Upaya Pengusaha Hotel Pikat Tamu Jelang Akhir Tahun

Hari libur kejepit atau sering disebut long weekend yang tersisa di bulan September dan Desember membuat pengusaha harus putar otak demi menarik wisatawan baik domestik maupun mancanegara untuk menginap.

Upaya Pengusaha Hotel Pikat Tamu Jelang Akhir Tahun
Foto oleh Samsul Said / Unsplash
Daftar Isi

Industri perhotelan kini tengah bebenah. Hari libur kejepit atau sering disebut long weekend yang tersisa di bulan September dan Desember membuat mereka harus putar otak demi menarik wisatawan baik domestik maupun mancanegara untuk menginap.

Pemerintah menetapkan hari libur nasional untuk 5 September 2025 untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad. Sementara libur nasional berikutnya jatuh pada 25 Desember untuk memperingati hari natal dan cuti bersama yang ditetapkan pada 26 Desember 2025, hingga libur Tahun Baru 2026.

Berbagai kiat pun dilakukan untuk memaksimalkan potensi hunian di sisa dua kesempatan libur panjang itu. Salah satunya adalah dengan kerjasama dengan maskapai penerbangan dan mengadakan gelaran event.

"Tidak hanya memaksimalkan pelayanan untuk tamu yang menginap dengan tujuan berlibur, kami juga harus bahu-membahu dengan pelaku industri pariwisata lain untuk meningkatkan kunjungan sembari menjaga daya saing yang sehat," kata Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, kepada SUAR di Jakarta.

Menurut dia, penerapan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD telah memukul industri perhotelan cukup keras.

Pasalnya, kunjungan maupun kegiatan para pejabat pemerintah menempati segmen 40% sampai 70% pemasukan hotel sesudah wisatawan domestik dan mancanegara, lebih-lebih di luar Jawa. "Ketika pemerintah memotong anggaran perjalanan, pasti terdampak semuanya," ujar Hariyadi yang juga memimpin PT Hotel Sahid Jaya International Tbk.

Tidak hanya terdampak efisiensi anggaran, industri perhotelan juga menghadapi pengetatan anggaran perjalanan berbagai korporasi dan larangan study tour pelajar yang mulai diterapkan oleh sejumlah kepala daerah.

Di samping itu, wisatawan mancanegara yang berlibur ke Indonesia semakin banyak menyewa tempat tinggal dengan aplikasi sewa kamar atau vila daring yang menawarkan tarif lebih murah, meski tidak semua kamar atau vila yang disewakan teregistrasi sebagai penginapan dalam pangkalan data dinas pariwisata daerah.

Mahasiswa Lembaga Kursus dan Pelatihan Royal Seasons Solo mengikuti lomba menata kasur untuk merayakan HUT ke-80 RI di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (16/8/2025). ANTARA FOTO/Maulana Surya/foc.

Dorong wisata keluarga

Penurunan tingkat okupansi hotel akibat faktor-faktor eksternal tersebut tak lantas membuat pelaku usaha perhotelan patah arang. Dengan kiat-kiat yang fokus menarik wisatawan, Hariyadi mendorong pelaku industri perhotelan berkonsolidasi dengan sektor-sektor industri pariwisata lainnya.

"Sebagai Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia yang terdiri dari 36 asosiasi, kami akan menyelenggarakan B2B Travel Mart pada 9-12 Oktober 2025 yang akan mengundang 300 lebih buyer dari luar negeri. Travel mart ini juga akan dilaksanakan pada 30 Oktober sampai 2 November 2025 di Utrecht, Belanda, untuk mendatangkan inbound," jelasnya.

Selain promosi melalui pameran, lanjut Hariyadi, kolaborasi industri perhotelan dengan maskapai penerbangan juga ditempuh. Sejauh ini, maskapai AirAsia telah membuka rute Bangkok-Kuala Lumpur-Yogyakarta untuk menarik wisatawan mancanegara.

Daya tarik utama yang menarik pelancong bertandang ke Kota Gudeg itu, tak lain dan tak bukan, adalah Candi Borobudur.

Agar wisatawan tidak sekadar menjadikan hotel sebagai tempat menginap, pihak hotel juga menggelar kegiatan menarik yang dapat menjadi sarana berkumpulnya keluarga.

Aktivitas seperti pertandingan sepakbola untuk anak-anak usia 8 tahun–12 tahun dan cooking class dari hasil panen kebun hidroponik, adalah dua contoh inisiatif hotel-hotel pimpinan Hariyadi untuk menggaet tamu.

"Kalau anak-anak itu pergi ke pertandingan sepak bola atau cooking class, mereka pasti akan mengajak bapak-ibunya. Nah, untuk kegiatan edukatif mendukung anak-anak seperti itu, orang tua kelas menengah akan tertarik dan mau mengeluarkan biaya. Event ini kita kemas tidak sekadar liburan, tetapi juga usaha mengantarkan anak untuk berprestasi," tambahnya.

