Kiat Mengantisipasi Turbulensi Susutnya TKD Pemerintah Kota

Menyusutnya Transfer Keuangan Daerah (TKD) pusat ke pemkot bisa diantisipasi dengan sejumlah langkah. Simak selengkapnya di sini.

Kiat Mengantisipasi Turbulensi Susutnya TKD Pemerintah Kota
Suar.id bekerja sama dengan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menggelar Roundtable Decision dengan tema “Mendorong Peningkatan PAD Kota” pada Kamis (11/12/2025) di Jakarta. Hadir sebagai pembicara (foto dari kiri ke kanan peserta di meja) Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Riatu Mariatul Qibthiyyah, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana, Walikota Surabaya Eri Cahyadi, Founder dan Pemimpin Redaksi Suar.id Sutta Dharmasaputra, Penasihat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yozua Makes, dan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang Handi Priyanto. (Foto: Mukhlison/Suar.id)
Daftar Isi

Jalannya pemerintah kota (pemkot) akan menghadapi tantangan pelik pada 2026 dipicu menurunnya besaran Transfer Keuangan Daerah (TKD) dari Kementerian Keuangan. Mengingat masih tingginya ketergantungan pemkot pada TKD, menyusutnya kiriman uang dari pemerintah pusat ini bisa berpotensi timbulkan macetnya pembayaran gaji pegawai hingga berkurangnya proyek pembangunan. Namun, bak pilot yang handal dalam hadapi turbulensi, para walikota tetap harus berupaya sekuat tenaga untuk menghadapi tantangan ini.

Berangkat dari persoalan inilah Suar.id bekerja sama dengan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menggelar Roundtable Decision dengan tema “Mendorong Peningkatan PAD Kota” pada Kamis (11/12/2025) di Jakarta.

Hadir memberikan sambutan Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto. Turut hadir dalam diskusi Walikota Surabaya yang juga Ketua Apeksi 2025-2030 Eri Cahyadi, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang Handi Priyanto, Penasihat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yozua Makes, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana, dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Riatu Mariatul Qibthiyyah. Acara ini akan dimoderatori oleh Founder dan Pemimpin Redaksi Suar.id Sutta Dharmasaputra.

Mengutip data Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, yang dirilis Agustus lalu menyatakan alokasi TKD turun 29,3% menjadi Rp650 triliun dari sebelumnya Rp919,87 triliun (APBN 2025). 

Angka TKD yang terendah dalam lima tahun terakhir ini pun memicu protes para kepala daerah mulai dari provinsi, kabupaten, dan kota. Merespon itu kementerian keuangan pun menambah alokasi dana TKD sebesar Rp43 triliun menjadi Rp693 triliun. 

Munculnya protes dari pemerintah daerah atas pengurangan jatah TKD ini tidak lepas dari ketergantungan fiskal pemerintah daerah yang tinggi terhadap dana dari pusat untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan daerah. 

Sebagai gambaran, untuk tahun 2025 ini, berdasarkan data keuangan daerah 93 kota di seluruh Indonesia (kecuali DKI Jakarta), rata-rata pendapatan daerah yang bersumber dari TKD adalah 65,57%. Angka ini tergolong tinggi. Bahkan, kota-kota di luar Pulau Jawa angka ketergantungannya lebih tinggi yang bisa mencapai 80%-90%. Ketergantungan yang tinggi terlihat di Kota Tual (Maluku) yang mencapai 92%. 

Optimalkan semua potensi

Eri Cahyadi mengakui, menurunnya besaran TKD itu pasti akan berdampak pada jalannya pemerintah kota. Ia menjelaskan, perencanaan program pembangunan dan pengalokasian dana itu sudah dilakukan biasanya pada Mei. Perencanaan itu dibuat dengan asumsi bahwa pemkot akan memperoleh anggaran dari TKD seperti tahun-tahun sebelumnya.

