Jangan Melihat Gajah Hanya dari Buntutnya (1)

Pemerintah mendorong perlunya BPS meningkatkan kualitas dan akurasi data nasional

Jangan Melihat Gajah Hanya dari Buntutnya (1)
Kepala Badan Pusat Statitsik, Amalia Adininggar Widyasanti (SUAR/Ahmad Afandi)

Wawancara eksklusif

Kepala Badan Pusat Statistik Amalia Adininggar Widyasanti

Menghadapi polemik di ruang publik, yang dipicu oleh temuan lembaganya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti lebih berhati-hati saat membuat pernyataan. Dirinya juga memilih untuk tak menanggapi, ketika ada yang meminta penjelasan kepadanya terkait rilis pada awal Agustus lalu yang menyebut Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada Triwulan II 2026 (y to y) mencapai 5,12% itu.

Winny, begitu Amalia akrab dipanggil, memang tak mau gegabah menanggapi pertanyaan-pertanyaan di publik, karena pertimbangan dirinya adalah bagian dari penyelanggara negara.  Namun, Winny mengaku sebagai peneliti, dirinya ingin memberi edukasi kepada masyarakat terkait literasi data. “Agar jangan terpengaruh oleh persepsi. Karena masyarakat Indonesia itu gampang dipengaruhi,” katanya.

Sebagai pemegang kuasa data nasional, posisi BPS kini memang begitu sentral. Hampir di setiap rapat terbatas bidang ekonomi, lembaga ini selalu menjadi institusi strategis yang selalu didengarkan temuan-temuannya saat rapat bersama Presiden Prabowo Subianto. 

Saking pentingnya institusi ini, Winny selalu diminta di awal rapat, untuk memberikan background fakta-fakta sosial ekonomi kepada peserta rapat terbatas Kabinet Merah Putih. “Ah, kata siapa itu,” ujar Winny, saat ditemui tim SUAR di ruangan kantornya kawasan Pasar Baru, Jakarta, Senin, 25 Agustus 2025. 

Amalia Adininggar Widyasanti (Suar/Ahmad Afandi)

Keterlibatan BPS dalam kerja di kabinet pemerintahan sebenarnya sudah dimulai sejak keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2025 mengenai Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2007 tentang Badan Pusat Statistik. Perpres ini mengubah beberapa ketentuan dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2007, di mana Badan Pusat Statistik BPS merupakan lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden yang dipimpin oleh kepala setingkat menteri. 

Lalu, peran institusi ini menjadi lebih signifikan, ketika pada Juni lalu Presiden Prabowo menerbitkan Instruksi atau Inpres Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN). 

Terbitnya Inpres tersebut menggantikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi acuan pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial ke masyarakat agar tepat sasaran. 

Dalam sebuah rapat terbatas, Presiden meminta BPS untuk segera mengumpulkan data dari seluruh kawasan ekonomi khusus (KEK) dan kawasan industri. 

Sebagai pembuat kebijakan, Prabowo memang perlu menimbang berdasarkan fakta lapangan, data driven, yang menyeluruh. Hingga pada Juli 2025, dalam sebuah rapat terbatas, Presiden meminta BPS untuk segera mengumpulkan data dari seluruh kawasan ekonomi khusus (KEK) dan kawasan industri. 

Sebagai catatan, pemerintah melihat pencapaian signifikan KEK sepanjang 2024 yang berhasil melampaui target investasi dan penyerapan tenaga kerja. Total investasi yang masuk ke KEK selama periode Januari hingga Desember 2024 mencapai Rp 90,1 triliun, jauh melampaui target yang telah ditetapkan sebesar Rp 78,1 triliun.

Dari fakta ini, pemerintah mulai mendorong perlunya BPS meningkatkan kualitas dan akurasi data nasional. Namun, upaya pemutakhiran dan memperluas cakupan dan kualitas data ini, kadang malah memicu kontroversi publik. 

Seperti saat BPS merilis data soal tingkat kemiskinan yang hasilnya angka kemiskinan berkurang. Saat itu BPS menyatakan per Maret 2025, tingkat kemiskinan nasional tercatat sebesar 8,47%, turun dari 8,57% pada September 2024. Ini merupakan angka yang terendah dalam dua dekade terakhir, dengan jumlah penduduk miskin mencapai 23,85 juta jiwa.

Sejumlah anak bermain di kawasan kampung pemulung, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (30/7/2025). BPS Sulawesi Selatan mencatat jumlah penduduk miskin di provinsi ini mencapai 698,13 ribu orang atau 7,60 persen dari total penduduk per Maret 2025, menurun sebanyak 38,35 ribu orang atau 0,46 persen poin (ANTARA FOTO/Hasrul Said)

Amalia menyatakan, pemutakhiran data itu sah-sah saja dalam sebuah upaya mencatat angka-angka terkait proses penyelenggaraan negara.  "Kan berarti lebih banyak sumbernya, kita cek koherensinya," kata dia.

Ditemui Tim SUAR di ruang kerjanya di kantor BPS lantai dua kawasan Pasar Baru, Jakarta, pada 25 Agustus 2025 lalu, Winny memaparkan metodologi BPS dalam menyusun angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia juga mengkounter tuduhan-tuduhan yang ditujukan ke BPS soal independensi lembaga itu. Petikannya:

BPS sekarang semakin diandalkan dalam pembuatan keputusan pemerintah, namun sepertinya tantangannya jadi semakin besar?

Iya. BPS sudah ada sejak 1945, sejak merdeka. Kita juga sudah sejak lama keluarkan angka PDB, tapi kenapa baru digoyang sekarang? Waktu itu juga pernah keluarin data yang beda dari konsensus. Ini kan tergantung dari situasi politik, tapi apakah kita mau dipengaruhi situasi politik? Jangan, dong, kita harus objektif. 

Apakah metode perhitungan PDB ini sama seperti yang pernah di tahun-tahun sebelumnya?

Sama. Menghitung PDB itu ada sistem, ada pakem, gitu kan, harus ikut. World Bank sendiri bilang untuk menghitung tingkat kesejahteraan di suatu negara, diukur pakai National Poverty Line

Bagaimana metode BPS menentukan angka PDB di Indonesia? 

Kita hitung PDB itu enggak main-main. Sumber data ada di 38 provinsi, ratusan survei yang kita lakukan. Variabel menyusun PDB itu ada 1.058. Makanya kita langsung mengukur di lapangan . 

Banyak pihak menilai data BPS soal Purchasing Managers' Index (PMI) yang jadi dasar penentuan pertumbuhan kurang valid? 

Itu pakai data PMI-nya siapa? Berapa coba respondennya? Kita punya Seruti (Survei Rumah Tangga Triwulanan), respondennya 76.000, mau dibandingkan dengan yang respondennya 400? Bank Indonesia juga punya PMI dengan zona ekspansi kan? Ada sekitar 600 responden. 

Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menerima wawancara Tim Suar, Senin, 25 Agustus 2025 (Suar/Ahmad Afandi)

BPS juga dinilai kurang tepat memasukkan data terkait kawasan ekonomi khusus dan kawasan industri. Tanggapan Anda? 

Kita punya pendataan, kita tiap bulan punya survei industri besar, dan sedang. Survei itu tiap bulan. Di sisi lain, kan, namanya setiap pendataan itu ada proses peningkatan kualitas, ya wajar dong. 

Pemutakhiran sumber data itu tidak menyalahi metodologi?

Enggak menyalahi. Karena kan berarti lebih banyak sumbernya, kita cek koherensinya. Kita ada 20.454 pegawai. Semuanya turun.

Untuk data kawasan ekonomi khusus dan kawasan industri, apakah dalam pengukuran di periode sebelumnya juga ada?  

Ada, kita punya datanya.  Dan, data industri itu komponennya banyak. Nah, ini lihat, semua survei ini kita lakukan terus untuk menghitung PDB. Masing-masing direktorat sama daerah itu punya, ada survei industri besar, sedang, ada survei industri kecil, ada survei konstruksi, ada survei harga. Semua masuk ke PDB.

Sektor industri dalam laporan BPS mengalami kenaikan kinerja, tapi sekarang banyak PHK? 

Ayo, kita lihat statistik ketenagakerjaan Indonesia seperti apa. Kalau lihat gajah, mari kita lihat, bahwa gajah itu ada belalai, ada ekor, ada kaki, bukan buntutnya saja. Kalau kita lihat buntutnya aja, itu seperti orang cuma mau lihat PHK. 

Sejumlah pencari kerja mengantre untuk melamar pekerjaan pada Job Fair di Al Fath Building Center, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (20/8/2025).

Lalu, bagaimana dengan situasi sektor perdagangan di mal yang teriak karena banyak pengunjung tidak beli dagangannya? 

Konsumsi masyarakat ada pergeseran, kan sudah lama kita sinyalir. Lihat di sebelah mana pergeseran pola konsumsi. Apalagi ada Lebaran, Iduladha, libur panjang. Itu yang membuat konsumsi naik, meningkat di atas 6%. Makanan, minuman 4,15%. 

Jadi saya bilang, sekarang harus lebih bijak. Shifting pola konsumsi itu benar sekali. Juga shifting cara transaksi belanja, nih, seperti penggunaan QRIS naik tinggi. 

Bagaimana menjelaskan penjualan mobil turun, sementara konsumsi naik? 

Kan gini, ini yang sering diributin nih, penjualan mobil turun, PMI turun itu aja yang diulang-ulang terus. Tapi data lain yang naik, enggak diekspose. Angkutan rel naik, ini menunjukkan ada  mobilitas.

Jadi kalau lihat gajah, jangan lihat buntut. Saat buntutnya belok ke kiri, kepalanya, beloknya ke kanan. Namun yang dilihat belok ke kiri, si buntut itu. 

Pesawat T50i Golden Eagle TNI AU melakukan manuver saat perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia di Monas, Jakarta, Minggu (17/8/2025). (ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin)

Pos pembentukan modal tetap bruto (PMTB) juga naik signifikan, isunya karena BPS memasukkan komponen pembelian alutsista, tanggapan Anda? 

Itu bukan isu. Cara mencatatnya memang berdasarkan manual standar internasional. Semua belanja modal pemerintah masuk ke PMTB. 

Jadi sebelum-sebelumnya juga sudah dicatat?

Sudah masuk. Semua belanja modal pemerintah, pokoknya apa pun belanja modal itu. Seperti bikin jembatan, beli gedung, infrastruktur, itu kan masuk belanja modal di investasi. Belanja modal pemerintah, APBN misalnya, masuk PMTB. 

BPS juga menyatakan ada peningkatan terkait ekspor-impor, apa faktor pendorongnya? 

Salah satunya harga CPO sedang naik. Selain itu, produk turunannya, seperti produk kimia, juga naik. Selain itu, ekspor untuk mesin dan peralatan elektrik juga naik signifikan, sebesar 48,51 persen. Produk kimia juga mengalami kenaikan. Namun, ada juga komoditas yang turun, misalnya batu bara, karena harga sedang turun. 

Kenaikan ekspor juga terpengaruh isu front loading, importir Amerika memborong barang dari Indonesia sebelum dikenakan tarif. Anda setuju dengan pendapat itu? 

Saya tidak tahu apakah ini termasuk front loading atau bukan. Yang jelas, tugas BPS adalah mencatat ekspor. Kebijakan seperti front loading atau tarif, silakan ditanyakan ke pihak lain; kami hanya mencatat.

Data ekspor barang yang dicatat BPS berasal dari Bea Cukai. Selain itu, kami juga mengumpulkan data dari PT Pos Indonesia, karena ada beberapa ekspor barang yang tidak tercatat di Bea Cukai. 

Anda sering dipanggil menghadap Presiden, ada intervensi?

Saya dipanggil Presiden untuk mengikuti  rapat terbatas (Ratas). Salah satu Ratas waktu itu ada paparan soal perkembangan kawasan ekonomi khusus. Saya lihat dong perkembangannya bagaimana. Saya cek data ini dan itu.

Ada pesan untuk masyarakat, terkait literasi statistik?

Mari kita membaca statistik yang utuh dan komprehensif. Mari kita cermati datanya dengan bijak dan hati-hati. Jangan kemudian terpengaruh oleh persepsi. Lihat data itu tidak boleh sepotong. Harus utuh. Itu saja.

Baca paparan lengkapnya di file berikut: