PPN menjadi 12%, meski kemudian dibatalkan atas perintah presiden.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam Pasal 7 ayat (3) menjelaskan bahwa pemerintah pusat dapat mengubah tarif PPN hingga maksimal 15%.

Langkah pemerintah menaikkan PPN itu dilandaskan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pasal 7 ayat (3) bahkan menjelaskan bahwa pemerintah pusat dapat mengubah tarif PPN hingga batas maksimal 15% dan minimal 5%. Pelaksanaannya akan diturunkan melalui Peraturan Pemerintah.

Tekanan ekonomi yang dialami kelompok kelas menengah karena minimnya perhatian pemerintah juga terlihat dari kerentanan kelompok ini terhadap kenaikan harga-harga, terutama harga pangan. Porsi terbesar dari konsumsi kelas menengah bawah dan orang miskin adalah pangan, khususnya beras. Kenaikan harga beras yang biasanya juga diikuti oleh harga-harga kebutuhan lain akan semakin menekan kehidupan kelompok menengah.

Inflasi yang tinggi semakin menggerus daya beli kelas menengah yang penghasilannya terbatas. Kecilnya penghasilan kelas menengah disebabkan oleh keterbatasan akses mereka ke pekerjaan di sektor formal.

Hal ini pun diakui oleh narasumber survei. Mayoritas narasumber sepakat menyatakan bahwa penduduk kelas menengah sulit mendapatkan pekerjaan formal dan penghasilan yang layak (89,5%). Kondisi ini tidak lepas dari banyaknya pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja dalam setahun terakhir.

Menurunnya jumlah kelas menengah Indonesia sejak masa pandemi hingga saat ini sesunguhnya memberi sinyal bahwa kerja pemerintah belum fokus pada kelompok yang menjadi mesin penggerak pertumbuhan ekonomi. Padahal, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8%.

Jika kebijakan pemerintah tidak diarahkan untuk memperbaiki kondisi kelas menengah, maka roda yang akan memutar perekonomian akan bekerja lebih berat. Oleh sebab itu, perlu strategi khusus untuk menahan kelompok kelas menengah tidak turun kelas.

Membantu kelas menengah

Menurut narasumber responden, kebijakan yang dianggap dapat membantu kelas menengah menjadi lebih sejahtera antara lain adalah menyediakan lapangan kerja formal (31,6%) dan memberi insentif atau kemudahan pajak (26,3%).

Penciptaan lapangan kerja di sektor formal akan menyerap tenaga kerja lebih banyak dan memberikan penghasilan yang lebih baik. Hal itu akan meningkatkan daya beli masyarakat. Stabilitas harga pangan juga perlu dijaga dengan menjamin kelancaran ketersediaan pasokan, sehingga konsumsi bisa bervariasi tidak semata untuk kebutuhan pangan.

Meningkatnya konsumsi masyarakat tentunya akan menggerakkan perekonomian sehingga pertumbuhan bisa tinggi. Namun, kondisi yang baru membaik tidak harus dibebani dengan kenaikan pajak. Perlu ada ruang bagi kelas menengah untuk menabung sehingga terjadi akumulasi aset. Dengan demikian, perlahan kondisi kelas menengah akan membaik dan menjadi sejahtera.

Sebanyak 10,5% narasumber berpendapat kelas menengah juga perlu mendapatkan bantuan sosial serta subsidi pangan/non-pangan seperti halnya yang diterima oleh penduduk miskin. Kebijakan ini tentunya harus menyesuaikan dengan kondisi keuangan pemerintah karena akan terkait dengan alokasi anggaran belanja.

Selain itu, penduduk kelas menengah juga perlu mendapatkan program pelatihan dan pengembangan diri (7,9%). Hal ini tak lain agar mereka memiliki posisi tawar yang tinggi dan dapat memperluas akses mendapatkan pekerjaan di sektor formal.

Pengunjung mencari informasi tentang lowongan kerja pada Jakarta Utara Job Festival 2025 di Gedung Serbaguna Gelora Sunter, Jakarta, Selasa (14/10/2025). Foto: Antara/Ika Maryani/hma/nym.

Metodologi dan profil responden

Survei Semesta Dunia Usaha dilakukan pada 9 September–25 September 2025. Sebanyak 38 narasumber (responden) dipilih secara purpossive sampling dari kalangan dunia usaha dan pengamat ekonomi. Dari kalangan dunia usaha, posisi narasumber beragam, mulai dari direktur, direktur utama, hingga owner.

Dari segi pendidikan, sebagian besar responden adalah berpendidikan S1 (50%) dan pascasarjana S2/S3 (42,1%).

Penulis: Gianie

Author