Ketika Jiwa Mulai Terbakar

Bekerja hingga burnout adalah kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental terbakar perlahan, hingga tak bersisa akibat stres kerja berkepanjangan.

Ketika Jiwa Mulai Terbakar
Photo by Anne Nygård / Unsplash

Manusia di zaman ketika teknologi seharusnya bisa meringankan kerjanya, ternyata malah tambah lebih sibuk daripada rata-rata orang dahulu dalam bekerja. Di saat komunikasi lebih cepat, manusia pun dituntut bisa mengerjakan banyak hal, multitasking.

Bertemu kolega bisa lebih dari tiga kali sehari, berbeda-beda tempat, berlalu lalang di antara jalanan yang macet berdebu. Produktivitas, begitulah kredo yang diusung manusia zaman modern.

Namun ia lupa, manusia juga punya jiwa yang memiliki batas. Bila jasmani bisa diberi booster, maka jiwa bisa mengalami kelelahan yang tak terlihat—yang menggerogoti semangat perlahan, tanpa suara, dan tidak ada booster untuk segera memulihkannya. Di sinilah seseorang menghadapi situasi burnout.

Bekerja hingga burnout adalah kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental terbakar perlahan, hingga tak bersisa akibat stres kerja berkepanjangan.

Semua karena tuntutan pekerjaan yang berlebihan, kurangnya kontrol, dukungan, atau keseimbangan aktivitas kerja dan kehidupan pribadi. 

Gejalanya meliputi kelelahan terus-menerus, kehilangan motivasi, sinisme terhadap pekerjaan, serta masalah kesehatan fisik seperti sakit kepala dan gangguan tidur. Untuk mengatasinya, kita perlu menetapkan batasan kerja, mengambil istirahat teratur, mencari dukungan sosial, menjaga gaya hidup sehat, dan jika perlu, mencari bantuan profesional. 

Selama ini, kita diajarkan bahwa bekerja keras adalah jalan menuju keberhasilan. Dari bangun pagi, mengejar target, memenuhi ekspektasi, dan pulang dengan tubuh yang letih serta pikiran yang tak lagi jernih. Kita menyebutnya dedikasi. Tapi diam-diam, jiwa kita mulai retak.

Mengalami burnout bukan hanya berarti kita mengalami kelelahan. Karena itu adalah situasi di mana batin menjadi terluka ketika aktivitas kita kehilangan makna, ketika tubuh dipaksa melampaui batas, dan ketika pikiran tak diberi ruang untuk istirahat.

Burnout adalah panggilan untuk berhenti sejenak dan bertanya: Untuk siapa bekerja? Untuk apa kelelahan ini?

Filsafat Stoik mengajarkan kita untuk membedakan antara hal yang bisa kita kendalikan dan yang tidak. Kita tidak bisa mengendalikan tuntutan dunia, tapi kita bisa mengatur respons terhadapnya. Kita bisa memilih untuk bekerja dengan kesadaran, bukan dengan paksaan.

Maka, sudah saatnya kita merefleksikan diri, karena kita bukan mesin. Bayangkan diri sebagai satu petak ladang. Jika terus ditanami tanpa jeda, tanahnya akan tandus. Tapi jika dirawat, diberi waktu untuk beristirahat, dan ditanami dengan bijak, ladang itu akan terus memberi hasil.

Begitu pula dengan jiwa kita. Kerja yang menyuburkan adalah kerja yang terhubung dengan nilai. Ketika kita tahu bahwa pekerjaan kita memberi manfaat ke pihak lain, maka kerja adalah sebuah kewajiban untuk menjadi bagian dari kumpulan individu lainnya, sehingga bisa bermanfaat bagi sesama.

Maka bekerja keraslah, kejarlah dunia, tapi jangan sampai merugikan diri sendiri. Beraktivitas harus terukur, sehingga hasilnya juga bisa kita rasakan sepenuhnya. 

Karena itu, jika hari ini kamu merasa lelah, bukan berarti kamu gagal. Segeralah berhenti, merenung, dan menyusun ulang arah. Tidak semua harus selesai hari ini. Tubuh dan jiwa punya hak untuk jeda.

Siapkan secangkir kopi untuk dinikmati perlahan, semua bisa menjadi sumber energi. Sadari jiwa kita adalah entitas yang punya tujuan, punya nilai, dan punya hak untuk hidup dengan utuh.

Mulai ubah cara kerja. Bukan dengan meninggalkan tanggung jawab, tapi dengan menghadirkan kesadaran. Karena kerja yang dilakukan dengan hati akan selalu menghasilkan kebaikan, bukan hanya bagi dunia, tapi juga bagi jiwa kita sendiri.