Penduduk Indonesia yang masuk dalam kelompok kelas menengah selama beberapa dekade telah terbukti menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, dalam lima tahun terakhir, jumlah kelas menengah Indonesia menyusut. Perlu kebijakan akselerasi, bahkan perlindungan sosial, agar jumlah kelas menengah tidak terus merosot.
Berbagai laporan Bank Dunia mengatakan bahwa kelas menengah yang besar menyebabkan konsumsi domestik yang lebih tinggi, karena kelas menengah memiliki kecenderungan konsumsi (marginal propensity to consume) yang lebih tinggi daripada orang kaya dan memiliki pendapatan yang lebih besar daripada orang miskin.
“Memperluas jumlah penduduk kelas menengah sangat penting bagi Indonesia untuk membuka potensi pembangunan dan mendorong negara ini menuju status negara berpendapatan tinggi.” (Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class. World Bank, 2020)
Investasi pada sumber daya manusia merupakan kunci untuk memperoleh keterampilan yang dibutuhkan serta untuk meningkatkan produktivitas.
Agar jumlah kelas menengah Indonesia bisa semakin membesar, menurut Bank Dunia, ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintah.
Pertama, meningkatkan layanan dan kualitas pendidikan dan kesehatan. Investasi pada sumber daya manusia merupakan kunci untuk memperoleh keterampilan yang dibutuhkan sehingga mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak, serta untuk meningkatkan produktivitas yang mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Kedua, memperbaiki kebijakan dan administrasi perpajakan, sehingga pemerintah akan bisa mengumpulkan dana dari kelas menengah yang berkembang untuk membangun infrastruktur. Keberadaan infrastruktur penting untuk peningkatan produktivitas.
Definsi kelas menengah, menurut Bank Dunia, adalah kelompok masyarakat dengan pengeluaran (sebagai proksi pendapatan) yang berada dalam kisaran 3,5–17 kali di atas garis kemiskinan.
Akan tetapi, guncangan ekonomi akibat pandemi telah menurunkan jumlah kelas menengah Indonesia. Jika sebelum pandemi jumlah kelas menengah Indonesia adalah sebanyak 57,33 juta jiwa (2019) atau 21,45%, tahun 2024 lalu jumlahnya turun menjadi 47,85 juta jiwa atau 17,13%.
Penduduk kelas menengah dengan tingkat pengeluaran yang besar akibat inflasi yang merangkak naik hidup dalam kondisi yang jauh dari sejahtera. Dengan lapangan kerja yang berkurang karena banyak pemutusan hubungan kerja, penghasilan jadi pas-pasan karena mereka kemudian hanya mampu bekerja di sektor informal.
Karena penghasilan pas-pasan, solusi yang dilakuka adalah mengerem pengeluaran atau mengurangi kebutuhan yang tidak terlalu perlu. Selain itu, kemampuan untuk menabung pun jadi terbatas. Bahkan, muncul fenomena “mantab” alias makan tabungan.
Kondisi kelas menengah Indonesia yang kurang sejahtera ini terekam dalam Survei Semesta Dunia Usaha yang dilakukan Tim SUAR belum lama ini. Menurut para narasumber yang mayoritas berasal dari dunia usaha ini, kelas menengah Indonesia belum sejahtera karena daya beli yang masih rendah (44,8%) dan kondisi tabungan yang terbatas (24,1%). Kelompok ini juga masih sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal dan penghasilan yang layak (89,5%).
Kelas menengah tidak tergolong miskin. Tetapi, bila terjadi guncangan ekonomi akan membuat mereka jatuh miskin.
Sebagai warga kelas menengah, mereka tidak mendapat perlindungan sosial yang memadai. Mereka tidak mendapat bantuan sosial karena tidak miskin. Namun, sejumlah ahli ekonomi menyarankan kelompok menengah, terutama kelas menengah bawah atau yang termasuk dalam aspiring middle class, juga memperoleh perlindungan sosial. Mereka memang tidak tergolong miskin. Tetapi, bila terjadi guncangan ekonomi akan membuat mereka jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Oleh karena itu, perlu dirumuskan instrumen perlindungan sosial yang cocok untuk kelas menengah.
Narasumber survei sepakat menyatakan bahwa pemerintah perlu memperluas cakupan perlindungan sosial agar tidak hanya menyasar kelompok miskin, tapi juga kelas menengah. Hal ini sampaikan oleh mayoritas ( 86,8%) responden.
Hal itu antara lain didasarkan pertimbangan agar kelas menengah bisa sejahtera, minimal tidak jatuh ke dalam garis kemiskinan (30,3%). Alasan utamanya adalah karena keberadaan kelas menengah akan mendorong pertumbuhan ekonomi (42,2%) – khususnya lewat konsumsi dan penciptaan lapangan kerja. Selain itu, ada pula alasan karena asas keadilan.
Sebagian kecil narasumber memang menyatakan kelas menengah tidak perlu mendapat perlindungan sosial, karena berpandangan bahwa kelas menengah adalah kelompok yang mandiri. Program perlindungan sosial yang ada pun sudah cukup untuk kelompok yang ditargetkan, yaitu kelompok miskin.
Rumusan mengenai instrumen yang tepat untuk kelas menengah memang perlu dipikirkan. Hal itu karena keberadaan kelas menengah tidak hanya memiliki implikasi secara ekonomi, tetapi juga sosial-politik. Jika kondisi kelompok kelas menengah ini terabaikan, ia akan memiliki implikasi sosial-politik ke depannya.
Kelas menengah dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang cukup tinggi lebih kritis dan berani menyuarakan aspirasi kepada pemerintah.
Pasalnya, sebagai kelas menengah yang berkembang – umumnya merupakan penduduk dengan tingkat pendidikan dan pendapatan cukup tinggi – mereka lebih kritis dan berani menyuarakan aspirasi kepada pemerintah. Sebagai kelompok yang kritis mereka akan menuntut kualitas pelayanan publik, keadilan, dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Asprirasi kelas menengah akan terus meningkat. Mereka tidak hanya akan bicara mengenai “kebutuhan”, tetapi juga soal “keinginan” dan cita-cita untuk hidup yang lebih baik. Itu sebabnya, pemerintah tidak bisa hanya fokus kepada kelompok miskin, tetapi juga kelompok kelas menengah. Termasuk soal perlindungan sosial.