Konsumsi dan Investasi Topang Pertumbuhan Ekonomi

Ekonomi kuartal II 2025 tumbuh 5,12% secara tahunan, didukung oleh lonjakan konsumsi masyarakat selama periode Lebaran serta pertumbuhan investasi.

Konsumsi dan Investasi Topang Pertumbuhan Ekonomi
Pedagang mengayak cabai rawit di Pasar Keputran, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (2/8/2025).ANTARA FOTO/Rizal Hanafi/nym.
Daftar Isi

Di tengah kecemasan global akan perlambatan ekonomi, Indonesia justru mencatatkan pertumbuhan yang lebih tinggi dari ekspektasi. Ekonomi kuartal II–2025 tumbuh 5,12% secara tahunan, didukung oleh lonjakan konsumsi masyarakat selama periode Lebaran serta pertumbuhan investasi.

“Kinerja perekonomian triwulan II ditopang oleh konsumsi masyarakat dan investasi,” ujar Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), Moh Edy Mahmud, dalam konferensi pers, Selasa (5/8).

Ia menambahkan bahwa penguatan konsumsi ditopang oleh momentum libur panjang, aktivitas pariwisata, serta kebijakan fiskal yang menjaga daya beli.

Namun, sinyal dari lembaga internasional tetap mengandung nada kehati-hatian. Bank Dunia, OECD, dan IMF kompak memangkas proyeksi pertumbuhan Indonesia untuk tahun penuh 2025.

Bank Dunia dan OECD, misalnya, memperkirakan pertumbuhan hanya akan berada di kisaran 4,7% hingga 4,8%, lebih rendah ketimbang tahun lalu. Artinya, capaian Q2 yang impresif bisa saja menjadi puncak sesaat dalam perjalanan tahun yang masih penuh tantangan.

Momentum libur, mesin konsumsi tak mati

Fakta bahwa konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) bukan hal baru. Namun dalam konteks tahun ini, di tengah narasi melemahnya daya beli, pertumbuhan sebesar 4,97% (yoy) di sektor ini tetap memberi sinyal penting: mesin domestik masih berputar.

Kinerja ini tak lepas dari momen Hari Besar Keagamaan Nasional (HKBN), libur sekolah, dan cuti bersama yang mempercepat perputaran uang di sektor transportasi, pariwisata, hingga makanan dan minuman. Jumlah perjalanan wisatawan nusantara tumbuh 22,32%, didorong oleh lonjakan mobilitas darat dan laut.

“Mobilitas masyarakat meningkat diindikasikan oleh peningkatan jumlah penumpang angkutan rel dan laut. Hal ini sejalan dengan perayaan HKBN dan libur sekolah,” jelas Edy.

Di lain acara yang satu nafas, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menepis anggapan bahwa fenomena rombongan jarang beli (rojali) dan rombongan hanya nanya-nanya (rohana) di pusat perbelanjaan menjadi cerminan lemahnya daya beli. Menurutnya, data di lapangan justru berlawanan.

“Di tiga perusahaan sektor riil yang besar, baik pabrik maupun minimarket, penjualan tumbuh masing-masing 4,99%, 6,85%, dan 12,87% pada semester I–2025. Fakta berbeda dari isu yang ditiup-tiup,” kata Airlangga dalam pemaparannya di Konferensi Pers Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II–2025, Gedung Ali Wardhana, Kementerian Koordinator Perekonomian RI (5/8).

Airlangga ditemui wartawan usai menghadiri Konferensi Pers di Kementerian Perekonomian RI di Jakarta (05/08)

Airlangga menyebut, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia berada tepat di bawah Tiongkok yang pada periode yang sama mencatat kenaikan 5,2%.

“Beberapa negara mencatat angka di bawah kita, seperti Malaysia dan Singapura. Sementara Amerika Serikat hanya tumbuh 2%, dan Korea Selatan juga relatif rendah. Jadi, di antara negara-negara G20 dan ASEAN, kita termasuk yang tertinggi,” ujarnya.

Ia menambahkan, indikator konsumsi dan mobilitas masyarakat masih solid:

  • Konsumsi rumah tangga menyumbang 54% PDB;
  • Investasi tumbuh 6,99% (yoy);
  • Transaksi uang elektronik naik 6,26%;
  • Transaksi marketplace tumbuh 7,5% (QtoQ);
  • Kebijakan transportasi mendorong kenaikan perjalanan darat, laut, dan udara.
Paparan Airlangga mengenai analisis pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2025

Konsumsi kuat, tapi belum merata

Kendati pertumbuhan konsumsi tinggi, sebagian ekonom mengingatkan agar tidak buru-buru menganggap ini sebagai pemulihan struktural.

“Banyaknya hari libur dan perayaan keagamaan mendorong konsumsi, terutama di sektor perjalanan dan akomodasi. Insentif seperti diskon tarif kapal dan kereta juga berperan,” ujar Yusuf Rendy Manilet, ekonom CORE Indonesia, kepada SUAR melalui keterangan tertulis (5/8).

Menurutnya, jenis pertumbuhan konsumsi seperti ini biasanya didorong kelas menengah ke atas. “Kita belum bisa simpulkan ini sebagai pemulihan yang merata, apalagi untuk segmen kelas menengah bawah yang masih tertekan,” tulisnya.

Pemerintah sendiri menggelontorkan stimulus seperti bantuan sosial, subsidi upah, diskon transportasi, hingga diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja. Bank Indonesia mempertahankan BI Rate di 5,50% demi menjaga stabilitas rupiah.

PMTB: sinyal optimisme produksi?

Jika konsumsi menggambarkan kondisi permintaan, maka investasi atawa pembentukan modal tetap bruto (PMTB) menjadi cerminan dari optimisme pelaku usaha dan pemerintah terhadap masa depan ekonomi. PMTB tumbuh 6,17% (YoY), menjadi salah satu kontributor terbesar terhadap pertumbuhan PDB setelah konsumsi rumah tangga.

Pertumbuhan ekonomi ini juga didukung oleh sejumlah indikator penting. Arus investasi yang masuk, baik dari dalam maupun luar negeri, menunjukkan geliat yang lebih kuat dibanding tahun lalu. Realisasinya tumbuh di atas 11%.

Kondisi itu selaras dengan lonjakan impor barang modal yang mencapai hampir 32%, indikasi bahwa pelaku usaha tengah bersiap menambah kapasitas produksi. Pemerintah pun tak tinggal diam. Belanja modal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ikut meningkat signifikan, naik lebih dari 30%.

Dorongan dari sisi pengeluaran negara ini ikut menopang pembentukan modal tetap bruto, yang tumbuh kuat selama tiga kuartal berturut-turut.

Artinya, baik sektor swasta maupun negara sedang melakukan ekspansi kapasitas, melalui pembangunan infrastruktur, pembelian mesin, hingga pengembangan fasilitas produksi.

Menurut Yusuf, lonjakan PMTB ini berkaitan erat dengan permintaan domestik yang mendorong pelaku usaha menambah kapasitas. “Selain itu, penurunan suku bunga acuan oleh BI dalam beberapa bulan terakhir juga mendorong laju investasi,” katanya.

Namun ia mengingatkan, tren ini akan diuji pada kuartal III, ketika tak lagi ada dorongan dari hari libur dan efek musiman menurun.

Tren ini akan diuji pada kuartal III, ketika tak lagi ada dorongan dari hari libur dan efek musiman menurun.

Industri, perdagangan, dan jasa jadi tulang punggung

Dari sisi produksi, semua sektor tumbuh positif pada kuartal ini menunjukkan pemulihan yang relatif merata. Namun, yang paling mencolok adalah sektor jasa dan manufaktur.

Jasa lainnya menjadi lapangan usaha dengan pertumbuhan tertinggi, yakni 11,31% (yoy). Sektor ini mencakup hiburan, rekreasi, dan berbagai layanan masyarakat yang ikut terdongkrak oleh masa libur panjang.

Sementara itu, industri pengolahan tetap menjadi penopang utama dengan kontribusi terbesar (18,67%). Industri makanan dan minuman, logam dasar, serta farmasi dan obat tradisional menjadi motor utama pertumbuhannya. “Permintaan domestik untuk produk farmasi dan herbal naik, sementara ekspor barang kimia juga menguat,” jelas Edy.

Meski mayoritas komponen tumbuh, konsumsi pemerintah justru mengalami kontraksi, terutama belanja operasional. Ini jadi satu-satunya elemen dalam PDB yang tumbuh negatif, meski dari sisi belanja modal tetap meningkat.

Paradoks "Rojali-Rohana" di dunia usaha

Bagi pelaku usaha, capaian kuartal II ini terasa unik. Ajib Hamdani, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, menyebutnya “paradoks Rojali-Rohana”: di satu sisi, fenomena rombongan jarang beli dan rombongan hanya nanya-nanya masih terasa; di sisi lain, data BPS menunjukkan konsumsi dan investasi melonjak. 

“Prediksi kami waktu itu kisaran 4,69%–4,81%,” kata Ajib. “Secara historis, kuartal kedua biasanya lebih rendah dari kuartal pertama. Apalagi PMI (indeks manajemen pembelian) manufaktur sempat terkontraksi hingga 46,7 pada April, terendah dalam empat tahun.”

Kenyataannya, investasi tumbuh 6,99%, tertinggi dalam empat tahun terakhir, lantaran dipacu proyek infrastruktur, dan pelonggaran BI Rate 25 basis poin pada Mei – memompa Rp 375 triliun likuiditas.

Ajib mengurai empat langkah agar pertumbuhan ini tidak hanya jadi lonjakan musiman. Pertama, memperkuat daya beli lewat penciptaan lapangan kerja baru.

Kedua, insentif fiskal dan moneter tepat sasaran, seperti percepatan restitusi pajak atau kredit murah untuk sektor padat karya.

Ketiga, deregulasi untuk mempercepat izin dan koordinasi.

Keempat, menarik investasi asing dengan memperbaiki kemudahan berusaha, dari peringkat 73 menuju 40 dunia.

“Mesin ekonomi masih punya bensin. Tinggal bagaimana pemerintah dan dunia usaha saling menggandeng agar pertumbuhannya berkelanjutan,” ujarnya. Apindo menyebut konsep Indonesia Incorporated, kolaborasi lintas sektor, sebagai kunci agar momentum ini bertahan hingga 2029.