Hasil analisis data selama periode 2022-2024 oleh Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menggarisbawahi adanya dua jalur pertumbuhan utama. Pada kota-kota yang tergolong metropolitan, peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) bertumpu pada basis fiskal yang sudah kuat. Sementara, pada kota-kota kecil, peningkatan PAD salah satunya didorong oleh pengembangan inovasi, terutama inovasi digital.
Secara mengejutkan, pertumbuhan persentase (relatif) tertinggi justru dicatatkan oleh kota-kota non-metropolitan yang tergolong kecil. Total 7,61% kota berhasil mencatatkan laju pertumbuhan di atas 30%.
Ada dua kota yang paling menonjol laju pertumbuhannya, yakni Kota Subulussalam dan Kota Bima. Kota Subulussalam mencatatkan angka pertumbuhan sebesar 75,75%, diikuti oleh Kota Bima dengan 54,87%.
Capaian yang mengesankan ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan yang cepat dapat diakses oleh kota dengan keterbatasan fiskal (di bawah Rp 500 miliar). Laporan tersebut juga menemukan bahwa pertumbuhan ini didorong oleh inovasi dan progresivitas dalam pengelolaan pendapatan.
Faktor kunci dalam meningkatkan pertumbuhan daerah meliputi implementasi digitalisasi untuk intensifikasi pendapatan, peningkatan yang difokuskan pada objek pajak, serta restrukturisasi organisasi pengelolaan pendapatan. Hal ini membuktikan bahwa perbaikan kualitas fiskal dan strategi pemungutan yang tepat mampu mengakselerasi kinerja PAD kota, meski sumber dayanya terbatas.
Berbeda dengan laju pertumbuhan relatif, tinjauan terhadap pertumbuhan PAD absolut (mutlak) didominasi oleh kota-kota besar metropolitan yang sudah memiliki basis penerimaan kuat. Kota-kota yang sudah stabil secara fisik dan kelembagaan ini mencatat penambahan nilai rupiah terbesar, menegaskan kontribusi signifikan terhadap total PAD nasional.
Dominasi ini disebabkan oleh kapasitas kota metropolitan untuk mengoptimalkan basis pajak yang sudah mapan, memungkinkan mereka untuk menambah ratusan miliar rupiah pada pendapatan mereka setiap tahun.
Tiga kota yang mencatatkan pertumbuhan PAD absolut tertinggi (di atas Rp 690 miliar) adalah Denpasar, Surabaya, dan Medan. Kota Denpasar menjadi yang paling unggul di antara semua kota, mencatat penambahan nilai PAD sebesar Rp 802 miliar sekaligus mempertahankan laju pertumbuhan relatif tertinggi di antara kota metropolitan, yakni 47,62%. Selanjutnya diikuti oleh Surabaya dengan pertumbuhan absolut sebesar Rp 711,39 miliar (pertumbuhan 11,8%), dan Medan dengan Rp 693,61 miliar (pertumbuhan 22,1%).
Pertumbuhan tersebut menegaskan bahwa kota metropolitan, didukung oleh skala ekonomi yang besar, tetap menjadi penyumbang nilai rupiah terbesar, memantapkan kontribusi mereka pada perekonomian daerah.
Secara umum, peningkatan PAD suatu kota, baik secara persentase maupun nilai, dapat disimpulkan berasal dari dua pilar utama. Bagi kota-kota kecil (non-metropolitan), kuncinya adalah strategi intensifikasi yang progresif melalui inovasi seperti digitalisasi dan restrukturisasi manajemen untuk menggali potensi yang belum terjamah.
Sementara itu, bagi kota-kota metropolitan, peningkatan PAD didorong oleh basis fiskal yang sudah kuat dan kapasitas kelembagaan yang memungkinkan penambahan nilai absolut yang besar.
Keberhasilan pertumbuhan PAD secara berkelanjutan terletak pada perpaduan antara kemampuan inovasi digital dan pengelolaan sumber daya yang efisien untuk menggali potensi penerimaan baru di tengah dinamika persaingan fiskal antarkota.