Kunci Sukses Bisnis Keluarga Melintasi Generasi Ketiga

Kiat sukses Shinta Widjaja Kamdani membesarkan bisnis keluarga di Sintesa Group dan Adrianto Djokosoetono dalam memimpin Bluebird Group. Apa kunci suksesnya?

Kunci Sukses Bisnis Keluarga Melintasi Generasi Ketiga
Foto oleh Dylan Gillis / Unsplash

Bisnis keluarga bertahan hingga tujuh turunan, barangkali itu sangat jarang kesampaian atau bahkan mitos belaka. Survei Family Business Institute, seperti dikutip Kompas.com beberapa waktu lalu, mengungkap mayoritas family business hanya bertahan di generasi pertama.

Di era generasi kedua hingga keempat, kebanyakan bisnis keluarga tumbang atau gulung tikar. Hanya 30% bisnis keluarga berlanjut di generasi kedua. Adapun sebanyak 70% di antaranya lenyap atau dijual ke pihak lain.

Apalagi di tengah kondisi perekonomian yang penuh ketidakpastian, kompetisi yang ketat, dan perubahan konsumen yang kian dinamis, menjadi semakin sulit untuk meneruskan warisan dari pendiri keluarga bisnis bila tidak memiliki kemampuan beradaptasi dan terus berinovasi.

Dalam diskusi publik "Adapting the Weather: Building Business Resiliency" yang menjadi bagian acara Wealth Wisdom Permata Bank 2025 di The Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Selasa (7/10/2025), Shinta Widjaja Kamdani berbagi kisah sukses membesarkan Sintesa Group dan Adrianto Djokosoetono memimpin Blue Bird Group.

Keduanya berbagi pengalaman memimpin transformasi perusahaan keluarga masing-masing menghadapi perubahan zaman. Intinya, para penerus bisnis harus memiliki tujuan ke depan dan wawasan tata kelola berkelanjutan agar bisnis keluarga lestari hingga melampaui generasi pendiri dan pengembang.

Menurut Shinta, salah satu kiat membentuk orientasi itu adalah memastikan perusahaan keluarga tetap memiliki purpose, tujuan ke depan, di samping mengejar profit.

"Tanpa purpose, perusahaan keluarga akan terus menghadapi dibayang-bayangi ketidaksiapan generasi penerus untuk melakukan suksesi, pilihan berat antara menjaga tradisi dan mengembangkan profesionalisasi, serta kemampuan beradaptasi sambil tetap mempertahankan identitas perusahaan," ujar Shinta.

Ketiadaan purpose yang menjadi tulang punggung usaha berdampak serius. Cucu pengusaha karet ini juga memaparkan temuan riset Daya Qarsa yang mengungkapkan hanya 30% generasi kedua perusahaan keluarga yang bertahan.

Lebih jauh lagi, hanya 13% perusahaan keluarga yang berjalan sampai generasi ketiga. Artinya, tanpa memiliki purpose, perusahaan keluarga sebesar apa pun bisa menuju kebangkrutan tanpa disadari.

Shinta mengakui, saat ini generasi penerus perusahaan keluarga juga ikut menghadapi ketidakpastian akibat perubahan kebijakan perdagangan dan isu perubahan iklim. "Di dalam negeri juga menghadapi tingginya cost of doing business, serta hambatan birokrasi dan regulasi. Kita harus mengakui kekurangan-kekurangan itu," imbuhnya.

Berdasarkan temuan survei United Oversease Bank (UOB), 95% perusahaan terbuka di Indonesia adalah bisnis keluarga yang menyumbang hingga 53% PDB nasional.

Dari survei yang sama, terungkap bahwa 76% pemimpin bisnis di Indonesia, baik UMKM maupun usaha besar, adalah generasi penerus yang kini telah menjadi pengambil keputusan.

Sintesa Group yang Shinta pimpin menjadi contohnya. Didirikan sang kakek pada 1919 sebagai perkebunan karet, ayah Shinta mengubah fokus bisnis menjadi usaha distribusi barang-barang konsumen pada 1959.

Pada usia 32 tahun, di tahun 1999, Shinta menerima estafet kepemimpinan dan segera mengambil dua keputusan besar. Pertama, memperluas portofolio bisnis. Kedua, mentransformasikan perusahaan keluarga menjadi profesional dengan prinsip corporate excellence.

Kuncinya, menurut Shinta, adalah orang-orang yang bergerak di dalam perusahaan. Dulu, bisnis dan keluarga tercampur-campur sehingga perusahaan hanya ikut apa kata pemilik.

"Saya memisahkan itu dan merekrut orang-orang baru, di samping juga berpegang pada loyalitas pegawai-pegawai lama," ungkapnya.

Direktur Utama Blue Bird Group Adrianto Djokosoetono dan CEO Sintesa Group Shinta Widjaja Kamdani dalam diskusi "Adapting the Weather: Building Business Resiliency" di Jakarta, Selasa (7/10/2025). Foto: SUAR/Chris Wibisana.

Begitu halnya bagi Adrianto Djokosoetono. Mempertahankan manusia sebagai aset utama perusahaan menjadi tantangan saat dipercaya menjadi Chief Executive Officer (CEO) Blue Bird Group pada 2023 lalu.

