Memimpin di Saat Genting

Di kala masyarakat resah, tentu, tugas pemimpin adalah mencari jalan keluar agar kegalauan itu mereda.

Ketika dunia sedang terbakar, di mana seorang pemimpin harus berdiri? Mencari kambing hitam, itu bukan kebijakan.

Di kala masyarakat resah, tentu, tugas pemimpin adalah mencari jalan keluar agar kegalauan itu mereda. Saat krisis memuncak, saatnya bertanya ke diri sendiri, apa yang sebenarnya terjadi.

Kehidupan di zaman kini sudah berubah menjadi jejak-jejak yang berputar cepat, dinamis, berkejar-kejaran. Krisis bukan lagi peristiwa luar biasa, ia telah menjadi lanskap harian.

Namun ironisnya, kadang ada pemimpin, atau tokoh publik yang anti kritik, tone deaf terhadap suara rakyat, apatis terhadap penderitaan, dan minim sense of crisis. Sudah begitu, ia lupa bagaimana jadi pemimpin, jadi orang disegani di tengah rakyat, lalu menantang mereka yang memberikan masukan kepadanya.

Maka, jangan sampai kita menjadi pemimpin atau publik figur yang  berdiri di menara gading, jauh dari denyut nadi realitas. Dalam tradisi filsafat, kritik bukanlah bentuk perlawanan, melainkan bentuk cinta terhadap kebenaran.

Guru filsafat dari Yunani, Socrates, misalnya, percaya bahwa hidup yang tidak diperiksa adalah hidup yang tidak layak dijalani. Kritik adalah cara masyarakat memeriksa pemimpinnya—bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk menjaga agar kekuasaan tetap manusiawi.

Mendengar suara yang ia pimpin

Pemimpin yang anti kritik menolak cermin. Ia lebih memilih bayangannya sendiri daripada wajah realitas. Dalam konteks ini, sejarawan sekaligus filsuf Jerman-Amerika Hannah Arendt mengingatkan kita bahwa banalitas kejahatan lahir bukan dari niat jahat, tetapi dari ketidaksediaan berpikir—dari rutinitas yang tak pernah dikritisi.

Amanah jadi pemimpin adalah mendengar suara yang ia pimpin, peka terhadap suara-suara kecil yang sedang merintih. Ketika rakyat bersuara tentang kelaparan, ketidakadilan, atau kehilangan harapan, itu bukan hanya sekadar keluhan orang-orang yang perlu bantuan, melainkan juga panggilan untuk bertindak seorang pemimpin.

Sensitivitas menanggapi krisis bukanlah paranoia, melainkan kepekaan terhadap perubahan dan penderitaan. Pemimpin yang tidak memiliki sense of crisis akan terus berbicara tentang stabilitas ketika rakyat berbicara tentang perut yang kosong. 

Sensitivitas menanggapi krisis bukanlah paranoia, melainkan kepekaan terhadap perubahan dan penderitaan.

Kepemimpinan bukan soal jabatan, tetapi soal jiwa. Kritik terhadap pemimpin bukanlah serangan, tetapi panggilan untuk kembali kepada esensi: mendengar dengan hati, berpikir dengan nurani, dan bertindak dengan keberanian.

Karena pada akhirnya, pemimpin bukan hanya ditanya tentang apa yang ia capai, tetapi tentang siapa yang ia lindungi, siapa yang ia dengarkan, dan siapa yang ia tangisi. 

Di saat genting, kepemimpinan yang efektif perlu membaca situasi dengan jeli, tetap tenang dan mengelola kecemasan, mengambil tindakan yang tepat dan bijaksana, serta mengutamakan keselamatan tim dan nilai-nilai kemanusiaan. 

Kualitas seperti integritas, keberanian, dan kemampuan beradaptasi juga sangat krusial untuk menghadapi tantangan dan mengubah krisis menjadi peluang, seperti yang dicontohkan para pemimpin besar.