Namun, saat Agustus, pemerintah pusat memutuskan untuk mengurangi besaran TKD tersebut. Adapun besaran TKD Surabaya pada 2026 pun menyusut Rp730 miliar.

Kendati demikian, Eri mengajak, para walikota dan jajaran pemkot agar justru mesti menyikapi ini sebagai tantangan untuk memicu inovasi dan optimalisasi potensi daerah.

“Turbulensi ini hanya bisa dilawan dengan inovasi,” ujar Walikota Surabaya yang juga Ketua Apeksi 2025-2030 Eri Cahyadi.

Ia mengatakan, untuk mengantisipasi menyusutnya TKD, pemkot perlu memahami keunggulan daerahnya. Setiap daerah, lanjut Eri, memiliki keunikannya sendiri entah itu dikaruniai kekayaan alam, budaya, hingga kawasan sektor ekonomi industri. Semua potensi daerah ini harus dioptimalkan dengan kreatif.

Eri mencontohkan, misalnya di Surabaya pembuatan dan pemeliharaan taman kota bisa menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan. Jadi, lanjutnya, pemkot bisa memberdayakan peran serta dunia usaha untuk terlibat dalam pembangunan kota tempatnya beroperasi.

Suar.id bekerja sama dengan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menggelar Roundtable Decision dengan tema “Mendorong Peningkatan PAD Kota” pada Kamis (11/12/2025) di Jakarta. Hadir sebagai pembicara (foto dari kiri ke kanan peserta di meja) Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Riatu Mariatul Qibthiyyah, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana, Walikota Surabaya Eri Cahyadi, Founder dan Pemimpin Redaksi Suar.id Sutta Dharmasaputra, Penasihat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yozua Makes, dan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang Handi Priyanto. (Foto: Krisna/Suar.id)

Senada dengan Eri, Handi dari Pemkot Malang mengatakan, kreativitas dan inovasi mesti dilakukan untuk menghadapi tantangan susutnya TKD. Pihaknya menjawab hal itu dengan mengembangkan digitalisasi keuangan daerah.

“Itu yang kami coba sederhanakan sehingga di Malang itu hanya ada satu rumah. Jadi rumah untuk pendapatannya. Satu ruangan untuk pajak, satu ruangan untuk retribusi. All in,” ujarnya.

Ia menambahkan, beda dengan aplikasi belanja pihaknya menyederhanakan di sisi pendapatan. Semua pajak dijadikan satu kamar. Semua retribusi pun satu kamar.

“Walaupun kami bukan dinas pengampu retribusi, tapi kami menyiapkan kamarnya,” lanjutnya.

Keadilan dan keterbukaan

Sebagai perwakilan dunia usaha, Yozua mengakui, dunia usaha punya kontribusi besar terhadap PAD kota. Ia pun menyadari betul, belanja kota kian besar sementara sumber dana yang disiapkan justru menyusut.

Ia mengatakan, digitalisasi dalam keuangan daerah bisa jadi salah satu contoh dan solusi di tengah impitan persoalan ini. Sebab, digitalisasi bisa membantu pungutan pajak lebih optimal dan ciptakan efisiensi anggaran.

Namun, ini juga perlu diikuti keadilan. “Nah jadi asas keadilan itu digitalisasi itu penting buat saya, bukan saja untuk mendapatkan pajak, tapi juga asas keadilan. Sehingga semuanya merasa kita bersama-sama. Nah untuk bersama-sama sistemnya itu harus bisa diuji standarisasinya,” ujarnya.

Sebagai peneliti dan akademisi, Riatu mengatakan, setiap daerah punya kondisi yang berbeda-beda. Ada daerah yang 90% kondisi fiskalnya ditunjang dari TKD. Padahal untuk biaya investasi inovasi daerah yang diharapkan bisa mendorong PAD pun juga butuh modal.

Menurutnya, investasi pengembangan perlu bersumber dari pemerintah pusat. Karena pemerintah daerah juga memiliki keterbatasan. Sementara itu, pemerintah pusat bertugas memantau sehingga bisa membandingkan mana dari inisiatif beberapa inovasi pemerintah daerah yang tadi bisa ditingkatkan skalanya.

Jadi, lanjut Riatu, perlu adanya keterbukaan kerjasama pusat dan daerah ya yang memang bisa meningkatkan kapasitas keduanya.

“Jadi keterbukaannya jangan misalnya masing-masing menyimpan datanya juga. Tadi kalau masing-masing menyimpan datanya itu nggak optimal untuk bisa cross-check atau verify,” ujarnya.

Baca juga:

Bujet Transfer Daerah Dikurangi, Pemda Perlu Kreatif dan Inovatif
Kepala daerah diharapkan agar bisa lebih kreatif dalam menggali potensi PAD baru untuk menutupi defisit akibat berkurangnya dana transfer dari pusat ke daerah.

Lydia dari Kementerian Keuangan mengakui kota-kota memang saat ini alami turbulensi. Namun, menurutnya mereka sudah lebih mapan dalam mengelola PAD dan yakin akan bisa mampu melewati masa sulit ini.

Keyakinan ini, lanjutnya, dilandaskan pada perhitungannya.

“Alasan saya yakin daerah mampu bertahan sederhana yakni data pertumbuhan, potensi PAD, dan elastisitasnya menunjukkan ruang fiskal yang masih terbuka lebar,” ujarnya.

Ia mencontohkan, pada 2025, angka potensi yang masuk mencapai 80% dari proyeksi. Ini menunjukan makin matangnya desentralisasi fiskal. Menurutnya, potensi pajak daerah masih sangat besar. Basis datanya juga masih bisa diperbesar dan diperkuat sistem pengawasannya dengan teknologi.

“Kota-kota kita sudah semakin matang menjalankan desentralisasi fiskal. Kemampuan mereka mengelola Pajak Kenderaan Bermotor, dan berbagai jenis pajak lain terbukti tumbuh,” ujarnya.

Peran sentral PAD pada ekonomi nasional

Kendati berskala daerah, namun menurut Bima Arya, PAD punya peran besar dalam membantu mendorong perekonomian naisonal. Ia mengatakan, saat Indonesia dalam perjalanan menjadi negara dengan perekonomian terbesar dunia. Untuk mencapainya, Indonesia mesti menggapai pertumbuhan ekonomi minimal 8%.

“Di titik inilah PAD menjadi penentu apakah target (pertumbuhan ekonomi) tersebut bisa tercapai atau tidak,” ujarnya.

Menurutnya, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menyederhanakan regulasi yang ada saat ini. Skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) perlu dibuat lebih fleksibel.

Aset-aset pemerintah daerah perlu dipetakan dan dioptimalkan. “Mulai dari ruang komersial, kemitraan periklanan, hingga penyediaan lahan parkir. Digitalisasi layanan publik juga krusial untuk meningkatkan retribusi daerah,” ujarnya.

Ia menambahkan, saat ini ada lebih dari 1.000 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang sebagian besar tidak sehat. Maka, lanjutnya, reformasi menjadi keharusan.

Untuk itu, saat ini Kementerian Dalam Negeri tengah berencana membentuk Direktorat Jenderal BUMD. Selain itu, pihaknya juga akan memperkuat kelembagaan BUMD melalui Undang-Undang tersendiri. Adapun saat ini dasar hukum BUMD masih mengikuti UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 54/2017 tentang BUMD.

“Nantinya dengan Dirjen BUMD dan UU BUMD, Kemendagri dapat melakukan pendampingan yang lebih kuat. Kita perlu pemerintahan yang efektif, transparan, dan mampu berkolaborasi, termasuk menjajaki investasi, filantropi, obligasi, dan sukuk, agar daerah bisa tumbuh dan Indonesia bisa maju,” ujarnya.