Blue Bird telah selamat melintasi berbagai kondisi di tengah gejolak bisnis dan politik. Bahkan pernah pula terjadi sengketa perebutan aset di generasi kedua. Saat ini, dengan 24.500 armada dan 30.000 sopir serta karyawan di 20 kota di seluruh Indonesia, Blue Bird tidak bisa menjadi sekadar perusahaan taksi.

"Saya belajar bahwa menjadi yang pertama tidak menjamin Anda jadi pemenang," kisah Adrianto, yang merupakan generasi ketiga keluarga Djokosoetono.

Adrianto menyebut, Blue Bird sekarang harus melayani lebih banyak kebutuhan mobilitas pelanggan, termasuk mobilitas antarkota yang mendorong perusahaannya memutuskan untuk mengakuisisi Cititrans pada 2019.

Berbagai tantangan juga dihadapi Bluebird, khususnya saat muncul ojek daring yang kala itu merebut pangsa pasar konsumen. Namun, alih-alih berkompetisi, perusahaan yang berjuluk Si Burung Biru itu memilih melakukan co-opetition, bekerja dan bersaing bersama kompetitor.

Dia berkaca pada pengalaman menghidupkan kembali aplikasi MyBluebird yang baru diluncurkan saat pandemi Covid-19 terjadi. Padahal, investasi aplikasi mobile itu mencapai miliaran rupiah.

"Kami kembali lagi pada prinsip bahwa only happy people can make others happy," ungkapnya.

Bagi Adrianto, aset terbesar Blue Bird bukan pertama-tama armada kendaraan, tetapi para sopir dan karyawan. "Dengan menyadari itu, kami menyediakan layanan kesehatan, pelatihan, dan pendidikan gratis untuk istri dan anak-anak sopir, sehingga suami dan ayah mereka fokus melayani pelanggan," ujarnya.

Tunjuk dan buktikan

Shinta dan Adrianto berbagi kegelisahan yang sama. Sebagai bagian dari 13% generasi ketiga yang mempertahankan usaha keluarga membuat mereka waswas jika mereka tidak mampu meneruskan bisnis ke generasi berikutnya. Karena itu, selain mempersiapkan kader dari keluarga, mereka memiliki kunci yang serupa.

Bagi Shinta, kunci itu adalah menampilkan bukti kapabilitas kepemimpinan kepada generasi pendahulu. Ketika menduduki jabatan CEO pada 1999, Shinta bahkan mencantumkan job description untuk sang ayah yang dia gantikan kedudukannya, agar intervensi generasi pendahulu tidak mencampuri masa depan bisnis yang sedang dikemudikannya.

"Founders don't let go, maka itu saya belajar juga dari perusahaan lain untuk tidak melupakan tata kelola korporasi dan good governance. Jangan sampai karena ada konflik antaranggota, bisnis keluarga terbawa-bawa sampai bubar," ujarnya.

"Ketika saya berhasil memisahkan bisnis dan keluarga, maka nilai-nilai bisnis berkelanjutan yang saya bawa pun dapat diimplementasikan sepenuhnya," cetus Shinta.

Adrianto sepakat. Generasi pendiri yang merasakan sulitnya masa-masa awal perusahaan bukan hanya kesulitan mempercayai generasi penerusnya, tetapi juga khawatir.

Menunjukkan performa dan kinerja profesional terbaik menjadi syarat mutlak. Adrianto sendiri membutuhkan waktu 23 tahun sejak bergabung di Bluebird sebagai management trainee, menjadi kepala pool selama 7 tahun, sebelum ditarik ke kantor pusat.

"It takes time to prove. Sejak masih menjadi kepala pool hingga jadi CEO, saya masih membaca laporan keluhan pelanggan yang kami terima, sambil memastikan pelayanan hari ini dan besok harus lebih baik dari kemarin," ungkap Adrianto.

"Saya pikir itu kunci membuat manajemen, yaitu memastikan value tidak hanya di kalangan keluarga, tetapi juga bagi seluruh perusahaan," lanjutnya.

Baca juga:

Jurus Dinasti β€œDjarum” Langgeng hingga Generasi Ketiga
Tidak ada rumus tunggal untuk menjaga kelangsungan bisnis keluarga lintas generasi. Setiap keluarga memiliki tantangan, sejarah, dan jalan keluar yang berbeda.

Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Suliyanto memvalidasi pandangan kedua pengusaha besar itu. Ia menyatakan regenerasi bisnis keluarga lebih sering gagal karena faktor internal dibandingkan daya saing perusahaan itu sendiri, mulai dari menurunnya etos pewaris hingga resistansi para pendiri.

"Penerus seringkali tumbuh dalam kondisi yang lebih mapan dibandingkan perintisnya sehingga tidak mewarisi secara utuh nilai-nilai kerja keras dan kesederhanaan yang dimiliki generasi pendiri," ujar Suliyanto saat dihubungi, Selasa (7/10/2025).

Dia menambahkan, dalam situasi yang lebih pelik, konflik internal dan kurangnya profesionalisme dapat memicu perebutan bisnis keluarga secara tidak sehat.

Menurut Suliyanto, pendahulu yang memiliki pola pikir konservatif resisten terhadap perubahan lingkungan dan teknologi. Karenanya, regenerasi perlu direncanakan dengan persiapan dan pelatihan secara terencana.

"Ketika pendahulu sudah merasa tidak mampu karena alasan kesehatan, kendali bisnis tidak diteruskan secara mendadak," pungkasnya.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional