Memasuki penerapan tarif masuk ekspor Amerika Serikat, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Yoseph Billie Dosiwoda mengaku belum bisa memperkirakan seberapa besar dampaknya ke industri sepatu di dalam negeri. Yang jelas, kata dia, akan sangat membebani industri sektor ini.
“Yang pasti akan berat,” katanya. Aprisindo saat ini masih menunggu informasi lebih lanjut dari para eksportir setelah tarif resmi diterapkan.
Billie mengaku sedang mengumpulkan info dari anggota yang melakukan ekspor, khususnya ke Amerika Serikat terkait dampak pengenaan tarif ini. Sebagai industri padat karya yang menyerap sekitar 960.000 pekerja langsung dan melibatkan 1,3 juta orang dalam ekosistem pendukungnya, keberlangsungan sektor ini sangat dipengaruhi oleh tarif perdagangan luar negeri.
Pada 2024, ekspor alas kaki Indonesia ke Amerika Serikat saja mencapai US$2,39 miliar.
Untuk bisa mengantisipasi dampak tarif ini Aprisindo juga membandingkan posisi tarif Indonesia dengan negara pesaing. “Tapi kalau kita lebih tinggi dari Vietnam yang lebih rendah, memang percuma. Kita tetap kalah. Intinya, tarif kita harus lebih rendah dari negara pesaing, seperti Vietnam, Kamboja, Taiwan, bahkan Cina dan Hong Kong,” ujar Billie.
Ia menambahkan, buyer internasional akan mempertimbangkan kualitas produk, bukan hanya tarif. “Pekerja Indonesia memiliki keunggulan kualitas dalam membuat alas kaki dengan telaten dan rapi,” katanya.
Menurutnya, tarif masuk yang moderat dengan kualitas tinggi memberi ruang bagi Indonesia merebut peluang pasar. Aprisindo berharap kebijakan tarif ini mendorong percepatan reformasi struktural dalam negeri.
Billie menekankan perlunya deregulasi lintas kementerian dan lembaga secara cepat dan terkoordinasi. Ia menyinggung pentingnya kemudahan dalam perizinan, Amdal, SNI, akses energi terbarukan, ekspor-impor, serta kepastian regulasi terkait upah minimum.
Kami butuh bantuan insentif dari pemerintah. Diskon listrik, keringanan pajak, sampai akses ke energi terbarukan seperti solar panel yang terjangkau.
Selain itu, insentif juga diperlukan andai tarif 19% berlaku bagi Indonesia. “Kami butuh bantuan insentif dari pemerintah. Diskon listrik, keringanan pajak, sampai akses ke energi terbarukan – seperti solar panel yang terjangkau di awal. Itu bisa bantu menutup beban produksi akibat tarif ini,” kata Billie.
“Kalau negara lain bisa produksi lebih murah, buyer pasti akan lari ke sana. Kita butuh strategi agar biaya produksi kita tetap kompetitif,” tambahnya.
Negosiasi tetap dilakukan

Pemerintah Amerika Serikat pada 7 Agustus 2025 lalu resmi mematok tarif masuk sebesar 19% buat produk-produk dari Indonesia. Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan, meski sudah berlaku, hingga saat ini pemerintah masih berupaya merayu Amerika Serikat agar memberikan tarif yang lebih kecil bagi sejumlah komoditas Indonesia yang tidak diproduksi negara tersebut.
“Diusahakan 0 persen,” kata dia. Ia menyatakan pemerintah menargetkan negosiasi bisa rampung sebelum 1 September 2025.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, tarif 19% yang dikenakan kepada Indonesia termasuk salah satu yang terendah di Asia Tenggara, di luar Singapura yang mendapat tarif 10%.
Sehingga, Indonesia tetap punya peluang besar bersaing di pasar ekspor AS, terutama dibandingkan dengan India yang menjadi pesaing utama di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT). India dikenakan tarif 25% oleh AS. "Kalau level of playing field-nya sama, berarti yang ditingkatkan daya saing saja dan beberapa komoditas kita yang memang AS tidak produksi diberi tarif lebih rendah," ucap Airlangga.
Di sisi lain, beberapa komoditas Indonesia juga ada yang mendapat tarif nol persen, seperti konsentrat tembaga (copper concentrate) dan katoda tembaga (copper cathode). Saat mengumumkan tentang pengenaan tarif buat Indonesia di angka 19%, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengaku pihaknya tertarik untuk membeli tembaga dari Indonesia karena mutunya yang bagus.
Namun, tawaran Amerika Serikat itu memang tak lalu membuat perusahaan produsen tembaga di Indonesia PT Freeport Indonesia (PTFI) langsung tertarik. Perusahaan yang mayoritas sahamnya kini dikuasai oleh negara ini menyatakan tetap memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pasar domestik.
"Prioritas utama perusahaan tetap pada pemenuhan kebutuhan industri dalam negeri," ucap VP Corporate Communications Freeport Indonesia Katri Krisnati dikutip dari Antara.
Selain untuk pasar domestik, Katri juga menjelaskan bahwa produk Freeport Indonesia saat ini dipasarkan di Asia, bukan Amerika Serikat. Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas menyatakan, saat ini pasar terbesar ekpor tembaga perusahaannya adalah ke Jepang.
Bahkan, meski masuk Amerika tak akan dikenai tarif, Freeport belum punya inisiatif menggeser tujuan pasarnya. "Untuk memindahkan pasar? Kalau ke Amerika itu jauh, (butuh waktu pengiriman) 45 hari. Sementara kalau ke Cina itu cuma 7 hari pengapalan, dan Cina mengonsumsi 50% dari copper di dunia ini," kata Tony.
Dapat kesepakatan lebih baik
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengakui penurunan tarif impor resiprokal, dari yang awalnya 32% menjadi 19%, secara tidak langsung meningkatkan daya saing produk tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia ke Amerika Serikat. Dengan kata lain, produk TPT Indonesia lebih kompetitif.
Apalagi, Amerika Serikat sudah menjadi mitra dagang strategis untuk produk ekspor TPT selama puluhan tahun, dengan pangsa pasar hampir mencapai 40%. Jemmy menjelaskan, pakaian dan aksesorisnya baik rajutan maupun non-rajutan menjadi komoditas ekspor TPT yang paling diminati di Amerika Serikat.
Selama ini, produk TPT Indonesia di pasar Amerika Serikat bersaing dengan produk India dan Vietnam, namun tarif yang dikenakan AS ke India dan Vietnam cukup tinggi dibandingkan dengan Indonesia.
Vietnam dikenai tarif impor 20%, sementara itu India dikenai tarif impor 50%; momentum ini bisa dimanfaatkan Indonesia dengan terus meningkatkan kualitas produk TPT sehingga makin menarik konsumen AS. “Indonesia bisa dibilang beruntung, ya, bisa mendapatkan tarif impor 19% jika dibandingkan tarif kompetitor,” ujar dia kepada SUAR, 6 Agustus 2025.
Meski API juga meminta pemerintah agar terus mewaspadai lonjakan produk impor dari negara lain yang masuk ke Indonesia, bisa jadi produk dari Vietnam dan India. Pemerintah perlu tetap melindungi pengusaha dalam negeri dan membatasi produk impor yang masuk.
Sedangkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, nasib Indonesia cukup baik karena tarif impornya mengalami penurunan dari 32% menjadi 19%. Gapki masih berharap pemerintah terus melakukan negosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat agar menurunkan tarif impor menjadi 0%.
Berdasarkan data GAPKI dalam lima tahun terakhir, ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat menunjukkan tren peningkatan.
Berdasarkan data Gapki dalam lima tahun terakhir, ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat menunjukkan tren peningkatan. Pada 2020,volume ekspor mencapai 1,5 juta ton dan meningkat menjadi 2,5 juta ton pada 2023, meskipun sempat sedikit menurun ke 2,2 juta ton pada 2024. Nilai ekspor sawit pada 2024 mencapai US$2,9 miliar, dengan pangsa pasar Indonesia di AS mencapai 89%.
“Minyak sawit menjadi bahan utama industri pangan di Amerika, seperti margarin, yang tidak bisa digantikan oleh minyak nabati lain,” ujar dia kepada SUAR.
Tarif 19% tetap menekan
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita menilai, penurunan tarif dari 32% menjadi 19% yang dikenakan Amerika Serikat tetap menjadi tekanan baru bagi pelaku industri. “Yang biasanya enggak bayar 19 %, dia jadi bayar,” ujarnya.
Meski mengalami penurunan, tarif itu tetap berdampak terhadap daya saing produk Indonesia.
Menurut Redma, penurunan daya saing ini terjadi karena pembeli harus menanggung tarif tambahan. Namun, karena banyak negara lain juga terdampak, termasuk yang tarifnya lebih besar, tingkat persaingan tidak berubah secara drastis.
Dalam kondisi seperti itu, menurutnya, perhatian justru perlu diarahkan pada penurunan volume impor Amerika secara keseluruhan. “Karena kuenya jadi kecil,” kata dia.
Ketika impor Amerika turun, pasar yang biasanya diperebutkan oleh Indonesia, Cina, India, dan Vietnam pun ikut menyusut. Konsumen di negara tujuan ekspor akan membayar lebih mahal, dan itu berpotensi menekan permintaan.
Jika pembeli tidak mampu membeli dalam jumlah normal akibat tarif, maka mereka akan mengurangi impor. Redma menyimpulkan, “secara keseluruhan, impor Amerika akan berkurang.”
Faktor lain: dinamika persaingan
Soal dampak tarif buat industri serat dan benang filamen, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita belum bisa memastikan apakah ekspor Indonesia akan otomatis turun. Ia menjelaskan semua sangat bergantung pada dinamika persaingan.
Bila negara pesaing seperti Cina dan India terkena tarif lebih tinggi, maka Indonesia berpeluang mengambil alih ceruk pasar yang mereka tinggalkan. “Sejauh mana kita bisa merebut market-nya negara kompetitor, itu yang menentukan bisa naik, bisa tetap, atau bisa turun,” katanya.
Ia memberi ilustrasi, jika Cina menguasai 60% pasar, maka saat pasar itu menyusut dan porsi Cina turun, akan terbuka ruang kosong di pasar. Ruang itu, menurut Redma, menjadi ajang rebutan. Indonesia bisa masuk menggantikan ruang kosong itu jika mampu bergerak cepat dan kompetitif.
Redma memetakan bahwa di sektor hulu, pesaing Indonesia dalam merebut pasar yang ditinggalkan Cina mencakup Korea, Taiwan, Brasil, dan Turki. Sementara di sektor hilir, Indonesia akan bersaing dengan Vietnam, Kamboja, dan Sri Lanka. Hasil akhir ekspor Indonesia ke AS akan sangat bergantung pada persaingan ini.
Dengan demikian, Indonesia, kata Redma, dihadapkan pada situasi kompleks. Di satu sisi, potensi penurunan ekspor tetap terbuka. Di sisi lain, peluang untuk tumbuh juga ada jika pasar yang ditinggalkan pesaing bisa diisi.
Sektor hilir dinilai paling rentan karena nilai ekspornya ke AS sangat besar. “Harusnya bisa naik, sih,” katanya, merujuk pada potensi pengambilalihan buyer yang biasa bertransaksi dengan Cina.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Redma mengatakan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat untuk produk hilir pada 2024 mencapai sekitar US$4,8 miliar. Dari jumlah itu, sekitar 60%-nya berasal dari produk garmen atau pakaian jadi.
Nilai itu setara hampir US$3 miliar. Sektor ini, menurut Redma, menjadi area paling kritis dalam menghadapi kebijakan tarif.
Cari potensi pasar pengganti
Menjajaki pasar alternatif juga jadi strategi yang perlu dijajaki, meski melakukan hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ketika Cina kehilangan pasar Amerika Serikat akibat tarif tarif tinggi, mereka juga akan mencari pasar lain. Hal ini menimbulkan potensi benturan langsung dengan Indonesia di wilayah baru. “Kita harus bersaing dengan barang-barang Cina,” ujarnya.
Barang Cina dikenal lebih murah. Ketika bersaing di pasar baru, keunggulan harga ini menjadi tantangan. Redma menyebut satu-satunya pasar yang relatif bisa dikuasai adalah pasar domestik. Namun, di dalam negeri pun, barang Cina tetap menjadi ancaman karena tidak adanya perlindungan yang efektif.
“Mereka itu overstock. Karena ke AS kena tarif tinggi, bukan tidak mungkin mereka alihkan pasarnya ke Indonesia,” ujarnya.

Di pasar domestik, sebagian besar produk didominasi oleh industri kecil menengah (IKM). Jika barang murah dari luar masuk tanpa hambatan, maka IKM akan terkena dampak langsung. “Ini harus jadi perhatian pemerintah,” kata Redma. Ia menekankan pentingnya perlindungan bagi produsen dalam negeri.
Selama ini, pemerintah memiliki berbagai regulasi pembatasan impor seperti Permendag 8, 36, dan revisi terbaru Permendag 17. Namun, Redma menilai semua aturan itu belum berjalan efektif. Ia menyebut dalam lima tahun terakhir, impor legal justru terus meningkat. “Pemerintah punya tools, tapi tools itu yang mematikan industri dalam negeri,” ujarnya.
Kuota impor yang diberikan terus naik, meski utilisasi produsen lokal justru turun.
Kementerian Perindustrian sebagai lembaga yang mengatur kuota impor juga dinilai tidak menjalankan fungsi perlindungan. Redma mengatakan kuota impor yang diberikan terus naik, meski utilisasi produsen lokal justru turun.
Implikasinya kembali akan dirasakan IKM. Kata Redma, akan ada yang stoknya menumpuk, ada yang bangkrut, dan ada pula yang hanya mampu mengoperasikan sebagian mesin. “Ada yang mesin lima, cuma nyala dua,” katanya.
Untuk itu, APSyFI menilai kebijakan proteksi harus dilaksanakan secara serius, seperti anti-dumping dan safeguard. Kedua instrumen ini memungkinkan pemerintah menetapkan bea masuk tambahan terhadap barang impor yang dijual di bawah harga pasar. “Apapun tools-nya, kalau pemerintahnya enggak serius, ya enggak jalan,” ucap Redma
Selain proteksi, Redma menilai pemerintah perlu memberikan insentif agar industri bisa bersaing dengan produk impor. Insentif yang efektif menurutnya adalah yang langsung menurunkan biaya produksi, seperti penghapusan PPN, subsidi listrik, gas, dan bunga. Ia menilai pemotongan PPh tidak cukup berdampak bagi industri. Pemerintah juga perlu menghitung besaran insentif yang realistis agar daya saing tetap terjaga.
Mau tak mau ekonomi melemah
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyebut penerapan tarif 19% dari Amerika Serikat terhadap produk Indonesia berisiko menurunkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan simulasi pemodelan yang dilakukan tim Indef, dampak dari kebijakan tarif itu justru bukan positif. “Pertumbuhan ekonomi akan turun menurut simulasi itu,” ujar Eko.
Menurutnya, beban tambahan akibat tarif dan penurunan daya beli masyarakat Amerika menjadi penyebab utama hal tersebut. Produk Indonesia akan menjadi lebih mahal di pasar, sehingga permintaan ikut menurun. Hal ini berpengaruh langsung terhadap performa ekspor dan capaian ekonomi nasional.
Eko menyampaikan bahwa kenaikan ekspor dalam beberapa waktu terakhir lebih disebabkan oleh fenomena front loading. Pelaku usaha di Amerika berupaya mengamankan stok sebelum tarif diberlakukan. Namun dalam jangka menengah, tren ekspor justru akan turun karena permintaan menyusut.

Kajian Indef itu menggunakan skenario tarif 19%. Eko menyebut hasilnya berbeda dengan simulasi Dewan Ekonomi Nasional yang menyatakan tarif bisa menaikkan pertumbuhan hingga 0,5%. “Saya pribadi merasa agak aneh kalau ada kesimpulan bahwa tarif ini bisa menaikkan pertumbuhan,” katanya.
Sektor industri padat karya disebut Eko menjadi yang paling rentan terkena dampaknya. Industri alas kaki dan garmen menjadi contoh sektor yang berisiko menurun karena permintaan dari Amerika berkurang. Penurunan ini akan makin terasa jika kondisi ekonomi negeri Paman Sam itu memburuk.
Menurut Eko, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi Amerika hanya akan tumbuh 1,8% tahun ini, turun dari 2,8% tahun lalu. Dengan daya beli yang lemah, pembelian barang impor akan dikurangi. Di saat yang sama, Indonesia juga menghadapi tekanan dari sesama negara pengekspor di Asia.
Malaysia, misalnya, memiliki tarif ekspor yang serupa untuk produk sawit dan bisa mengambil alih sebagian pasar. Hal serupa terjadi dengan Vietnam yang hanya selisih 1% dari tarif Indonesia. Selisih itu dinilai tidak cukup untuk menggeser dominasi Vietnam di pasar Amerika.
Dalam jangka pendek, pemerintah disarankan fokus pada insentif fiskal untuk menjaga daya saing.
Dalam jangka pendek, pemerintah disarankan fokus pada insentif fiskal untuk menjaga daya saing. Potongan biaya produksi melalui diskon listrik atau keringanan pajak dinilai lebih realistis daripada pemberian subsidi langsung. “Jadi walaupun mereka nanti kena tarif, tapi biaya produksinya di sini bisa ditekan,” ujar Eko.
Eko menuturkan, strategi ini pernah diterapkan Cina untuk mengakali tarif dari Amerika. Alih-alih menurunkan tarif, Cina menurunkan beban produksi bagi industri ekspor. Dengan begitu, harga ekspor tetap kompetitif tanpa harus melanggar ketentuan perdagangan.
Mukhlison Sri Widodo, Harits Naufal Arrazie dan Ridho Sukra
Terkena Pedang Bermata Dua
Usaha mikro kecil menengah atau UMKM, yang menyumbang lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, perlu bergerak cepat agar bisa mengantisipasi dampak pengenaan tarif bagi Indonesia oleh Amerika Serikat.
Produk UMKM seperti kerajinan tangan, makanan olahan, dan tekstil menjadi lebih mahal di pasar Amerika Serikat. Konsumen Amerika bisa beralih ke produk dari negara lain yang tarifnya lebih rendah.

Karenanya terlambat beradaptasi akan meningkatkan risiko kegagalan, sedangkan langkah cepat dan strategis bisa membuka jalan bagi pertumbuhan yang lebih luas.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur mengatakan meskipun tarif impor Indonesia lebih kecil daripada negara lain tapi tetap saja tarif impor 19% ini berat bagi pelaku UMKM.
“Pelaku UMKM sangat sensitif terhadap perubahan biaya dan pemerintah harus concern terhadap kepentingan mereka,” ujar dia kepada Suar. Ia berharap pemerintah terus melakukan negosiasi agar AS menghapuskan tarif impor untuk Indonesia.
Data Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI)menunjukkan nilai ekspor mebel Indonesia (HS 9401-9403) mencapai US$2,5 miliar pada 2022 kemudian turun ke US$1,9 miliar pada 2023.

Pengamat Ekonomi dan Wakil Ketua Dewan Komisioner LPS 2023-2025 Lana Soelistianingsih menjelaskan, tarif impor resiprokal sebesar 19% ibarat Pedang Bermata Dua, yang bisa memberikan dampak di dua sisi baik negatif dan positif.
Sisi positifnya, ada beberapa sektor industri yang bisa berdaya saing seperti produk tekstil, karena pengenaan tarif impor Indonesia lebih rendah. Sisi negatifnya, pelaku industri terutama UMKM bisa berpikir dua kali untuk melakukan ekspor. “Solusinya, pemerintah pemerintah harus bisa melobi AS agar tarif impor kembali 0 persen,” ungkapnya.