Jurus Pemerintah Efisiensi Belanja dan Pembiayaan Tanpa Potong Anggaran

APBN 2026 diperkirakan bakal defisit Rp689,1 triliun. Kementerian Keuangan putar otak untuk tetap bisa membiayai kebutuhan belanja negara.

Jurus Pemerintah Efisiensi Belanja dan Pembiayaan Tanpa Potong Anggaran
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kanan) dan Wakil Menteri Keuangan Thomas A. M. Djiwandono (kiri) bersiap mengikuti rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/9/2025). Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/tom.
Daftar Isi

Belajar dari dampak negatif efisiensi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, Kementerian Keuangan mengubah pendekatan menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Tidak lagi memotong anggaran kementerian/lembaga besar-besaran, pemerintah memilih memaksimalkan momentum penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan pemakaian Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) untuk implementasi belanja prioritas.

Perubahan tersebut disampaikan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Suminto dan Direktur Anggaran Bidang Perekonomian Tri Budhianto di hadapan wartawan peserta Media Gathering Kementerian Keuangan "Kupas Tuntas APBN 2026" di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025). Keduanya berbagi pandangan serupa bahwa efisiensi dapat dimaknai berbeda di tahun depan.

Suminto menjelaskan, seperti halnya pajak, utang adalah instrumen, bukan tujuan. Pemerintah berutang bukan karena ingin, tetapi karena membutuhkan pembiayaan untuk menutup defisit APBN yang ditetapkan sebesar Rp689,1 triliun atau setara 2,68% PDB di tahun 2026. Kebutuhan tersebut tidak terlepas dari fungsi dasar fiskal yakni alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

"Masih banyak tujuan pembangunan yang harus kita capai, dengan aspirasi menjadi negara yang lebih sejahtera, lebih maju, memiliki penghasilan lebih tinggi. Maka diperlukan kue yang besar dan mencukupi agar kita bisa melakukan alokasi dengan baik, terukur, dan hati-hati," cetus Suminto.

Saat ini, dengan total utang pemerintah pusat sebesar Rp9.138,05 triliun dengan rasio utang terhadap PDB 39,86%, pemerintah cukup leluasa dengan rasio utang cukup rendah dibandingkan negara-negara lain. Dari nominal tersebut, Rp1.157,17 triliun bersumber dari pinjaman bilateral, multilateral, komersial, dan dalam negeri, sementara Rp7.980,87 triliun bersumber dari penerbitan SBN.

Suminto memastikan bahwa dalam ekuivalensi mata uang, sebanyak Rp6.554,95 triliun atau 71,73% utang pemerintah menggunakan rupiah, sehingga tidak terdampak fluktuasi kurs yang terjadi akhir-akhir ini. Sisanya, dengan persentase 28,27%, utang pemerintah senilai Rp2.583,1 triliun tersebar dalam mata uang Dolar AS, Yen, Euro, dan lain-lain.

Utang sehat dan terkelola

Dengan jumlah portofolio utang yang sehat tersebut, Suminto menjelaskan beberapa strategi pemerintah untuk memaksimalkan pembiayaan, mulai dari pengelolaan risiko SBN yang menggunakan floating rate dan fix rate secara bergantian, serta menekan utang dalam valuta asing sehingga tidak terlalu terekspose pergerakan kurs.

Selain itu, profil jatuh tempo utang juga turut diperhatikan. Utang dengan tenor pendek memiliki suku bunga lebih rendah, tetapi memiliki angsuran yang besar. Sebaliknya, utang dengan tenor panjang memiliki suku bunga tinggi, tetapi nilai angsuran yang lebih bersahabat.

"Maka kita cari utang dengan periode jatuh tempo yang optimal, antara 7-8 tahun, yang tidak terlalu pendek dan tidak terlalu panjang, sehingga selalu fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan APBN, perkembangan pasar, dan pengelolaan posisi kas," jelasnya.

Baca juga:

Guyuran Insentif Perpajakan untuk Memperlancar Ekonomi
Di tengah upaya meningkatkan rasio perpajakan, pemerintah tidak hanya fokus pada penarikan pajak. Di tahun 2026, pemerintah akan lebih mengoptimalkan insentif perpajakan untuk mendukung konsumsi masyarakat dan kegiatan UMKM.

Pasar SBN yang aktif, selalu likuid, dan ruang gerak yang cukup leluasa, menurut Suminto, menjadi momentum berharga. Pemerintah menggunakan momentum tersebut untuk menerbitkan SBN setiap waktu dengan berbagai variasi tenor, sambil memperhatikan posisi kas yang tetap cukup untuk belanja secara proporsional.

"Pendekatan kami adalah strategi collecting more, spending better, with sustainable, prudent, and creative financing, ketiganya merupakan satu rangkaian terintegrasi yang akan selalu diupayakan efisien, produktif, dan berkesinambungan," cetus eselon satu itu.

Bergabung dalam sesi gathering secara virtual melalui telekonferensi Zoom, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan kembali agar utang pemerintah tidak serta merta diukur dalam besaran nominal, melainkan juga rasio terhadap PDB. Utang Indonesia sebesar sembilan ribu triliun, menurutnya, masih aman dalam standar internasional.

"Utang itu jangan dipakai [untuk menciptakan] sentimen negatif ke ekonomi kita, karena kita cukup prudent. Kita akan mengurangi seoptimal mungkin. Kalau utangpun harus maksimal, jangan ada kebocoran yang memboroskan uang negara," tegas Purbaya.

Belanja besar harus tepat

Selain memastikan utang dikelola secara sehat dan maksimal, belanja APBN 2026 yang ditetapkan sebesar Rp3.842,7 triliun dipastikan menyasar 8 agenda prioritas, meliputi ketahanan pangan, ketahanan energi, makan bergizi gratis, pendidikan, kesehatan, pembangunan desa, pertahanan, dan percepatan investasi.

Agar kedelapan agenda tersebut dapat dijalankan secara terpadu, belanja APBN 2026 dibagi ke dalam 11 fungsi, dengan belanja terbesar dialokasikan untuk belanja ekonomi sebesar Rp823,7 triliun, belanja pelayanan publik sebesar Rp794,4 triliun, dan belanja pendidikan sebesar Rp459,7 triliun.

Dari jumlah belanja tersebut, pemerintah menetapkan belanja senilai Rp1.377,9 triliun akan menjadi manfaat yang diterima langsung oleh masyarakat melalui 18 program, mulai dari Program Keluarga Harapan, Cek Kesehatan Gratis, revitalisasi sekolah, MBG, hingga Kampung Nelayan dan Pergaraman.

Dengan rentang program yang sangat luas dan rawan disalahgunakan itu, Direktur Anggaran Bidang Perekonomian Tri Budhianto menegaskan pemakaian DTSEN menjadi sangat penting, mengingat basis data tersebut sudah memiliki catatan setiap penerima mencakup nama, alamat, hingga desil yang menentukan kelayakannya.

"Kementerian Keuangan mengumpulkan berbagai data dan kita padu-padankan dengan seluruh program agar tepat sasaran. Bukan mengurangi subsidi, tetapi mereformasinya. Kembali bahwa efisien bukan memotong, tetapi mengalihkan anggaran yang tidak menyentuh lapis masyarakat, ke yang menyentuh masyarakat langsung," tegas Tri.

Tri tidak menyanggah bahwa program-program pemerintah yang disusun saat ini dianggap populis dan berorientasi jangka pendek. Menurutnya, problem implementasi memang perlu digarisbawahi, tetapi itu tidak menjadi alasan untuk mengobarkan antipati yang tidak sehat.

"Kalau kita mau jujur, yang merasakan manfaat program pemerintah justru tidak bersuara. Coba kita perhatikan, kalau penerima itu menyampaikan isi hatinya, kita akan tahu program ini sebetulnya baik. Artinya, kita perlu menjaga program ini dijalankan dengan benar dan mencapai tujuan," tandasnya.

Strategi memanfaatkan rasio utang leluasa untuk menerbitkan SBN secara terukur dan memanfaatkan DTSEN dalam belanja APBN menjadi tanda pemerintah belajar dari pengalaman selama ini. Ketidaktepatan pembiayaan utang karena kebocoran maupun belanja yang tidak tepat sasaran menjadi evaluasi yang penting dalam melangkah ke depan.

Sebelumnya, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet telah menyatakan bahwa integrasi data tunggal sangat krusial untuk memastikan ketepatan alokasi belanja negara. Validitas identitas penerima pun dapat terjamin lebih baik dengan kolaborasi Kementerian Keuangan dan catatan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

"Digitalisasi sistem penyaluran akan berperan besar menutup celah kebocoran. Instruksi Presiden adalah kerangka awal, tetapi perlu ditindaklanjuti pemanfaatan platform digital yang transparan dan akuntabel untuk mendeteksi manipulasi dan mengefisienkan dengan sektor lain," jelas Rendy saat dihubungi SUAR, Senin (30/9/2025).

Sependapat dengan Rendy, Head of Macroeconomics and Market Research Permata Bank Faisal Rachman menilai, realisasi belanja pemerintah yang kurang optimal walau sudah memasuki kuartal keempat tahun ini mendorong target besar tahun depan dapat direalisasikan secara lebih efisien.

"Realisasi belanja akan efisien jika mempunyai dampak multiplier tinggi untuk akselerasi pertumbuhan, seperti belanja barang dan modal untuk kebutuhan logistik dan infrastruktur yang bisa mempercepat pelaksanaan program prioritas MBG, ketahanan pangan, dan energi," cetus Faisal kepada SUAR, Senin (23/9/2025).

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional