Integrasi AI, Bekal Sektor Jasa Keuangan Mantap Arungi Masa Depan

Tidak hanya untuk memaksimalkan pelayanan kepada nasabah, jasa keuangan terintegrasi AI terbukti lebih siap menghadapi potensi penipuan (fraud) dan penyalahgunaan data nasabah.

Akal imitasi (AI) menjadi obor bagi sektor jasa keuangan dalam menapaki masa depan yang berkabut tebal. Tidak hanya untuk memaksimalkan pelayanan kepada nasabah, jasa keuangan terintegrasi AI terbukti lebih siap menghadapi potensi penipuan (fraud) dan penyalahgunaan data nasabah. Regulasi adaptif dibutuhkan sebagai kerangka bertindak, bukan hanya untuk menindak pelaku kejahatan, melainkan juga mengusahakan pencegahan secara proaktif.

Urgensi tersebut tersampaikan komprehensif dalam pemaparan panelis seminar hari pertama 3rd OJK International Research Forum 2025 yang diselenggarakan di Royal Ambarrukmo Hotel, Yogyakarta, Senin (6/10/2025). Bertindak sebagai tuan rumah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengusung payung tema "Advancing Financial Resilience in a Disrupted Global Landscape" untuk OJK IRF tahun ini.

Forum tahunan ketiga yang dihadiri 350 partisipan di lokasi dan 100 partisipan daring tersebut mencatat AI sebagai satu dari dua faktor disruptif utama yang akan mengubah wajah sektor jasa keuangan di masa depan. Faktor kedua sesudah AI, tak lain adalah ketegangan geopolitik yang telah mengubah alur rantai pasok, membibit ketidakpastian, serta menuntut pemerintah berbagai negara bertindak lebih tegas, walau harus tetap berhati-hati.

Ketua Dewan OJK Mahendra Siregar mengakui, di tengah disrupsi global saat ini, regulator jasa keuangan menghadapi tantangan yang tidak mudah diatasi. Dalam sambutannya, Mahendra menyatakan peran regulator akan berubah secara signifikan dalam waktu singkat, mengingat pengembangan AI, blockchain, mahadata, dan machine learning masih berada dalam tahap awal.

"Dulu, regulator mengantisipasi dan berada di depan sebelum perubahan terjadi. Sekarang, teknologi menuntut regulator melihat perkembangan sebagai dinamika. Regulator jangan sampai mengungkung kreativitas, tetapi justru memberikan ekosistem untuk pengembangan lebih lanjut dan mengantisipasi risiko yang ada," ujar Mahendra.

Dalam situasi itu, Mahendra menekankan agar resiliensi digital dimaknai sebagai kemampuan menyambut peluang dan kemungkinan, dengan tetap memastikan pengaturan dan pengendaliannya. Ketersediaan ruang gerak penuh bagi OJK melakukan pengendalian itu, menurut Mahendra, diamanatkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang saat ini sedang diperbarui.

"Bukan saja mengantisipasi perubahan teknologi informasi, UU P2SK telah memberikan mandat penuh kepada OJK untuk mengembangkan pengaturan, kebijakan, pengawasan, dan pelindungan konsumen seluruh industri jasa keuangan. Regulator keuangan dari negara lain sering memuji, apa yang sudah Indonesia lakukan bahkan belum terpikirkan di negara mereka," cetusnya.

Layanan semakin personal

Dengan 1,8 miliar jumlah pengguna di seluruh dunia yang rela mengalokasikan belanja hingga USD 12,1 miliar untuk biaya langganan asistensi AI, sektor jasa keuangan semakin menyadari sesuatu telah berubah dan mereka harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

Managing Director & Partner Boston Consulting Group (BCG) Tushar Agarwal mengungkap, penelitian terbaru BCG memperlihatkan penguasaan dan utilisasi model-model AI semakin menjadi variabel yang menentukan valuasi perusahaan jasa keuangan.

"Dunia usaha bertransformasi bersama AI. Di kalangan investor, diskusi tentang AI meningkat dari 14% di tahun 2023 menjadi 35% di tahun 2024. Artinya, jika saya berbicara AI, perusahaan saya semakin dilirik para investor. Pemakaian generated AI diproyeksikan meningkat 75% di tahun 2027, dengan nilai pasar mencapai USD 900 miliar di tahun 2030," jelas Agarwal.

Dengan pertumbuhan implementasi yang berlangsung secara eksponensial, AI telah meningkatkan 10-40% produktivitas dalam perusahaan perbankan, terutama dalam proses scoring, pricing, personalisasi layanan, pengumpulan data nasabah, simulasi klien, hingga rekomendasi program investasi untuk memutar dana nasabah.

Akibatnya, sumber daya manusia di sektor perbankan kian terguncang, dengan simulasi waktu menunjukkan lebih dari 1.000 jam operasional sektor keuangan dalam waktu dekat harus dialokasikan untuk pengembangan kompetensi dan meningkatkan median karyawan yang berpengalaman dengan AI.

Sebagai contoh, kompetensi 20% karyawan yang secara kategorial highly-skilled dalam mengoperasikan AI harus tertatih-tatih membantu 80% karyawan yang unskilled atau baru mempelajari dan beradaptasi dengan AI dalam waktu sangat singkat.

Bagai dua sisi mata uang, Agarwal juga menggarisbawahi personalisasi layanan keuangan oleh AI turut menghadirkan ancaman keamanan yang juga bersifat personal. Terdapat sekurang-kurangnya tiga ancaman besar yang dihadapi sektor jasa keuangan: risiko infrastruktur, risiko data, dan risiko kepercayaan nasabah.

"Kekhawatiran terbesar nasabah bank saat ini adalah jika AI tidak sengaja membocorkan data saya kepada nasabah lain. Di sejumlah negara, termasuk Indonesia, bank masih menyiapkan antisipasi jika teknik video call untuk konfirmasi pembukaan rekening dipalsukan dengan menggunakan deepfake wajah dan suara," ucapnya.

Baca juga:

Bisnis Melesat berkat Kerjasama Pekerja dan AI
Penggunaan akal imitasi (AI) untuk meningkatkan produktivitas dalam suatu perusahaan sudah menjadi hal yang umum yang dilakukan di tengah transformasi digital.

Dalam situasi itu, Agarwal menyatakan prioritas pemerintah Indonesia dalam memperluas inklusi keuangan, mengakselerasi pembayaran digital, dan membangun kepercayaan nasabah bank terhadap AI sudah tepat, menyesuaikan tingkat literasi finansial dan melek digital masyarakat yang tidak merata.

Dia menambahkan, dengan lanskap masyarakat yang majemuk dari segi etnisitas maupun strata sosial-ekonomi, Indonesia dapat belajar dari best practices sejumlah negara dalam memajukan inklusi keuangan dengan bantuan AI.

Di Kolombia, Fundacion Capital mengembangkan aplikasi LISTA dan asisten virtual "Con-Hector" untuk membantu masyarakat pedesaaan memperoleh fasilitas kredit usaha mikro dan melakukan perencanaan keuangan secara terukur berdasarkan data pendapatan bulanan, rencana jangka menengah, dan skema investasi jangka panjang.

Di India, kerja sama OpenAI dan pemerintah India dalam menciptakan Bashini Chat Bot Project mengintegrasikan AI untuk program edukasi keuangan 22 bahasa dan dialek di India berdasarkan basis data terpadu. Sementara itu, di Inggris, UK Financial Conduct Authority bekerja sama dengan NVIDIA mengembangkan AI untuk mengidentifikasi dan memblokir transfer dana menuju rekening terindikasi fraud atau scam.

"Kuncinya adalah kolaborasi. Pemerintah manapun tidak bisa sendirian. Setiap pemangku kepentingan mempunyai peran integral dalam mengembangkan AI sehingga bermanfaat untuk jasa keuangan. Call to Action mengamankan transaksi keuangan digital juga harus menjangkau tingkat ASEAN, seiring terbukanya peluang pembayaran lintas negara di kawasan Asia Tenggara," pungkas Agarwal.

Insentif akan mendorong

Berbagai risiko kerawanan integrasi AI sebagai bekal untuk sektor jasa keuangan hendaknya jangan membuat para pelaku jasa mundur teratur, tetapi tertantang membuka peluang sinergi pencegahan dan belajar dari kesalahan. Peneliti Senior Korea Institute of Finance Lee Sangche mengungkap, Korea Selatan justru mampu melipatgandakan proteksi keamanan jasa keuangan karena belajar dari berbagai kasus penipuan yang dialami nasabah.

Lee menjabarkan, Kepolisian Korea Selatan saat ini mengidentifikasi sedikitnya 37 macam taktik kejahatan penipuan (fraud), 6 di antaranya telah menggunakan AI, mulai dari pengiriman pesan personal secara otomatis, deepfake impersonasi eksekutif bank, scam kripto untuk pemalsuan proyek, hingga pengambilalihan rekening dengan identitas artifisial yang diciptakan dari profiling maha data.

"Sepanjang bulan Januari-Juli 2025, Kepolisian Korea Selatan menerima 16.561 aduan kasus penipuan dengan kerugian mencapai KRW 79,92 miliar. Dari data tersebut, 7.080 rekening bank komersial dan 9.859 rekening bank digital telah terpapar potensi scam," ungkap Lee.

Peningkatan ini naik dari waktu ke waktu karena deteksi tradisional yang tidak bisa beradaptasi dengan taktik yang berkembang, pelacakan manual yang lamban, serta skema penipuan yang kompleks hingga sulit dipahami. Selain itu, verifikasi identitas yang masih lemah amat mudah dieksploitasi.

Di saat keterbatasan infrastruktur tidak mampu menghadapi canggihnya teknologi para penipu, Lee menawarkan integrasi dan analisis data real-time sebagai solusi. Kuncinya mengadopsi AI untuk memprediksi pola penipuan dan membuat analisis secara langsung.

“AI tidak hanya digunakan untuk mendeteksi penipuan, tetapi melindungi nasabah secara preventif dengan pengumpulan data dan mitigasi risiko secara strategis. Bank dapat menggunakan AI untuk menciptakan personalized real-time alerts yang memonitor aktivitas mencurigakan dan memperingatkan nasabah, agar mereka tetap waspada sebelum bertransaksi,” ujarnya.

Tidak hanya itu, respons antaragensi pemerintahan perlu dilakukan secara proaktif dan responsif lewat penguatan investigasi. Pemerintah hendaknya fokus mengembangkan platform AI untuk mencegah penipuan, memblokir aplikasi mencurigakan, mencegah pembukaan rekening dengan identitas palsu, dan melegislasi no-fault liability agar bank daoat semakin bertanggung jawab.

“Menutupi semua celah kejahatan penipuan dengan AI hampir tidak mungkin. Karenanya, pemerintahan berbagai negara saat ini, termasuk Korea Selatan, mendorong sektor keuangan berinvestasi dalam pengembangan AI dan memberi sejumlah insentif, sambil mengembangkan undang-undang yang mengatur reimbursement dana nasabah korban penipuan," cetusnya.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional

Baca selengkapnya