Selain menyelenggarakan kegiatan menarik di dalam hotel, memaksimalkan potensi kegiatan-kegiatan lokal sarat budaya juga menjadi cara menarik wisatawan.

Konsep ini layak dikembangkan dengan memperhatikan bahwa dengan perubahan preferensi, wisatawan tidak hanya ingin berlibur, tetapi memperoleh pengalaman pariwisata yang berkesan atau experiential tourism.

Di Jawa Timur, dia mencontohkan, ada promo yang menggabungkan paket liburan dengan kesempatan menyaksikan Upacara Kasada di Gunung Bromo. Promosi seperti ini, selain memperkenalkan kekayaan budaya daerah, juga mendorong momen-momen liburan sebagai kesempatan kumpul keluarga.

"Kelas menengah semakin memiliki preferensi pada event yang ramah keluarga (family-friendly), sehingga itu yang kita dorong. Kita sekarang bermain antara banyaknya pilihan kelas menengah untuk bepergian ke tempat yang lebih menarik di luar negeri yang melakukan promosi besar-besaran dan mendapatkan dukungan kuat dari pemerintah masing-masing," ucappnya.

Survei yang dilakukan Lokadata pada akhir tahun lalu menunjukkan, jenis aktivitas yang paling sering dilakukan ketika traveling, antara lain, wisata alam (84 persen), kuliner (63 persen), kunjungan budaya (44 persen), berpetualang (27 persen), belanja (28 persen) dan ke tempat rekreasi (24 persen).

Dari hotel ke vila

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Juni 2025 kunjungan wisatawan mancanegara di Indonesia mencapai 1,42 juta kunjungan. Jumlah ini naik sebesar 8,42 persen dibandingkan Mei 2025 month-to-month (m-to-m) dan naik 18,20 persen dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun lalu (y-on-y).

Wisman yang berkunjung ke Indonesia pada Juni 2025 didominasi oleh pelancong dari Malaysia (16,70 persen), Singapura (12,98 persen), dan Australia (10,89 persen).

Sementara itu, tingkat penghunian kamar (TPK) hotel di Indonesia pada Juni 2025 mencapai 38,45 persen. Nilai ini naik 1,39 poin dibandingkan dengan bulan sebelumnya (m-to-m), tetapi turun 4,45 poin dibandingkan bulan Juni 2024 (y-on-y).

Namun, secara tahunan (y-on-y), TPK hotel bintang pada Juni 2025 mengalami penurunan sebesar 4,71 persen dibandingkan Juni 2024. Provinsi Papua Pegunungan, Kalimantan Timur, dan Kepulauan Riau mencatat penurunan TPK hotel bintang terdalam.

Menurut Menteri Pariwisata, Widianti Putri Wardhana, penurunan ini bukan disebabkan oleh melemahnya minat berwisata, melainkan karena perubahan preferensi wisatawan untuk menginap di villa ketimbang di hotel berbintang.

"Ini masih kami soroti terus dan kami telah mengidentifikasi bahwa ada pergeseran preferensi wisatawan menginap di akomodasi alternatif seperti villa, dibandingkan hotel berbintang," ujar Menteri Widianti, dalam laporan Pariwisata yang ditayangkan Juli lalu.

Lebih lanjut, menurut Widianti, pihaknya menghargai pergeseran preferensi tempat menginap wisatawan tersebut. "Hal ini membantu ketersediaan fasilitas akomodasi untuk wisatawan bahkan menawarkan pengalaman menginap yang unik di destinasi," imbuhnya.

Oleh karenanya, dia mengingatkan pentingnya ketersediaan alternatif diimbangi persaingan usaha yang adil antara pengelola penginapan alternatif dan pengelola hotel berbintang. Selain itu, penginapan alternatif yang tidak teregistrasi juga dikhawatirkan tidak dapat memberikan perlindungan dan jaminan keamanan bagi konsumen.

"Untuk persoalan akomodasi alternatif, Kementerian Pariwisata bersama pemerintah daerah tengah mengupayakan pembinaan agar para usaha pariwisata ini memiliki izin yang tepat, memiliki standar usaha yang tepat, dan menawarkan layanan yang terstandarisasi sesuai standar usaha penginapan untuk wisatawan," terang Widianti.

Ekonom Bank Mandiri, Dendi Ramdani, menilai strategi pelaku industri perhotelan untuk menarik wisatawan domestik merupakan salah satu bentuk penyesuaian terhadap pertumbuhan tren kunjungan turis pascapandemi Covid-19 yang didominasi wisatawan domestik, baik dengan tujuan berlibur maupun tujuan bisnis atau menghadiri event.

"Stakeholders [pariwisata] harus bekerjasama untuk memberdayakan peluang wisata daerah: di sana ada hotel apa, wisata apa, kuliner apa, tempat layak dikunjungi di hari kerja dan yang layak dikunjungi Sabtu-Minggu. Koordinasi efektif seperti itu belum ada," tukas Dendi saat dihubungi SUAR, Jumat (22/08).

Selain wisatawan dalam negeri, Dendi menilai potensi wisatawan serumpun dari negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara merupakan ceruk yang selama ini kurang diperhatikan. Padahal, menggerakkan kunjungan turis intrakawasan lebih prospektif dan potensial daripada mengundang turis Eropa dan Amerika.

Alasannya, kunjungan wisatawan serumpun tidak bergantung pada momen-momen liburan besar, dapat dilakukan di momentum seperti akhir pekan, serta lebih mudah beradaptasi dengan keserupaan iklim, cuaca, makanan, dan budaya.

Dendi menggarisbawahi usaha menarik wisatawan serumpun itu membutuhkan dua prasyarat. Pertama, insentif yang menarik bagi investor mengembangkan kawasan ekonomi khusus pariwisata bagi segmen turis mancanegara, seperti Bintan di Kepulauan Riau untuk menarik turis Malaysia dan Singapura; dan Manado di Sulawesi Utara untuk menarik turis Tiongkok dan Taiwan.

Kedua, jalur penerbangan langsung (direct flight) yang membuat wisatawan tidak harus berulang kali melakukan transit untuk mencapai destinasi.

"Cuma, membangun direct flight ini enggak gampang. Ada yang namanya asas resiprokal. Kalau kita minta maskapai asing buka jalur, kita juga harus buka, sedangkan jumlah airline kita enggak terlalu banyak dan maskapai berpikir demand dari sini enggak terlalu tinggi," jelasnya.

Selain Bintan dan Manado, Lombok juga menjadi destinasi wisata yang dapat mengalami pelipatgandaan tingkat kunjungan dari wisatawan serumpun, jika memiliki akses yang lebih baik.

"Karena percuma juga ada kawasan ekonomi khusus pariwisata, tapi penerbangannya susah karena mereka harus transit lewat Jakarta atau Bali dulu," tutup Dendi.

Kelas premium

Di tengah kondisi tersebut, destinasi wisata untuk kelas premium masih menunjukkan kinerja yang solid. Mengutip riset Lokadata, rerata pengeluaran tahunan keluarga untuk hiburan untuk kelas upper 1 dan upper 2 meningkat. Pada 2024, rerata pengeluaran tahunan keluarga untuk hiburan kelas upper 1 mencapai Rp 1,5 juta meningkat dibandingkan dengan dengan 2019 yang sebesar Rp 1,2 juta.

Begitu pula dengan rerata pengeluaran tahunan keluarga untuk hiburan kelas upper 2 yang mencapai Rp 600.000 pada 2024 meningkat dari Rp 500.000 pada 2019.

Sementara itu, rerata pengeluaran tahunan keluarga untuk hiburan kelas ekonomi di bawah upper, yakni middle dan lower, tidak berubah.

Menurut Lokadata, mereka mengambil definisi kelas ekonomi upper seperti yang menjadi kriteria Nielsen. Adapun ciri-ciri kelas upper ditandai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, pendapatan yang signifikan, akses ke berbagai sumber daya, dan punya pengaruh terhadap tren.

Chief Data Officer Lokadata Ahmad Suwandi menjelaskan bahwa lonjakan belanja ini bukan cerminan kesehatan finansial yang merata. Ia memaparkan, "Peningkatan pengeluaran non-makanan di Indonesia antara 2019-2024 didorong oleh sebuah paradoks: di satu sisi, ekonomi makro tumbuh kuat dan PDB per kapita naik, namun di sisi lain, kelas menengah justru menyusut sebanyak 9,48 juta orang."

Menurutnya, lonjakan belanja ini sangat mungkin disebabkan oleh tiga faktor utama: polarisasi ekonomi, pergeseran prioritas kelas menengah, dan akselerasi digital. Polarisasi ekonomi, misalnya, terlihat dari kelas atas yang jumlahnya stabil dan memiliki finansial kuat, sehingga meningkatkan belanja barang mewah dan pengalaman premium.

"Kelas middle dan upper memiliki destinasi wisata yang mirip namun berbeda kelasnya, seiring dengan perbedaan pola belanja," ujarnya. Ia mencontohkan, kelas atas cenderung memilih wisata pengalaman premium seperti diving atau berlayar, sementara kelas menengah memilih pengalaman yang lebih terjangkau, seperti menonton konser atau berkunjung ke tujuan wisata populer.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional