Pengenaan tarif impor 19% tidak menjadi momok yang menakutkan industri kelapa sawit. Bahkan, mereka yakin, ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil) Indonesia ke Amerika Serikat masih menjanjikan meskipun tarif sebesar 19% mulai berlaku pada 7 Agustus 2025.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, nasib Indonesia cukup beruntung karena tarif impor yang tadinya direncanakan kena 32% mengalami penurunan jadi 19%.
Toh, Gapki masih berharap pemerintah terus melakukan negosiasi dengan Pemerintah AS agar menurunkan tarif impor menjadi 0%.
Berdasarkan data Gapki, dalam lima tahun terakhir, ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat menunjukkan tren peningkatan. Pada 2020, volume ekspor mencapai 1,5 juta ton. Lalu, meningkat jadi 2,5 juta ton pada 2023, meskipun sempat sedikit menurun ke 2,2 juta ton pada 2024.
Nilai ekspor sawit pada 2024 mencapai US$ 2,9 miliar, dengan pangsa pasar Indonesia di AS mencapai 89%.
“Minyak sawit menjadi bahan utama industri pangan di Amerika, seperti margarin, yang tidak bisa digantikan oleh minyak nabati lain,” ujar Eddy kepada SUAR pada 5 Agustus 2025.
“Minyak sawit menjadi bahan utama industri pangan di Amerika, seperti margarin, yang tidak bisa digantikan oleh minyak nabati lain,” ujar Eddy.

Perlu diversifikasi pasar
Toh, para pengusaha minyak sawit tidak bisa hanya bergantung pada pasar yang ada, sementara kondisi global dilanda ketidakpastian. Maka, Eddy menegaskan pentingnya diversifikasi pasar, terutama mengantisipasi kemungkinan perang dagang lanjutan yang dapat mempengaruhi pasar lain seperti China dan Uni Eropa.
"Amerika Latin dan Afrika menjadi pasar alternatif yang sedang dijajaki," ujar Eddy.
Ia juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap risiko resesi global yang bisa menekan permintaan ekspor secara umum. Maka, ia menegaskan pentingnya strategi yang tidak hanya reaktif terhadap AS, tetapi juga antisipatif terhadap dinamika global.
Salah satu contoh perusahaan yang mampu menunjukkan ketahanan dan pertumbuhan positif di tengah kondisi tersebut adalah PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).
PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) menorehkan kinerja positif sepanjang semester I–2025, dengan pertumbuhan signifikan, baik dari sisi pendapatan maupun laba bersih. Laporan keuangan per 30 Juni 2025 mencatat lonjakan laba bersih menjadi Rp 702,12 miliar.
Presiden Direktur Astra Agro Lestari Tbk (AALI) Djap Tet Fa mengatakan, angka tersebut melonjak sebesar 40,13% secara tahunan atau year-on-year (YoY) dari Rp 501,04 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan ini turut mengerek laba per saham dasar menjadi Rp 364,80; dari sebelumnya Rp 260,32.
“Pertumbuhan laba tersebut selaras dengan pendapatan bersih AALI yang melesat 40,05% YoY menjadi Rp 14,44 triliun, dibanding Rp 10,31 triliun pada semester I– 2024,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima SUAR pada 5 Agustus 2025.
Bagi AALI, penjualan minyak kelapa sawit mentah beserta turunannya masih menjadi tulang punggung pendapatan, dengan nilai yang ikut terdongkrak dari Rp 9,63 triliun menjadi Rp 12,81 triliun.
Penjualan inti sawit dan turunannya turut melonjak tajam menjadi Rp 1,60 triliun, dari sebelumnya hanya Rp 643,60 miliar. Sedangkan kontribusi dari pendapatan lain-lain tercatat sebesar Rp 22,16 miliar.
Indonesia sendiri merupakan produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia dan penghasil kelapa terbesar kedua di dunia. Industri kelapa sawit selama ini memainkan peran vital dalam perekonomian nasional. Tidak hanya sebagai penyumbang devisa terbesar dari sektor non-migas, tetapi juga sebagai sumber mata pencaharian bagi jutaan pekerja.
Industri kelapa sawit selama ini memainkan peran vital. Tidak hanya sebagai penyumbang devisa terbesar, tapi juga sebagai sumber mata pencaharian bagi jutaan pekerja.
Sebagian besar produk CPO dari Indonesia diekspor ke negara-negara seperti India, China, dan Uni Eropa. Namun, industri ini menghadapi tantangan kompleks – terutama dikaitkan dengan isu lingkungan.
Pembukaan lahan kelapa sawit kerap kali dikritik sebagai penyebab deforestasi dan hilangnya habitat berbagai hewan di kawasan hutan.
Selain itu, dinamika geopolitik dan kebijakan dagang negara tujuan turut memengaruhi stabilitas pasar CPO Indonesia, sehingga mendorong pelaku industri untuk terus beradaptasi dan mencari pasar alternatif.
Dorong sertifikasi ISPO
Pemerintah, sebagai regulator, berupaya memperkuat komitmennya terhadap pengelolaan kelapa sawit yang berkelanjutan melalui berbagai langkah strategis. Salah satunya dengan menerbitkan Perpres Nomor 16 Tahun 2025.
Regulasi ini sebagai langkah penting dalam memperluas cakupan dan memperkuat sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Ketua Kelompok Substansi Penerapan dan Pengawasan Mutu Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian, Ratna Sariati, menjelaskan bahwa ISPO bukan sekadar label, melainkan sistem menyeluruh yang memastikan bahwa usaha kelapa sawit dilakukan secara layak dari sisi ekonomi, sosial budaya, serta ramah lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Sertifikasi ISPO menjadi bukti tertulis bahwa pengelolaan kebun sawit telah memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan tersebut sehingga mendorong keberlanjutan ekspor,” ujar dia kepada SUAR belum lama ini.
Dasar hukum ISPO mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 2, 3, dan 62.
Implementasinya dituangkan dalam Perpres Nomor 44 Tahun 2020, yang kini diperbarui menjadi Perpres Nomor 16 Tahun 2025. Perubahan ini mencakup perluasan ruang lingkup dari hulu ke hilir, termasuk sektor industri olahan dan bioenergi.
Dengan demikian, ISPO tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian, tetapi juga melibatkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk sektor hilir dan Kementerian ESDM untuk bioenergi.